Narasi

Merajut Perdamaian di Tengah Maraknya Politik Identitas

Pemilu dan pilpers sudah usai, tetapi ujaran kebencian belum selesai. Para kontestan sudah berdamai, tetapi pendukungnya di akar rumput masih memproduksi hoax serta masih terjadi resistensi. Rekonsiliasi sudah terjalin, tetapi sakit hati sebab jagoannya kalah belum terobati.

Semua terjadi akibat politik identitas selama ini dijadikan sebagai senjata. Politik identitas adalah politik yang membedakan. Aku versus engkau. Kami versi kalian. Kita versus mereka. Semuanya tersekat dalam batas-batas yang ditentukan.

Batas-batas itu sebagai penegasan dan penentu siapa yang diterima (kami) dan siapa yang ditolak (mereka). Agama, suku, etnis, kepentingan ekonomi, dan ideologi, sering dijadikan sebagai pembatas dan pembeda. Konsekuensinya,  intoleransi, kekerasan, polarisasi, dan pertentangan etnis tak terelakkan.

Tindakan yang membedakan individu/kelompok dengan yang liyan dilakukan secara simultan yang pada akhir, kemajemukan masyarakat menjadi azab, tidak bisa lagi menjadi perekat dalam ikatan kesatuan dan persatuan.

Politik Kebencian

Meskipun oleh sebagian pihak, politik identitas dinyatakan mempunyai efek positif dalam membangun militansi dan ikatan ke dalam, akan tetapi ikatan keluar justru lebih banyak efek negatifnya. Efek negatif itu adalah maraknya ujaran kebencian. Bahkan politik kebencian adalah anak kandung dari politik identitas.

Atas nama ideologi partai, memfitnah pihak lain dianggap sah. Demi meraup suara yang banyak, menyebar hoax dan memprovokasi lawan dianggap wajar. Untuk mendulang simpati dan empati pendukung, mendramatisir dan memelintir isu, kasus, dan peristiwa tertentu –sering dilakukan.

Kepentingan politik sektarian menjadi tujuan. Narasi kebencian dihembuskan. Orang yang bersebarangan dengan kelompok, diserang, dicaci, dan dipereteli kesalahan masa lalunya.

Baca Juga : Pemuda, Gelombang Agama dan Kemanusiaan

Beberapa studi menunjukkan, setidaknya ada empat narasi kebencian yang digunakan untuk memperkuat politik identitas sektarian.

Pertama, narasi militansi yang mengajak orang untuk membenci orang lain yang berbeda agama, etnis, suku, pendapat, dan preferensi pilihan politik.

Kedua, narasi terzalimi. Narasi ini sering digunakan oleh oposisi. Strategi kami terzalimi sangat ampuh untuk mendulang simpati masyarakat untuk membenci pemerintah dan kelompok yang dianggap musuh.

Ketiga, narasi intoleransi. Digunakan untuk merendahkan pihak lain dengan cara mencari kejelakan, kesalahan, aib masa lalunya. Semunya diumbar ke publik. Dengan dalih pihak lain itu punya aib dan kesalahan, maka merendahkan, menghina, dan memusuhinya dianggap absah.

Keempat, narasi konspirasi. Politik ini dituduhkan kepada pemerintah atau kelompok pendukung pemerintah. Narasi ini digembor-gemborkan, bahwa pemerintah bekerjasama dengan pihak asing dan aseng. Asing dan aseng adalah dua kata kunci yang sering digunakan untuk menjatuhkan dan memojokkan pihak lain.

Merajut Perdamaian

Narasi-narasi di atas harus dihentikan. Kita kembali ke jati diri bangsa. Bahwa kita semua adalah saudara dan anak bumi manusia Nusantara. Kita tanggalkan baju yang mengkotak-kotakan kita selama ini. Tidak ada lagi istilah aku versus engkau, kami versus kalian, dan kita versus mereka. Semua melebur dalam ikatan persaudaraan.

Merajut perdamaian itu harus dimulai dari diri sendiri. Setiap individu harus membuka diri. Memberikan ruang kepada orang lain. Harus disadari, bahwa bangsa ini bisa merdeka dan eksis sampai sekarang berkat adanya kerja sama antara dan antar sesama.

Membuka diri perlu digarisbawahi. Sebab, selama proses pemilu ini, kita terjebak pada identitas sektarian kita masing-masing. Rasa egoisme harus dibuang. Kita menatap masa depan secara bersama-sama, saling merangkul menyongsong hari esok.

Dengan membuka diri, maka keberagaman bukan lagi sebagai azab. Melainkan nikmat yang harus dirawat. Kemajemukan Indonesia adalah berkah dari Yang Maha Kuasa yang harus kita jaga bersama. Amanah itu harus dijalankan. Jangan sampai dirusak oleh oknum-oknum tertentu demi politik pragmatis.

Hidup saling asah dalam beragama, dan saling asuh dalam kehidupan menjadi spirit dalam mengelola keberagaman. Perbedaan suku, agama, etnis, budaya, dan bahasa harus dirayakan.

Keberagaman itu seperti pelangi, indah dan menawan karena adanya perbedaan. Nusantara indah dan menawan sebab dihuni oleh dua ratus lima puluh juta manusia dengan latar belakang yang berbeda-beda.

Mari merajut perdamaian. Di tengah maraknya sikap saling menegasikan, merajut perdamaian adalah bak oase di padang pasir, dirindukan oleh semua pihak. Kita sudah capek dan lelah selama ini kita terkotak-kotak.

Kita keluar kotak, tanggalkan semua bentuk kepentingan ideologi politik sektarian. Mari saling merangkul. Kita adalah sama-sama anak bangsa.

Ahmad Kamil

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago