Categories: Narasi

Merajut Simpul-simpul Ukhuwah yang Tengah Pecah

Menarik membaca ulasan Ahmad Ali Mashum di kolom Suara Kita Jalan Damai (31/12/2019). Ia mengupas betapa ukhuwah (persaudaraan) merupakan pilar kebangsaan yang harus diprioritaskan di tengah gemelut arus fitnah dan semacamnya itu menjejali relung kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini.

Tulisan ini hendak menegenuhkan apa yang sudah lebih dahulu diteguhkan oleh Ahmad Ali Mashum, namun dengan perspektif lain. Disadari atau tidak, saat ini simpul-simpul tali ukhuwah (persudaraan) antar segenap anak bangsa mulai pecah. Kejadian-kejadian yang mengarah pada disintregasi bangsa sudah begitu banyak yang berseliweran di depan mata kita. Polarisasi pun menjadi tak terhindarkan di era sekarang.

Media sosial yang awalnya didirikan agar yang jauh menjadi dekat, yang rapuh menjadi kuat, persudaraan semakin lekat, dan mampu menyatukan manusia tanpa mengenal sekat-sekat. Kini, media sosial justru menjadi penyebab paling besar terjadinya perpecahan diantara segenap anak bangsa. Hanya postingan link atau live streaming “bokep” aja pengguna media sosial bersatu padu, sementara pada aspek lain cenderung pecah-belah; bersitegang, saling membully, mencaci-maki antara satu dengan lainnya.

Jika dahulu pedang, celurit dan senjata tajam lainnya menjadi penyebab perpecahan, justru di masa sekarang ini yang menjadi penyebabnya adalah jari kita. Bagaimana tidak, hanya dengan mengklik atau share di medsos terkait berita hoax, ujaran kebencian, fitnah, dan sejenisnya, masyarakat akan terprovokasi dan terbelah, setidaknya menjadi dua kelompok–kelompok yang pro, dan kelompok yang kontra.

Bahkan, dalam beberapa tahun belakangan ini, upaya memenjarakan sesama saudara atau kelompok, sangat tinggi. Bahkan seolah lapor-melapor dengan dugaan ini-itu ini sudah menjadi tren tersendiri. Memotong, bahkan memplintir pernyataan tokoh/kyai/ustad tertentu untuk kemudian diviralkan di media sosial dengan harapan mendapatkan simpati masyarakat di satu sisi. Sementara di sisi lain ada niatan untuk menjatuhkan tokoh yang diviralkan tersebut. Bahkan, dengan dalih tuduhan menista agama, dan tetek bengek lainnya, si ustad/kyai tersebut dilaporkan ke polisi.

Mereka berpandangan bahwa berhasil menjebloskan saudaranya sendiri, namun memiliki sedit perbedaan dalam hal perjuangan misalnya, dianggap sebagai sebuah “prestasi” yang memiliki kepuasan batin yang luar biasa. Selain saling melaporkan pihak tertentu ke polisi, aksi membubarkan pengajian dan demonstrasi juga turut memperkeruh langit-langit persaudaraan dan persatuan.

Padahal, masalah-masalah itu sesungguhnya selesai jika antar kedua belah pihak saling menjalin simpul persaudaraan. Sehingga cukup diselesaikan dengan asas kekeluargaan dan persaudaraan saja sudah cukup, sehingga tak usah (perlu) sampai melibatkan aparat kepolisian.

Baca Juga : Tahun Baru dan Ikhtiar Merawat Persaudaraan Kebangsaan

Fenomena di atas menjelaskan dengan jelas betapa persatuan dan persaudaraan sudah tidak lagi dijadikan sebagai dasar dalam menjalani roda kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Tentu hal ini tidak bisa dibiarkan saja karena akibat dari meluasnya fenomena di atas adalah fatal; Indonesia bisa bubar!

Faktor Penyebab

Dalam bingkai merajut simpul-simpul ukhuwah yang mulai pecah, perlu diuraikan secara komprehensif faktor penyebabnya (mendiagnosa) sehingga akan ditemukan solusinya (obatnya). Setidaknya ada beberapa faktor penyebab ukhuwah yang mulai pecah ini.

Pertama, fanatisme berlebihan. Secara singkatnya, fanatisme adalah paham atau sikap yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu yang berlebihan (Baca: wikipedia). Fanatisme ini kemudian banyak macamnya; ada fanatisme agama, kelompok dan lainnya.

George Santayana mengatakan bahwa fanatisme sebagai melipatgandakan usaha ketika sudah lupa dengan tujuan utama. Setali dengan itu, Winston Churchil menekankan betapa fanatisme tidak akan pernah bisa mengubah pola pikir seseorang dan haluan sehingga seorang yang demikian tidak akan bisa mengambil manfaat berpikir positif.

Kemudian fanatisme ini pada puncaknya melahirkan anggapan bahwa selain kelompoknya, adalah kelompok yang salah, sesat dan lainnya. Dengan demikian, kalau seseorang sudah fanatik terhadap kelompok tertentu misalnya, maka akan menganggap kelompok selainnya sebagai kelompok yang rendah, salah dan negatif. Di sinilah nilai-nilai ukhuwah tidak akan laku. Dan fanatisme (yang salah) menjadi ancaman nyata keutuhan NKRI.

Kedua, tidak menerima perbedaan. Ihwal beda adalah sebuah keniscayaan dan harus dipandang sebagai sesuatu yang biasa masih belum sepenuhnya menghujam dalam diri bangsa ini. Hanya karena berbeda pandangan tentang sesuatu yang remeh-temeh dan masalah furu’iyah (cabang), kemudian menjadi penyebab retaknya hubungan persaudaraan. Realita di lapangan menunjukkan sikap dan pemahaman demikian, bahwa berbeda belum disikapi secara dewasa.

Ketiga, menguatnya individualisme. Elo ya elo, gue ya gue, sudah menjalar dalam sebagian masyarakat Indonesia. Kepedulian sosial dan gotong-royong yang menjadi warisan luhur nenek moyang sudah mulai ditinggalkan. Bahkan tegur sapa ketika kesisipan saudara di jalan pun juga sudah jarang kita jumpai. Menguatnya individualisme ini turut menyumbang dalam mempercepat punahnya persaudaraan.

Kempat, maraknya hasad (dengki). Hasut dan dengki merupakan ‘penyakit’ hati yang merundung umat manusia sejak zaman dahulu kala. Syaikh Tahir Ibn Asyur di dalam tafsirnya al-Tahrir wa al-Tanwir memberikan definisi, bahwa “Dengki (hasad) adalah perasaan jiwa yang muncul dari melihat kebaikan pada orang lain dengan harapan agar kebaikan itu hilang dari orang tersebut karena cemburu (girah).”

Perasaan cemburu atas orang lain karena mendapatkan rezeki, kenikmatan, prestasi dan lain sebagainya mendorong seseorang berlaku tidak adil. Berburuk sangka merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad), sehingga seringkali sikap dengki ini melahirkan perpecahan, fitnah dan lainnya. Karena sifat dan sikap tersebut, maka simpul-simpul ukhuwah seperti ta’awun (saling menolong), tafahum (saling memahami), dan ta’aluf (sikap menyatukan antara sesama saudara) merupakan perusak ukhuwah.

Urgensi Merajut Simpul-simpul Ukhuwah

Ukhuwah menciptakan wihdah (persatuan), ukhuwah juga menciptakan quwwah (kekuatan), ukhuwah juga menciptakan mahabbah (kasih sayang). Persaudaraan (ukhuwah) adalah pilar kekuatan (QS. Al-Hasyr, 8-9). Oleh sebab itu, mari kita habiskan seluruh energi kita untuk membangun umat dan bangsa. Hentikan laku yang dapat merusak ukhuwah seperti saling menuduh, melapor, mencelakakan, menfitnah, menjatuhkan dan menebar berita hoax.

Simpul-simpul ukhuwah harus terus disambung dan dijaga serta dirawat sepanjang masa. Bagaimana caranya?

Pertama, memasyarakatkan komponen ukhuwah. Adapun komponen tersebut adalah, silaturrahim, memperhatikan saudaranya dan membantu (tolong-menolong), selalu mengedepankan dialog dalam menyelesaikan perselisihan, dan saling menghargai. Jika komponen ini sudah menjadi ruh, maka sikap fanatisme berlebihan perlahan akan menghilang.

Diantara tugas da’i hari ini adalah, memasyarakatkan komponen ukhuwah di tengah simpul-simpulnya yang mulai putus. Dengan demikian, ustad/kyai atau tokoh agama wajib menggaungkan narasi yang edukatif dan memperkuat ukhuwah. Dalam hal ini, masyarakat, sebagai mana diserukan oleh Quraish Shibab, pilihlah ustad yang tidak memaki-maki.

Kedua, memperbanyak dialog. Sebagai salah satu simpul persaudaraan, dialog menjadi sesuatu yang urgens. Memperbanyak dialog untuk menyamakan persepsi terhadap masalah yang fundamental harus selalu dilakukan guna memperkuat tali persaudaraan dan menghindari kontroversi serta mis-komunikasi serta mis-persepsi. Dialog ini tentunya untuk menyamakan persepsi dan lebih banyak mencari persamaan daripada perbedaan. Jika pun terjadi perbedaan, tidak akan sampai pada bersifat antagonis.

Ketiga, kebersamaan. Toleransi dan kerukunan serta budaya gotong-royong menjadi kunci eksistensi manusia di muka bumi ini. Hal ini mengkonfirmasi bahwa arti sesungguhnya manusia adalah kebersamaan. Tanpa kebersamaan,persaudaraan, atau bahkan kehidupan, tak akan terjalin dengan damai dan produktif.

Simpul-simpul ukhuwah tidak boleh lepas. Meskipun berat dan sulit, tetap harus diupayakan. Adalah sebuah kerugian bersama nun besar jika bangsa kita terpecah-belah. Kekayaan alam, SDM dan karunia luar biasa lainnya yang dikandung bumi Indonesia ini tidak akan ada artinya. Oleh sebab itu, mari kita rajut (kembali) simpul-simpul ukhuwah yang kini mulai ada indikasi kuat mulai pecah.

This post was last modified on 3 Januari 2020 3:22 PM

M Najib

Presiden Direktur Abana Institute, Mahasiswa Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago