Narasi

Menyiapkan Generasi Bermental Iqra’ bukan Qital

Dalam obrolan santai yang tidak terlalu penting di sela pengajaran di lembaga pendidikan usia dini, salah seorang guru menanyakan penting ngga sih mengenalkan sejarah perang hingga memakaikan atribut perang untuk anak-anak usia dini? Saling tanya jawab pun mengalir. Sekarang obrolan tidak penting itu telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan yang teramat penting.

Pertanyaanya: apa sejak kecil memang harus ditanamkan mental dan daya juang perang fisik seperti itu untuk anak-anak? Lalu, bagaimana sebaiknya Islam dikenalkan dan ditanamkan sejak awal kepada anak usia dini? Nampaknya sebelum menjawab berbagai pertanyaan guru-guru rempong ini saya ingin mengulas dari perjalanan sirah Rasul.

Wahyu pertama yang diberikan kepada utusannya yang terpilih dan agung, Rasulullah, adalah iqra’. Perintah ini sangat jelas bahwa umat Islam diperintahkan untuk selalu mengkaji, mempelajari dan mendalami pengetahuan secara luas. Dengan mental iqra’ umat Islam tidak akan mudah terpedaya dan terhasut dengan provokasi, hoax dan adu domba yang dapat memecah belah.

Inilah pondasi agama Islam yang banyak dilupakan oleh generasi berikutnya. Islam adalah peradaban yang dibangun oleh budaya iqra’. Umat Islam adalah generasi yang membangun peradaban dunia dengan khazanah keilmuan dan pengetahuan. Islam menjadi sebuah peradaban maju yang kekal bukan karena penaklukan tetapi karena pengetahuan.

Baca Juga : Menghalau Provokasi Belah Bambu

Lambat laun, budaya dan mental iqra’ menghilang. Ayat-ayat yang mendorong untuk melakukan iqra seperti ayat-ayat pengetahuan menjadi terlupakan. Ayat-ayat qital (perang) yang jumlah sedikit justru menjadi populer. Menjadi sangat jelas pada akhirnya generasi Islam menjadi generasi militan, bukan generasi ilmuwan.

Popularitas ayat-ayat qital sebenarnya tidak bisa dihindari. Islam pernah berjaya dengan peradaban iqra’nya tetapi lambat laun menjadi padam. Kolonialisasi dan penindasan di dunia Islam cukup memberikan pengaruh besar bagi upaya kebangkitan di beberapa wilayah dengan menghadapi berbagai penjajahan. Ayat-ayat perang menjadi cukup menarik sebagai motivasi membangkitkan semangat juang.

Era telah berubah secara drastis. Tantangan pun telah mengalami pergeseran yang teramat jauh. Fase-fase perjuangan dan perlawanan di berbagai negara telah bergeser dari tantangan ancaman fisik ke non fisik. Kolonialisasi tidak lagi dibangun atas fondasi perang militer, tetapi perang pengetahuan.

Apa yang diandaikan ketika seseorang orang tua mendadani anaknya dengan sepucuk senjata mainan dan pedang untuk dipamerkan? Salahkah? Tentu satu sisi adalah kewajaran dengan memaknai perjuangan fisik. Namun, menjadi kurang tepat ketika menanamkan kecintaan beragama dengan cara demikian. Fase menumbuhkan keagamaan dari kecil adalah fase iqra’ sebagaimana Rasul memulai perjuangnnya dengan paradigma iqra’.

Penting mengenalkan sejarah perang sebagai bagian dari sejarah perjuangan. Penting mengangkat tokoh-tokoh panglima perang yang gigih dan berani. Penanaman itu sebagai ibrah bahwa merebut kemerdekaan dan kebebasan itu tidak mudah karena juga membutuhkan perjuangan berdarah pada masanya.

Namun, tidak kalah pentingnya generasi saat ini mengenal tokoh-tokoh besar dari ulama, ilmuwan, dan cendekia muslim yang pernah membangun peradaban pengetahuan Islam. Tokoh-tokoh ini kurang mendapatkan ruang dan porsi yang memadai dikenal oleh generasi saat ini karena tidak pernah dideskripsikan sebagai idola-idola bagi generasi saat ini. Tidak ada keinginan dan cita-cita anak-anak untuk menjadi ilmuwan sekaliber para Imam Madzhab, Imam Ghazali, al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd dan deretan tokoh lainnya yang telah memberikan pencerahan tidak hanya pada peradaban muslim, tetapi dunia.

Kecintaan terhadap agama yang harus ditanamkan sejak dini adalah mental iqra’ bukan lagi qital. Mendidik generasi muslim ke depan bukan dengan mengenalkan anak sejak dini dengan slogan dan atribut perang, tetapi dengan slogan dan atribut pengetahuan. Penguasaan ilmu pengetahuan dan wawasan yang terbuka menjadi kunci generasi ini mampu membangun peradaban yang maju. Haruslah tertanam dalam benak generasi saat ini bahwa kemajuan dan perjuangan Islam akan diraih dengan penguasaan ilmu pengetahuan. Tantangan ke depan adalah bagaimana mengimplementasikan wawasan iqra’ sebagai senjata dalam menghadapi tantangan zaman.

This post was last modified on 10 Juli 2020 1:20 PM

Farhah Sholihah

Recent Posts

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

17 jam ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

20 jam ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

20 jam ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

2 hari ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

2 hari ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

2 hari ago