Narasi

Menyambut “New Normal” Pasca Ramadan dan Pentingnya Resiliensi di Masa Pandemi

Ramadan telah berlalu. Perayaan Idul Fitri pun telah usai. Kini saatnya kita kembali ke “dunianyata”; bekerja melanjutkan kehidupan. Ironisnya, di saat yang sama kita masih harus berjibaku melawan pandemi Covid-19. PSBB di sejumlah daerah memang berhasil menekan penularan Covid-19. Namun, secara nasional jumlah pasien terkonfirmasi Covid-19 terus bertambah saban harinya.

Di saat yang sama, anti-virus dan vaksi Covid-19 tampaknya belum akan tersedia dalam waktu singkat. Padahal, kehidupan ekonomi dan sosial tentu tidak bisa dihentikan dalam jangka waktu lama. Dunia modern berdiri di atas fondasi progresifisme dan dinamisme. Tanpa keduanya, modernitas akan kehilangan daya hidupnya.

Jalan tengah yang bisa kita ambil ialah menerapkan kehidupan normal baru (new normal life) di tengah pandemi. New normal merupakan kondisi ketika masyarakat kembali menjalankan aktivitasnya di tengah pandemi dengan menerapkan standar protokol kesehatan Covid-19. New normal tidak boleh disalahartikan sebagai sikap menyerah melawan Covid-19 apalagi sikap acuh tak acuh atau seolah-olah kita harus menyelamatkan diri kita masing-masing. New normal adalah gerakan pemulihan kehidupan ekonomi dan sosial dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan Covid-19.

Hampir 3 bulan ini masyarakat menjalani karantina mandiri. Hal itu sedikit-banyak telah mengganggu stabilitas ekonomi. New normal menghendaki adanya pelonggaran pembatasan sosial, terutama di sektor ekonomi dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan Covid-19. Artinya, meski kembali menjalani aktivitas di luar rumah, kita akan menghadapi kehidupan baru dan berbeda dengan kehidupan sebelum masa pandemi. Untuk itu, diperlukan kesiapan fisik maupun mental baik pemerintah maupun masyarakat umum.

Dari sisi pemerintah, fase new normal tentu harus didahului oleh persiapan matang terkait penerapan di lapangan. Pemerintah perlu menyiapkan berbagai fasilitas untuk mendukung penerapan kehidupan normal baru di masa pandemi, terutama di ruang publik. New normal di sektor transportasi publik, perkantoran swasta/pemerintah hingga pusat bisnis dan ekonomi patut dipersiapkan secara matang. Pemerintah wajib memastikan tersedianya fasilitas serta mendorong masyatakat agar disiplin menjalankan protokol kesehatan Covid-19.

Baca Juga : Perkuat Persatuan Menuju Hari Kemenangan di Tengah Pandemi

Di sisi lain, masyarakat juga dituntut memahami secara komprehensif praktik new normal di tengah pandemi. Kepatuhan dan kedisiplinan masyarakat dalam mematuhi aturan pembatasan fisik dan sosial, mengenakan masker, menjaga kebersihan diri dan lingkungan serta menjaga imunitas tubuh adalah kunci sukses kehidupan normal baru di masa pandemi. Pernyataan Presiden Jokowi yang menyebut bahwa pemerintah telah siap mendukung pemberlakuan new normal termasuk mengerahkan pasukan Polri dan TNI untuk mendisiplinkan masyarakat merupakan kabar menggembirakan yang patut diapresiasi.

Bagi umat Islam, kondisi new normal ini bisa dijadikan sebagai semacam kesempatan untuk  mempraktikkan nilai-nilai yang didapatkan ketika menjalani rangkaian ibadah Ramadan sebulan lalu. Ramadan seperti kita ketahui, ialah madrasah yang mengajarkan kita menjadi pribadi yang disiplin dalam menjalani perintah agama. Di luar bulan Ramadan, kita barangkali masih kerap abai pada kedisiplinan dalam menjalankan ritual keagamaan, seperti sholat, membaca al Quran, bersedekah dan laku ibadah sunnah lainnya. Namun, di bulan Ramadan, hampir seluruh umat Islam menjadi pribadi yang disiplin dalam beribadah.

Di bulan puasa, kita bangun lebih awal dari biasanya, makan dengan jadwal yang sudah ditentukan, menahan hawa nafsu serta beribadah lebih rajin dari bulan biasa. Ramadan mengajarkan kita betapa menjalani hidup dengan disiplin yang ketat ialah sebuah kenikmatan. Maka tidak mengherankan apabila rangkaian ibadah Ramadan tidak hanya menyehatkan secara fisik, namun juga menyegarkan jiwa dan nurani kita. Nilai dan spirit Ramadan tentang pengendalian atau pembatasan hawa nafsu dan kedisplinan dalam menjalani perintah agama itulah yang idealnya kita reaktualisasikan dalam konteks kehidupan normal baru di masa pandemi.

Seperti dapat dilihat, situasi pandemi ini benar-benar mengubah nyaris seluruh kehidupan manusia. Di satu sisi, sebagian besar masyarakat mengalami penurunan bahkan kehilangan penghasilan akibat lesunya ekonomi. Di sisi lain, sebagian masyarakat mengalami peningkatan kegelisahan, kekhawatiran dan kecemasan yang telah sampai pada tahap membahayakan kesehatan jiwa. Situasi yang demikian ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan di nyaris seluruh dunia.

Survei lembaga Gallup asal Amerika Serikat menyebutkan bahwa pandemi Covid-19 telah menyebabkan sedikitnya 60 persen warga dunia mengalami depresi. Hasil survei ini membuktikan bahwa pandemi tidak hanya berdampak bagi kesehatan fisik masyarakat dan kondisi ekonomi global, namun juga berdampak serius pada kondisi psikologis. Kecemasan, kekhawatiran dan kepanikan ialah sindrom gangguan jiwa yang umumnya hanya bisad diobati dengan terapi kejiwaan, bukan obat-obatan kimiawi. Dalam konteks inilah, agama bisa memainkan perannya dalam membantu manusia menghadapi pandemi dengan kondisi psikologis yang stabil.

Dalam konteks Islam, nilai-nilai yang diajarkan selama bulan puasa, terutama terkait kesabaran dan keikhlasan kiranya akan sangat berguna di tengah pandemi. Protokol kesehatan seperti menjaga jarak fisik, mengenakan masker, mencuci tangan dengan sabun atau membasuhnya dengan hand sanitiser tentu sangat diperlukan untuk mencegah penularan Covid-19. Namun, tidak kalah penting dari itu ialah menerapkan protokol kejiwaan agar kondisi psikologis kita tetap terjaga selama masa pandemi ini. Selain physical/sosial distancing, kita juga membutuhkan psychological distancing, yakni praktik menjaga jarak dari histeria negatif yang dapat mendatangkan kekhawatiran, kecemasan dan kepanikan berlebihan dalam menghadapi pandemi.

Dalam leksikon ilmu psikologi, dikenal istilah resiliensi (resilience). Yakni kapasitas manusia untuk menerima, menghadapi dan mentransformasikan masalah, baik yang tengah maupun telah dihadapi dalam kehidupannya. Istilah resiliensi pertama kali dikenal dalam ilmu psikologi untuk menjelaskan kemampuan manusia dalam menyesuaikan diri dan luwes dalam menghadapi tekanan baik internal maupun eksternal dalam perjalanan kehidupan (Davis: 1999).

Manusia yang resilien, secara sederhana dapat dipahami sebagai manusia yang berhasil beradaptasi dengan kesulitan, mampu meminimalisasi efek merusak dari sebuah kondisi krisis, mampu mengatasi kesulitan dan kembali ke kehidupan normal seperti semula, serta mampu mempertahankan stabilitas psikologis dalam menghadapi tekanan (Dictionary of Psichology: 2015).

Resilensi dapat dibentuk dari dua faktor, yakni eksternal dan internal. Dari sisi eksternal, keluarga atau lingkungan masyarakat yang kondusif dan memiliki keterikatan serta solidaritas sosial yang kuat akan menjadi elemen penting dalam membentuk resilensi. Sedangkan dari sisi individu, jiwa resilien dapat dibentuk dari sikap percaya diri dan ketangguhan dalam menghadapi kesulitan. Ketangguhan dalam hal ini juga mencakup sikap tenang, sabar dan ikhlas dalam menghadapi segala persoalan (Wright and Masten, 2015). Di titik inilah, nilai-nilai kesabaran dan keikhlasan yang kita pelajari selama bulan Ramadan idealnya bisa kita jadikan modal untuk membentuk sikap resiliensi di tengah pandemi ini. Dunia kini tengah ada dalam fase perubahan menuju tatanan baru, dan hanya manusia yang mampu beradaptasi akan berhasil mempertahankan diri. Maka, Menjaga kesehatan fisik sekaligus psikis adalah hal mutlak yang harus kita lakukan di masa new normal yang harus kita jalani di tengah pandemi Covid-19 ini.

This post was last modified on 27 Mei 2020 2:30 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago