Diakui maupun tidak, hingga saat ini, masih ada sebagian orang atau kelompok yang menjadikan ujaran kebencian (menjelek-jelekkan, memfitnah, nyinyir dan lainnya) sebagai senjata ampuh untuk membunuh karakter seseorang (lawan-musuh-red).
Ujaran kebencian yang salah satu modus operandinya melalui cara memutar balikkan fakta merupakan fenomena lama. Artinya, tidak hanya terjadi pada hari ini saja, melainkan sejak dahulu kala, cara hina itu sudah ada.
Bahkan, Islam yang sangat menekankan perdamaian dan ajaran-jaran mulia juga pernah diterpa kasus pemutar-balikan fakta yang ditandai dengan mencuatnya berita yang disusupi kebohongan dan palsu. Tokoh yang ulung dan memiliki integritas yang tidak perlu diragukan lagi, oleh kelompok tertentu, didesain (ditampilkan, dicitrakan, dan diopinikan) menjadi antagonis yang layak dapat cercaan dan nyinyiran.
Jadi, cara-cara keji tersebut di atas menjadikan masyarakat bingung nan gamang. Mereka diterpa guncangan batin yang luar biasa karena tokoh yang menjadi teladan berubah menjadi bahan candaan, nyinyiran dan cercaan. Sehingga, sekali lagi, tokoh yang sesungguhnya memiliki track record yang baik, menjadi buruk di mata masyarakat. Ada pembunuhan karakter di sini.
Akibat terpaan berita bohong, palsu dan pemutarbalikan fakta, menjadikan umat dirundung kerugian; karena pemimpin yang sejatinya membawa misi profetik dihabisi dengan isu dan berita negatif tentangnya sehingga tenggelam dan yang muncul adalah tokoh atau orang yang pandai pencitraan belaka. Jelas mengalami kerugian karena yang berkuasa pemimpin polesan, yang gemar mengumbar janji manis.
Diantara tokoh yang menjadi “korban” perusakan karakter adalah Khalifah Harun Al-Rasyid. Sebagaimana dikutip dari laman kisahmuslim.com (12/3/2018) dalam artikel berjudul “Harun Al-Rasyid, Pemimpin yang Mencintai Sunnah dan Ulama”, dijelaskan bahwa para perusak sejarah Islam mencoba menggambarkan image Harun al-Rasyid dengan tampilan seorang pemabuk. Malam-malamnya adalah hidup foya-foya. Seorang diktator yang dikelilingi selir dan para penari. Bahkan Nabi Muhammad pun juga pernah mengalami yang sama. Sosok yang luar biasa itu pernah dilempari kotoran dan dituduh majnun.
Jika dianalisa lebih dalam, maka akan ditemukan beberapa alasan/sebab orang atau kelompok gemar melakukan pembunuhan karakter, fitnah, menjelek-jelekan, dan nyinyir terhadap lawan. Pertama, dengan dalih mempertahankan wilayah kekuasaan. Syahrin Harahap (2011) dalam Teologi Kerukunan (h. 144) menjelaskan bahwa dalih mempertahankan wilayah kekuasaan menjadi faktor penyebab munculnya ujaran kebencian (menjelek-jelekkan lawan). Dalam negara yang plural, narasi-narasi negatif terhadap penduduk minoritas terus digaungkan agar terlihat semakin digdaya.
Kedua, menimbulkan image negatif. Masih ada kaitannya dengan poin pertama, sebagaimana digambarkan oleh Asep Salahudin dalam Teologi Kebencian (2014), bahwa menebar kebencian tidak hanya dilakukan oleh rakyat biasa, melainkan juga elite agama. Mereka mencari-cari alasan, bahkan dalam dalil agama, untuk meneguhkan bahwa mereka keliru, sesat, patut dicurigai, dan lain sebagainya. Intinya, image negatif tokoh yang diserang-lah selalu ditampilkan di hadapan publik. Dengan membentuk image negatif itulah, secara otomatis, opini publik akan terbentu sesuai dengan apa yang sudah di-image-kan.
Ketiga, memperjuangkan kebenaran monolitik. Bagi kelompok ini, memperjuangkan kebenaran tunggal merupakan jihad fi sabillah. Ironisnya, cara seperti ini melibatkan umat. Artinya, umat yang hanya sami’na wa atha’na dikondisikan sedemikian rupa untuk menyebarluaskan kebenaran monolitik.
Kira-kira itulah beberapa alasan mengapa menjelek-jelekkan (lawan) dijadikan sebagai senjata utama. Selain karena mudah dilakukan, cara-cara seperti ini relatif murah. Bagaimana tidak, mereka bisa dibilang hanya modal “jualan” retorika sudah mampu memuluskan hasrat dan tujuan jangka pendek mereka.
Siasat-siasat jahat itulah yang kini menjadi realitas dalam kehidupan kita saat ini. Bahkan mereka tak tanggung-tanggung menggoreng atau menceritakan (kembali) peristiwa gelap di masa lalu. Inilah, yang oleh ahli, diistilahkan sebagai “kebencian yang diwariskan”.
Spririt Ramadan: Damailah Indonesiaku
Bangsa ini tidak boleh mewariskan kebencian kepada generasi saat ini dan yang akan datang. Sebab kebencian, meminjam penjelasan Asep Salahudin, selalu akan beranak pinak menjadi dendam kesumat, kekerasan, dan tindakan banal lainnya. Sekali lagi, ini tidak boleh terus-terusan terjadi di negeri yang plural seperti Indonesia.
Dalam banyak kesempatan, masyarakat Indonesia selalu bilang bahwa kita ini adalah bangsa yang religius, taat agama. Namun, banyak bangsa Indonesia yang memasang “status ganda”. Di satu sisi memang taat agama, namun di sisi yang lain ia korupsi, gemar mencaci-maki kelompok lain tanpa alasan yang jelas, teror bom, dan tindakan-tindakan lain yang dikutuk agama.
Saya masih yakin seyakin-yakinnya bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius nan taat agama. Optimisme ini bukan sebuah bualan pelengkap bibir saja, melainkan sebuah fakta.
Berbicara terkait agama, saat ini segenap Muslim dunia sedang menyongsong bulan yang penuh mulia dan kedamaian, yakni Ramadhan. Ibnu Katsir ketika menyinggung tema tentang puasa/bulan ramadan menjelaskan bahwa puasa tidak hanya sekedar dimensi spiritual (vertikal) saja, melainkan juga terdapat nilai-nilai sosial-kemasyarakatan (horizontal).
Menjelek-jelekkan orang atau suatu kelompok sesungguhnya juga diakibatkan karena ketidakbecusan dalam mengontrol emosi. Puasa, dalam penjelasan Zuhairi Misrawi (2010), merupakan sekolah rohani paling efektif untuk meredam emosi dan amarah hewani. Selain itu, lanjut Misrawi, puasa juga mengajarkan kepada kita untuk senantiasa menjaga hati, lisan, dan tangan dari tindakan destruktif. Artinya apa? Ya. Puasa sejatinya mengandung spirit perdamaian. Dengan demikian, puasa mengajarkan kepada kita untuk terus dan lebih giat menebar perdamaian di jagat raya.
Quraish Shihab, dalam buku 101 Kultum Tentang Islam memberikan penjelasan tentang bulan ramadan. Bahwa ramadan terambil dari akar kata yang berarti “membakar”. Penamaannya demikian karena kebiasaan penduduk Mekkah, ketika terjadi perubahan nama-nama bulan, mereka menamai bulan-bulan sesuai dengan suasana iklim yang mereka alami ketika itu. Jadi, ramadan berarti membakar karena ketika itu suhu udara demikian panas dan membara.
Dari sini kita bisa mengambil makna kontekstual dari bulan ramadan, yakni membakar nafsu, ego sektoral, rasa iri, dengki dan lainnya. Rasa-rasa yang jika dimanifestasikan bisa membuat gumpalan kebencian itulah yang harus segara hibumihanguskan. Inilah spirit ramadan. Tentu membakar sifat dan laku negatif dan untuk kemudian menanamkan sifat dan laku positif; seperti saling menghormati, menebar perdamaian, dialog dan lain-lain. Dalam bahasa Pak Quraish, salah satu bentuk kebajikan yang dikehendaki oleh ramadan adalah, semua harus saling menghormati dan memelihara hubungan baik, terutama terhadap lawan.
Penyair Arab Kenamaan, Al Hafizh Syirazi berkata: “Kedamaian dan keselamatan di kedua alam bergantung pada dua hal: keluhuran budi terhadap kawan dan perlakuan bijak terhadap lawan.”
Lawan tak selamanya harus dilawan dengan menjelek-jelekkannya. Ujaran kebencian umumnya digunakan oleh orang-orang yang memiliki rasa permusuhan, kedengkian, keras kepala dan akibat perbedaan pandangan. Maka, seorang penyair ternama pernah beruja: “Aku masih memiliki harga diri sehingga tidak menghukum (musuhku) dengan menjelek-jelekkannya. Sebab, membicarakan kejelekan musuh adalah senjata orang yang lemah dan hina.” (dalam Said Nursi, 20116: 480).
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…