Categories: Kebangsaan

Menyelamatkan Pesantren Dari Kecurigaan yang Sedang nge-Trend

Beberapa waktu terakhir ini media kita sedang heboh menanggapi pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Dr. Saud Usman Nasution, SH, MH terkait dengan temuan lembaganya tentang adanya pesantren yang terindikasi mengajarkan paham kekerasan dalam rupa radikalisme dan (bahkan) terorisme. Pernyataan ini tentu mengagetkan, bagaimana bisa pesantren yang sedari awal dikenal sebagai lembaga pendidikan agama yang konsisten mengajarkan Islam yang damai dan berkeadaban kini justru mbalelo mengajarkan kekerasan yang kemudian seenaknya dicap sebagai perintah tuhan?

Reaksi lain yang muncul atas pemberitaan itu tentu saja marah dan merasa tidak terima, terutama jika pola pembacaan terhadap beritanya tidak disaring terlebih dahulu. Akibatnya tidak sedikit masyarakat yang uringan-uringan dengan informasi yang ‘tidak mengenakkan’ itu. BNPT sendiri tentu bukan tanpa alasan menyebut radikalisme telah mencemari sejumlah pesantren, lebih tepatnya Saud menyebut ada 19 pesantren yang terindikasi sudah terpapar virus radikalisme.

Dibandingkan dengan jumlah total keseluruhan pesantren resmi di Indonesia yang saat ini sudah mencapai 27.000 banyaknya, angka 19 tentu bukan representasi kuat untuk sebuah lembaga pendidikan besar dengan hamparan sejarah panjangnya bernama pesantren. Meski demikian, angka 19 juga tidak bisa dianggap terlalu sedikit untuk tidak segera digigit. Temuan BNPT tentang 19 pesantren yang terindikasi telah terjangkit radikalisme harus dilihat dari sisi positif; mumpung masih sedikit sebaiknya langsung digarap, jangan sampai membesar dan tambah mencemar.

Hal lain yang harus pula diperhatikan dari statemen kepala BNPT di atas adalah fakta bahwa 19 pesantren tersebut levelnya masih terindikasi, belum terbukti. Karenanya Saud menegaskan bahwa pihaknya tidak bisa serta-merta mencabut izin dari pesantren yang dimaksud. Pihaknya hanya akan melakukan pengawasan terhadap para santri serta pimpinan pesantrennya, sehingga dengan itu BNPT dapat lebih mudah melakukan upaya pencegahan, bukan pembredelan sebagaimana dituduhkan beberapa kalangan.

Terlepas dari kontroversi terkait temuan BNPT ini, fakta bahwa radikalisme mulai menyusup ke dunia pesantren harus menjadi alarm untuk kita bersama. Kita tentu tidak ingin pesantren yang telah berjasa sejak jaman behula dicemari oleh paham-paham kekerasan yang malah mengajarkan para santrinya untuk membenci dan memusuhi sesama. Kita tentu geram dengan hal ini, tetapi mengarahkan kemarahan kepada lembaga negara yang berhasil mengungkap faktanya tentu tidak tepat. Ibaratnya, kita benci kepada pencuri tetapi justru memaki polisi yang berhasil mengungkap identitas si maling yang tidak tahu diri itu.

Kegeraman terhadap masuknya radikalisme ke dunia pesantren pernah diungkap oleh Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Prof. Dr. Ahmad Satori Ismail beberapa waktu lalu, ia mengatakan pesantren yang mengajarkan radikalisme adalah pesantren yang keblinger! Karenanya ia meminta pemerintah untuk serius mencermati pesantren-pesantren yang melenceng itu. Jangan sampai pesantren yang kite elu-elukan itu disalahgunakan oleh oknum-oknum bejat untuk berbuat jahat.

Karenanya, alih-alih mengumbar kecurigaan dan fitnah berlebihan terhadap pemerintah, kita seharusnya mendukung upaya pemerintah dalam memberantas benih-benih radikalisme ini. Jangan sampai kita hanya bisa blingsatan di saat benih itu sudah terlanjur membesar dan ‘memanen’ berbagai kerusuhan dan kehancuran. Kita harus terus mendukung pemerintah untuk tidak pernah mundur dalam memberantas radikalisme dan terorisme, pemerintah harus benar-benar bisa turn back crime.

Kepercayaan dan dukungan yang kita berikan kepada pemerintah tentu akan menjadi amunisi yang tidak ternilai harganya, pemerintah harus tahu bahwa ada kita di belakang mereka. Kita juga tentu tidak ingin Islam ditunggangi oleh kelompok-kelompok tertentu yang risih dengan perdamaian, yang doyan memamerkan tuhan dengan cara-cara kekerasan, yang sudah terlalu mabuk pada imaji surga hingga lupa untuk berbuat baik terhadap sesama.

Mari bersama-sama menyelamatkan pesantren dari virus keji bernama radikalisme!

Khoirul Anam

Alumni Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), UGM Yogyakarta. Pernah nyantri di Ponpes Salafiyah Syafiyah, Sukorejo, Situbondo, Jatim dan Ponpes al Asyariah, kalibeber, Wonosobo, Jateng. Aktif menulis untuk tema perdamaian, deradikalisasi, dan agama. Tinggal di @anam_tujuh

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago