Narasi

Merawat Hak Bicara Membudayakan Musyawarah

Musyawarah bukanlah kata asing dalam ke-Indonesiaan. Bukan juga konsep baru yang diserap dari bahasa dan budaya di luar Indonesia. Musyawarah telah ada sejak dahulu sebagai cara untuk menyelesaikan masalah yang ada hampir disemua kebudayaan tanah air. Sebagai sarana menyelesaikan masalah, rembukan telah menunjukkan kekuatan dan kemampuannya dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia.

Kehadiran ASEAN, KAA (Konferensi Asia-Afrika), dan gerakan non-blok adalah bukti eksistensi budaya musyawarah sekaligus prestasi besar bangsa yang setidaknya didiami 1.340 suku bangsa (data BPS pada tahun 2010). Bahkan dalam menyelesaikan masalah kolonialis, para pejuang tidak pernah meninggalkan perundingan sebagai jalan untuk menyelesaikan masalah. Tidak pernah melanggar hasil mufakat meski tak jarang sering menempatkan Indonesia sebagai pihak yang dirugikan.

Kekuatan untuk memilih jalan rembukan sebelum kekerasan merupakan cermin bahwa bangsa ini mencintai perdamaian dengan cara yang damai. Kemampuan dan keberanian Indonesia menempuh jalan musyawarah tidak jarang dimanfaatkan pihak lain untuk menekan Indonesia. Mafhum kiranya jika kata perundingan pada masa penjajahan bermakna negatif sebagai bentuk kerjasama dalam arti tunduk pada penjajah.

Hak bicara dalam musyawarah

Berbicara merupakan bagian dari hak asasi sebagai manusia yang dilindungi secara konstitusi. Kebebasan pendapat setiap orang di Indonesia termaktub dalam UUD 1945 pasal 28 secara khusus pasal 28 E bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Artinya, setiap warga Indonesia memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berserikat maupun berkumpul dimanapun, kapanpun dengan syarat tidak melanggar hak orang lain. Termasuk mengungkapkan pendapat saat bermusyawarah.

Berpendapat dalam perundingan merupakan hak setiap peserta tanpa terkecuali. Melalui tukar pendapat dan adu argumen inilah mufakat sebagai final dari musyawarah akan ditentukan. Terlibatnya emosi dalam bertukar pemikiran diharapkan berdampak pada pola pikir masyarakat yang lebih mengutamakan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Mengambil prioritas pemutusan berdasarkan situasi. Sintesisnya kepentingan bersama terakomodir dan kepentingan pribadi tetap dihormati.

Budaya kumpul menghendaki sebagai sarana untuk saling mengenal, mendengarkan, berdialog guna membicarakan suatu perkara. Pribahasa “mangan ora mangan sing penting kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul) ” ini menyiratkan pentingnya dialog terbuka dalam setiap kesempatan dan setiap hubungan. Semakin intens pertemuan diharapkan komunikasi terjalin dengan baik dan jurang perbedaan akan semakin sempit. Wajar kiranya jika acara rembukan menjadi budaya dalam semua lini kehidupan baik lingkup keluarga maupun negara. Semakin jarang kita kumpul dan rembukan semakin jauh mufakat dan toleransi berada.

Sayangnya, budaya yang memiliki kesan romantis ini perlahan mulai kehilangan esensinya. Mufakat yang dalam UUD merupakan cara pertama dalam mengambil keputusan mulai kalah pamor dengan voting. Sehingga dimensi emosi masyarakat terbungkam dan tidak tersalurkan dengan baik.

Musyawarah untuk mufakat dan musyawarah untuk voting

Tumbangnya orde baru yang membungkam hak berpendapat tidak lantas menyuburkan kembali musyawarah untuk mufakat. Kebebasan bicara dianggap sebagai kebebasan pers, kebebasan untuk memilih tidak kurang dan tidak lebih. Padahal semua ingin bicara, semua mau berkomentar alhasil media menjadi sarana unjuk kemampuan yang terpendam. Perkembangan TIK menjadi fasilitas pendukung yang bebas tanpa hukum. Sehingga istilah kebebasan berpendapat yang bertanggung jawab perlu di dengungkan kembali. Di sisi lain terjadi anomali dalam musyawarah. Musyawarah untuk voting justru berkembang sementara musyawarah untuk mufakat semakin memudar.

Voting yang awalnya adalah cara alternatif dalam keadaan darurat menjelma menjadi jalan pertama yang utama.  Sehingga hak bersuara dalam pertemuan tidak terfasilitasi. Hak menentukan pilihan lebur dalam hak memilih. Kemudahan dan kepraktisan voting menjadi nilai lebih yang dewasa ini lebih digandrungi dibanding mufakat. Kelemahan mufakat yang tidak efktif jika diterapkan dalam ranah yang luas dan kompleks misalnya dalam pemilihan presiden semakin kurang diminati. Pemilihan ketua RT terasa lebih demokratis dengan sistem voting. Ironisnya, di Sekolah-sekolah, dalam kelompok dan perserikatan yang kecil sekalipun voting menjadi primadona. Seolah demokrasi baru berjalan jika keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak (voting).

Tanpa disadari, sistem voting menjadi cara modern untuk membungkam kebebasan bersuara. Dalam voting peserta rapat tidak perlu berpendapat. Mereka hanya butuh memilih bukan menentukan pilihan. Memilih satu orang dalam daftar yang tidak dibuatnya. Sementara musyawarah untuk mufakat menghendaki kitalah yang membuat daftar calonnya dan kita juga yang akan menentukan siapa jawaranya. Karena itulah voting dijadikan jalan terakhir ketika mufakat tidak berhasil.

Musyawarah untuk voting menghendaki sedikit pendapat. Bahkan semakin sedikit komentar semakin baik hasilnya. Di pihak lain musyawarah untuk mufakat menghendaki pertemuan benar-benar bukan hanya ajang saling sapa namun juga saling kenal dan memahami setiap keinginan. Dalam mufakat, musyawarah akan lebih hidup dengan hadirnya gagasan dan pandangan yang akan mengasah sikap kritis yang tidak ditemukan dalam voting. Sehingga musyawarah bukan hanya sekedar pertemuan formalitas ataupun sekedar berkumpul untuk mempertahankan budaya tanpa memiliki esensi di dalamnya.

Esensi musyawarah hadir saat mufakat menjadi jalan pertama menyelesaiakan perkara bukan voting. Sehingga kebebasan bersuara terfasilitasi pada wadah yang tepat. Semua persoalan dikomunikasikan agar jelas dan tidak kabur. Hasil keputusan dapat diterima dengan legawa tanpa sikap saling curiga karena indikasi kecurangan. Tugas berat melaksanakan hasil musyawarah dengan patuh pun menjadi kesadaran akan kebutuhan bersama. Yang akhirnya menghasilkan ikatan yang kuat dan kokoh dalam bingkai persatuan.

Dewi Fathimah

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago