Keagamaan

Menjauhkan Islam dari Tafsir Politis, Mengembalikan Kesejatian Islam yang Rahmah

Fenomena beragama di zaman kiwari memanglah ‘gila’. Ada banyak peristiwa dan tindakan-tindakan manusia dengan dalih ‘demi’ agama dan iman, manusia menjadi beringas, kasar, layaknya singa lapar. Yang kemudian hal itu menjadikan kehidupan keagamaan kita tak lebih dari sekadar parodi di mana ‘kejumudan, kekejaman, dan kekerasan’ dipertontonkan dengan begitu apik bermodalkan ayat dan dawuh-dawuh Rasulullah Saw. yang ditafsiri sepihak, semaunya, dan sesukanya demi kepentingannya.

Sehingga dari situ, kehadiran agama bukan lagi menjadi solusi kehidupan. Dengan agama, yang harusnya kita menjadi pribadi-pribadi mulia yang memuliakan Tuhan dan mengayomi manusia malah berbalik mempolitisir, mengkapitalisasi, mengkomersialisasi Tuhan dan menindas manusia.

Seakan, apa yang di katakan Thomas Hobbes bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus) benar-benar berlaku bagi manusia-manusia kontemporer dalam menjalani agamanya. Agama, dengan segala kompleksitas ajarannya, diinterpretasi sesukanya dan lalu dijadikan alat justifikasi untuk mengangkat ‘pedang’—menebas usia manusia yang tak sepaham dan tak segolongan.

Jika kita menilik lebih jauh fenomena beragama yang ironis ini, sebenarnya hal ini sudah bukan hal baru. Gus Dur, misalnya, sudah menyaksikan gejala beragama semacam ini lebih dulu dari kita. Maka dari itu, dengan pertnyataan religius lagi humanis, Gus Dur menulis: “Manusia adalah ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Memuliakannya berarti juga memuliakan Tuhan. Sebaliknya, merendahkan dan menistakan manusia, berarti juga merendahkan dan menistakan Tuhan. Kemanusian merupakan cermin ke-Tuhan-an”.

Setali dua uang dengan pernyataan Gus Dur, begitulah seharusnya lelaku kita sebagai manusia bergama. Sebab kehadiran agama di tengah-tengah kehidupan kita adalah untuk menjadikan kita manusia mulia; manusia yang memuliakan Tuhan—selaku yang Maha Segala-galanya—dan memanusiakan manusia selaku ‘karya cipta’ dari yang Maha Segala-galanya itu.

Hal itu, adalah universalisme dan/atau ajaran universal dari agama (Islam) itu sendiri. Namun, nilai-nilai universalisme Islam itu akhir-akhir tampak asing dari kenyataan. Islam sering kali di tafsir secara politis dari pada filosofis, sehingga akibatnya Islam menjadi tampak garang.

Menjauhkan Agama (Islam) dari Tafsir Politis

Itulah persoalannya. Islam kerap kali ditafsir secara politis. Seharusnya, dalil-dalil agama dipahami dengan keberagaman literatur otentis, sehingga menghasilkan prinsip keagamaan yang dinamis, mampu berdialog dengan perkembangan dan dinamika zaman yang semakin kompleks dan majemuk tanpa menghilangkan prinsip ke-Tuhan-an cum kemanusiaan, baik dalam pikiran ataupun dalam praktiknya.

Sehingga dari situ, agama (Islam) bisa menjadi institusi yang mampu meingplementasikan dirinya dan ajarannya, yakni—sebagaimana ditegaskan Al-Quran—menjadi rahmat dan menebar kasih sayang kepada sekalian alam. Bukan hanya menjadi omong kosong belaka yang penuh doktrin utopis atau hanya sebatas menjadi “candu”—seperti yang dikecam Kalr Marx. Begitulah agama semestinya diperlakukan sebagai ‘pegangan’ dan ‘pedoman’ dalam menjalani lelaku keagamaan dalam kehidupan beragama.

Agama tidak pernah mengajarkan kekerasan dan lealaku-lelaku keagamaan lainnya yang dapat menciptakan kekacauan sosial. Jika hal semacam itu kita temukan dalam kehidupan kita, maka niscaya terdapat kecacatan logika pikir pada orang yang berlelaku keagamaan semacam itu. Jadi, adalah suatu yang tidak masuk akal bilamana kita temukan praktik keagamaan yang mengorbankan kemanusian, persaudaran dan rasa kesatuan manusia dengan alasan demi tegaknya agama. Oleh karena itu, agama dengan segenap ajarannya, harus selalu diimplementasikan secara beriringan dengan rasa maslahat (kebaikan untuk semua) itu sendiri.

Niscaya, dengan hal itu, kehadiran agama di zaman sekarang yang penuh dengan tantangan kompleks ini, agama tetap bisa hadir sebagai solusi. Dan, perlu kita sadari bahwa, fenomena-fenomena keagamaan yang rentan memecah belah, menciptakan kekacauan sosial, merusak tali persaudaran—baik dengan yang seiman atau dengan yang sesaudara dalam kemanusian, itu adalah praktik keagamaan yang menyimpang.

Bahkan, kita pun boleh curiga bahwa dibalik praktik-praktik keagamaan yang menyimpang, ada proyek politik atau bisnis keagamaan yang terselubung di balik semua itu. Karena sejauh ini, hanyalah praktik kegamaan yang ditunggangi kepentingan politik-lah yang menimbulkan kekacauan sosial itu. Selama agama ditempatkan pada tempatnya, semua hal itu tidak akan terjadi.

This post was last modified on 2 Maret 2023 2:27 PM

Farisi Aris

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago