Tahun 2023 merupakan tahun istimewa bagi warga Nahdliyin. Tersebab, pada bulan Februari nanti, Nahdlatul Ulama (NU) akan genap berusia 100 tahun alias satu abad. Peringatan satu abad usia NU tentu menjadi momen istimewa yang teramat sayang jika dilewatkan begitu saja.
Usia satu abad untuk organisasi sebesar NU tentu bukan perjalanan singkat. Banyak capaian yang ditorehkan oleh organisasi Islam dengan jamaah terbesar di dunia tersebut. Sejak awal berdirinya, NU memegang peran di multisektor. Mulai ranah keagamaan, pemberdayaan masyarakat, pendidikan, sosial-kebudayaan, hingga ranah yang paling besar, yakni kebangsaan.
Dalam konteks kebangsaan, salah satu peran NU ialah melawan para bughat alias gerakan pemberontakan yang berusaha merebut kekuasaan dari pemimpin atau pemerintahan yang sah. Sebagai organisasi keagamaan yang memegang teguh doktrin Ahlussunah wal Jamaah (Aswaja), NU memahami betul bahwa bughat merupakan tindakan yang sangat dilarang oleh Islam.
Gerakan pembangkangan atau pemberontakan terhadap otoritas pemerintahan yang sah hanya akan melahirkan tragedi kemanusiaan. Seperti kekerasan, perang saudara, dan kehancuran bagi komunitas itu sendiri. Dari pemahaman atas doktrin Aswaja itulah, NU senantiasa memegang komitmen untuk setia pada NKRI dan berada di barisan terdepan menghalau gerakan bughat.
Komitmen NU Melawan Kaum Bughat dari Masa ke Masa
Sejarah telah mencatat, bagaimana NU menjadi garda depan melawan pemberontakan (bughat). Di awal era kemerdekaan, NU menjadi benteng tegaknya NKRI yang digoncang berbagai gerakan pemberotakan berlatar ideologi keagamaan. Seperti gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) hingga pemberontakan Permesta.
Meski merupakan organisasi keislaman, NU secara tegas menolak pemberontakan DI/TII yang berorientasi mendirikan negara islam. Menurut NU, NKRI dan Pancasila sudah final dan tidak bisa digugat lagi. NU juga berkeyakinan bahwa NKRI merupakan walayahul Islam dalam artian wilayah Islam. NU juga bersepakat bahwa presiden kala itu, yakni Soekarno merupakan waliyul amri al dharuri bissyaukah yakni penguasa sah yang bisa dikategorikan sebagai pemimpin Islam.
Tidak hanya itu, di era 1965-1966 ketika NKRI kembali diguncang gerakan pemberontakan yang kali ini dimotori oleh kelompok kiri, NU kembali tampil di garda terdepan. Kurun masa 1965-1966 NU menjadi salah satu mitra strategis pemerintah dalam memberantas gerakan komunis yang ingin merebut kekuasaan dan mengganti ideologi negara.
Jejaring organisasi NU, mulai dari kiai, santri, sampai masyarakat umum yang tersebar di seluruh penjuru negeri kalah itu bersinergi dengan TNI membasmi PKI. Tanpa jasa NU, gerakan pemberontakan PKI kiranya tidak akan dipadamkan dengan mudah dan cepat. Tersebab, ideologi komunisme kala itu demikian kuat mencengkeram dunia dan juga Indonesia.
Kini, di usia NKRI yang menginjak tujuh dekade lebih ini, NU kembali berada di garis depan melawan gerakan bughat yang didalangi oleh kaum konservatif-radikal Islam. Pasca berakhrinya Orde Baru tahun 1998 kita melihat bagaimana gerakan islamisme kembali bangkit. Wacana negara Islam dan formalisasi syariah kembali santer berhembus di ruang publik kita. Sejalan dengan itu, berbagai praktik intoleransi, kekerasan, dan teror atas nama agama pun kian tidak terbendung.
Peran NU Melawan Gerakan Bughat Berbasis Radikalisme Agama
Demokrasi yang menjadi hadiah gerakan Reformasi, tampaknya meninggalkan residu persoalan kebangsaan. Yakni bangkitnya gerakan radikalisme-terorisme berlatar agama yang beragenda menggulingkan kekuasaan sah dan mengganti negara Pancasila menjadi Darul Islam berbasis khilafah islamiyyah.
Di tengah arus deras konservatisme keagamaan yang bereskalasi menjadi gerakan radikal-terorisme itu, NU merupakan organisasi paling vokal dalam menyuarakan nasionalisme dan moderasi beragama. NU begitu keras menentang dakwah salafi-wahabi kontemporer yang diyakini menjadi akar dari fenomena radikalisme-terorisme di tubuh Islam. Di saat yang sama, NU juga aktif menebarkan pesan kebangsaan dan mengampanyekan perilaku keberagamaan yang inklusif dan moderat.
Posisi NU yang menempatkan diri sebagai oposisi bagi gerakan radikal dan bughat itu kerap membuatnya menjadi sasaran empuk kalangan konservatif. Serangan bertubi berupa fitnah dan ujaran kebencian seolah telah menjadi santapan sehari-hari bagi pengurus NU, para kiai, anggota banser, dan wrga Nahdliyin. Label sesat, pelaku bid’ah, antek zionis, agen Amerika, bahkan cap kafir merupakan upaya menggembosi komitmen NU dalam melawan radikalisme dan gerakan bughot yang mengancam NKRI.
Kini, di usianya yang menginjak satu abad, kita melihat bagaimana komitmen NU menjaga NKRI dari kaum bughat tidak luntur sedikit pun. Di usianya yang ke-100 ini kita patut optimistik NU akan semakin kokoh sebagai benteng keislaman dan keindonesiaan. Terlebih, seperti kita tahu tahun 2023 ini merupakan tahun politik.
Di tahun politik ini, NU kiranya bisa menjadi penyeimbang bagi kekuatan-kekuatan politik yang saling berkontestasi berebut kekuasaan. Di tahun politik, netralitas NU kiranya bisa mendinginkan suhu politik yang mendidih. Dan yang terpenting, NU akan terus menjaga bangsa ini dari anasir radikalisme dan gerakan bughat.
This post was last modified on 10 Januari 2023 1:48 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…