Narasi

Menjunjung Tinggi Pancasila, Mengubur Radikalisme

Dalam kehidupan beragama, kita sering mendengar ungkapan yang menyatakan “tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan”. Hanya saja, tampaknya ungkapan menjadi tidak relevan bila kita hadapkan dengan situasi kehidupan beragama di Indonesia. Persentase tindakan radikal dan kekerasan terbesar justru dipromotori oleh orang atau kelompok yang mengatasnamakan agama. Tak ayal, tindakan radikal berbasis agama menjadi bahaya laten di negeri ini. Ironis memang, agama yang diharapkan mampu mewujudkan peradaban justru terlihat melegalkan pembiadaban.

Tentu saja, kenyataan tersebut tidak boleh berlarut-larut terjadi. Ini karena kenyataan tersebut sangat jauh dari makna agama sebagai ‘pesan Tuhan’ sebagaimana yang diungkapkan Audifax dalam bukunya, Semiotika Tuhan (2007: 102), bahwa pesan yang berasal dari Tuhan adalah pesan kehidupan dan bukan kematian atau perang. Pun, kenyataan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita miliki. Hal ini karena, adanya tindakan radikal, bukan merekatkan kebhinnekaan Indonesia sebagai warisan yang harus dijaga, justru merajut permusuhan dan mengancam perbedaan.

Perlu Menyadari

Kita perlu menyadari bahwa perjalanan bangsa kita masih panjang. Kita masih kalah jauh dibanding negara-negara yang telah memiliki peradaban maju. Maka, kalau kita hanya sibuk bertengkar dengan bangsa kita sendiri, bukan memperbaiki negeri, pasti para Founding Fathers kita akan menangis dan mengutuk kita sebagai anak-cucu generasi penerus yang durhaka. Lagipula, bukankah para Founding Fathers NKRI telah merumuskan Pancasila yang menjadi alat pemersatu bangsa? Bukan pemecah-belah bangsa.

Maka, ketika kita mengaku warga negara Indonesia, maka kita harus gotong-royong menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila. Pancasila adalah gagasan abstrak sebagai kristalisasi pikiran dan perasaan segenap warga bangsa ini. Sebagai alat pemersatu dan harmonisasi masyarakat, ideologi itu tidak hanya perlu dikenal, tetapi juga perlu dihayati dan diamalkan.

Ini sangat diperlukan mengingat kebhinnekaan atau keragaman sangat rentan terhadap perpecahan. Meskipun pada kondisi yang lain bisa juga menjadi kekuatan. Tapi, ketika egoisme, eksklusivisme, dan absolutisme dikedepankan dalam kebhinnekaan ini, maka akan terjadi disintegratif yang akan mengancam perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini, pengalaman bangsa-bangsa lain bisa dijadikan contoh, betapa keberagaman memetakan sentimen kepentingan hingga mencuat konflik yang berkepanjangan. Lihat saja, apa yang terjadi di Timur Tengah ataupun negara-negara lainnya.

Oleh sebab itu, diperlukan acuan bersama yang nilai-nilainya disepakati oleh khalayak umum, meskipun memiliki ragam perbedaan. Disinilah Pancasila memerankan hal itu. Meminjam bahasa Al-Qu’an, Pancasila adalah kalimatun sawa’ atau “alat tunggal pemersatu” kebhinnekaan. Secara lebih lanjut, Din Syamsuddin menyatakan bahwa Pancasila bukan hanya sebagai “pernyataan politik”, tapi juga sebagai “pernyataan ideologis”. Sebagai pernyataan politik, ia mempersatukan berbagai kepentingan dan aliran politik. Sebagai pernyataan ideologis, Pancasila adalah penunjukan nilai-nilai yang terdapat pada banyak kelompok masyarakat, baik agama maupun adat.

Resonansikan Pancasila!

Dari narasi-narasi di atas, jelas bahwa ketika kita menghendaki adanya kehidupan yang damai dan jauh dari tindak radikalisme, kita perlu menjunjung tinggi ideologi Pancasila dan meresonansikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan meresonansikan Pancasila secara utuh, kita bisa membuat NKRI sebagai rumah kita bersama yang aman, nyaman, dan tentram. Bukan penuh permusuhan dan pertikaian. Atau dalam bahasa lain, ketika kita semua mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila, maka kita juga telah mengubur dalam-dalam perilaku radikal dan terorisme yang selalu mengancam kita dimanapun berada.

Maka, dalam kondisi ini, kita perlu menahbiskan komitmen utuh kita kepada Pancasila. Jangan sekali-kali kita goyah kepada Pancasila. Sekali kita goyah, niscaya kebhinnekaan kita akan terancam. Dan, ketika itu terjadi, bukannya Indonesia semakin maju dan dipandang dalam persaingan global, justru Indonesia menjadi pecundang dan negara yang diremehkan. Apakah kita ingin hal tersebut terjadi? Tentu saja, sebagai warga negara yang cinta kepada tanah air, dengan tegas kita akan menjawab, “Tidak!”.

Kalau benar begitu, kita perlu belajar pada ungkapan Surya Paloh pada buku Mari Bung Rebut Kembali (2012), yang mengatakan, “Jikapun sudah tidak ada lagi yang menginginkannya, biarlah tinggal saya seorang diri, di negeri ini, yang yakin akan ideologi Pancasila ini.“ Wallahu a’lam bish-shawaab.

This post was last modified on 3 September 2017 12:54 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

20 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

20 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

20 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago