Categories: Narasi

Menyambut Salam Pancasila

Wacana Salam Pancasila sebagai salam nasional kembali mencuat setelah dihembuskan oleh Kepala BPIP, Yudian Wahyudi, bersamaan dengan pernyataannya yang disalahpahami banyak orang, tentang “musuh terbesar Pancasila adalah agama”. Meski demikian, apa yang disampaikan oleh Yudian Wahyudi, tentang Salam Pancasila ini, lagi-lagi disalahpahami oleh mereka, yang sepertinya memang sulit menerima “hidayah”, miskin wawasan kebangsaan.

Salam Pancasila, bagi mereka yang menentang, sayangnya, lebih pada pertimbangan emosional sempit, bukan pada alasan akademik dalam diskursus ilmu-ilmu sosial. Misalnya, muncul anggapan bahwa wacana Salam Pancasila akan menggantikan Assalamu’alaikum bagi pemeluk agama Islam. Sungguh persepsi yang keliru.

Salam Pancasila sebenarnya bukan wacana baru, tetapi argumen logisnya memang dinarasikan oleh Kepala BPIP saat diwawancarai oleh media online pada 12 Februari 2020. Salam Pancasila, menurut Yudian Wahyudi, dapat menjembatani pengucapan salam untuk agama-agama dalam sebuah forum yang dihadiri oleh lintas agama, sehingga selain memilik unsur semangat nasionalisme, juga terdapat unsur fleksibelitas dan menghindari kontroversi di sebagian pemuka agama Islam.

Salam Pancasila diperkenalkan oleh Megawati Soekarnoputri, 12 Agustus 2017, dalam kapasitasnya sebagai Ketua Dewan Pengarah Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-KIP), saat memberikan sambutan di hadapan 500-an mahasiswa di halaman istana, yang juga dihadiri oleh Presiden Joko Widodo beserta anggota-anggota BPIP.

Baca Juga : Salam Pancasila Untuk Kita Semua

Megawati kala itu bahkan sampai memperagakan Salam Pancasila dengan mengangkat tangan kanan serupa posisi hormat. Namun, ujung jari tidak menempel di dahi, melainkan berjarak sejengkal dari dahi bagian kanan. Gerakannya pun mesti sedikit menghentak dengan memekikkan, Salam Pancasila!

Menurut keterangan Megawati, Salam Pancasila merupakan salam nasional yang pernah dipopulerkan oleh Soekarno. Megawati juga mengklaim, ada dokumen otentik yang menunjukkan salam tersebut diciptakan oleh Soekarno. “Beliau (Bung Karno) berkeinginan setiap warga negara secara fisik itu memberikan salam hormatnya satu sama lain dengan cara salam Pancasila,” ujar Megawati.

Dalil historis

Sampai sekarang, secara pribadi, saya penasaran bukti otentik yang dikemukan oleh Megawati itu tentang Salam Pancasila yang diperagakan oleh Soekarno. Yang saya tahu, berdasarkan dokumen tertanggal 24 September 1955 di Surabaya, Soekarno menyampaikan pidato kenegaraan di depan Kongres Rakyat Jawa Timur.

Soekarno oleh forum itu, diundang untuk memberikan wejangan, seputar refleksi menjadi warga dan negara yang kokoh setelah kemerdekaan yang baru seumur jagung. Dan Soekarno pun gayung bersambut. Ia hadir dengan penuh gembira.

Soekarno yang memang dikenal merakyat, sangat dekat dengan rakyat, bahkan atas kemauannya sendirilah, ia menghendaki agar jangan dikondisikan jauh dengan tempat berkumpulnya rakyat.

Di forum yang mulia itulah, Soekarno memperkenalkan salam nasional, bukan berdasarkan sumber dari doktrin agama, atau sekadar mengatakan salam sejahtera, dan lain sebagainya.

Lalu, salam bagaimana yang diinginkan oleh Soekarno? Sederhana, mudah diingat dan diucapkan, yaitu: Merdeka! Sebuah ungkapan salam, yang sepertinya jarang dilakukan oleh pemimpin formal kita dari tingkat daerah hingga pusat, termasuk pula oleh rakyat secara umum.

Apakah Soekarno mengabaikan ungkapan salam yang lahir dari rahim agama? Tidak. Coba perhatikan argumen Soekarno di bawah ini.

“Saudara-saudara sekalian! Saya adalah orang Islam, dan saya keluarga negara republik Indonesia. Sebagai orang Islam, saya menyampaikan salam Islam kepada saudara-saudara sekalian, Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatuh.

Sebagai warga negara republik Indonesia, saya menyampaikan kepada saudara-saudara sekalian, baik yang beragama Islam, baik yang beragama Hindu-Bali, baik yang beragama lain, kepada saudara-saudara sekalian saya menyampaikan salam nasional, Merdeka!”

Soekarno, di dalam pidatonya itu, justru mengajak rakyat, dan kita semua di zaman sekarang, agar melakukan internalisasi terhadap makna salam, yang artinya adalah damai, sejahtera. Apalah guna tampak taat beragama dengan “mengobral” ucapan assalamu’alaikum, misalnya, sementara di dalam dirinya masih dipenuhi oleh kebencian, dendam membara, pikiran kotor untuk menyakiti orang lain.

Soekarno di masa itu—dan tentu sangat relevan dengan zaman sekarang—justru mengkritik kecenderungan orang atau kelompok tertentu yang lantang mengucapkan assalamu’alaikum, tetapi tidak berbanding lurus dengan perbuatannya yang tidak memberi damai kepada orang lain.

“Marilah kita bangsa Indonesia, terutama sekalian yang beragama Islam hidup damai dan sejahtera satu sama lain. Jangan kita bertengkar terlalu-lalu sampai membahayakan persatuan bangsa. Bahkan jangan kita sebagai gerombolan-gerombolan yang menyebutkan assalamu’alaikum, akan tetapi membakar rumah-rumah rakyat”, ucap Soekarno.

Dari penelusuran di atas, Salam Pancasila, selain jika memang ada bukti otentik seperti yang ditegaskan oleh Megawati, menurut saya, juga diadaptasi dari “Salam Merdeka” yang juga pernah digelorakan oleh Soekarno. Jika demikian, tidak ada salahnya, apabila menerapkan Salam Pancasila sebagai salam nasional, karena memang memiliki dasar atau dalil historis. Salam Pancasila!

This post was last modified on 27 Februari 2020 1:21 PM

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

View Comments

Recent Posts

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

13 jam ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

15 jam ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

15 jam ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

2 hari ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

2 hari ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

2 hari ago