Faktual

Merayakan Keragaman dan Perbedaan dalam Bingkai Bhineka Tuggal Ika

Keragaman adalah fitrah. Manusia sudah diciptakan berbeda sejak dari sono-nya: bersuku-suku, beragam bahasa, budaya, tradisi, etnis, dan agama. Ini adalah hukum universal; kapan dan di mana pun akan berlaku. Dengan begitu, orang yang tidak mengakuai keragaman, sama dengan menafikan kodrat kemanusian. Spirit inilah yang dilihat oleh para pendiri bangsa, bahwa Indonesia adalah tanah air dari berbagai manusia bumi Nusantara. Bumi Nusantara adalah milik semua dan dihuni oleh semua. Ia adalah rumah bersama dengan beragama latarbelakang masing-masing.

Falsafah ini kemudian terejewantahkan dalam slogan Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi tetapi satu juga. Bhineka Tuggal Ika bukan saja mengakui keragaman, tapi juga menyuruh kita untuk berbeda. Di satu sisi, keragaman dan perbedaan menjadi nikmat ketika ia bisa membuat kita tambah kokoh, bersatu, tambah harmonis dan saling isi dan melengkapi. Tetapi di sisi lain, ia juga bisa jadi azab ketika kita saling menghantam, mencaci, dan menegasikan. Kedua sisi ini sangat potensial, tergantung bagaimana anak bangsa ini menggunakannya.

Baca juga : Bersaudara dalam Bineka, Potret Kultur Kebangsaan Indonesia

Di era digital saat ini, sisi keragaman sebagai azab malah lebih sering muncul di media sosial. Ujaran kebencian, hoax, dan provokasi, rasisme, bahkan dalam tingkat tertentu saling menegasikan. Media sosial seolah sudah menjadi ajang tempur untuk menunjukan eksisitensi tensi kelompoknya yang paling benar, paling baik, dan paling tepat.

Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan era para pendahu kita. Meraka menjadikan keragaman ini sebagai nikmat, sehingga hanya bermodalkan semangat dan alat seadanya –dalam ukuran rasional itu mustahil –kita sudah bisa memerdekakan bangsa ini dari kolonialisme dan imprealisme. Dulu, Nusantara yang terbagi dari berbagai kerajaan, suku, dan agama dengan semangat nasioanalisme bisa bersatu dan sama-sama bejuang. Spirit inilah yang seharusnya kita jadikan kunci dalam konteks sekarang; bahwa kita adalah satu tujuan, membawa Indonesia ini ke arah yang lebih cemerlang.

Dalam konteks ini, identitas adan karakter bangsa ini perlu ditumbuhkan lagi sebagai basis untuk merawat dan merayakan keragaman ini. Identitas yang dimaksud adalah rasa persaudaraan, kedamaian, gotong-royong, dan toleransi kepada yang lain. Merayakan keragaman dan perbedaan ini bisa dilakukan dengan dua cara, yakni dari atas (top-down) dan dari bawah (bottom-up). Cara pertama adalah tugas Negara. Dalam konteks ini, pemerintah harus membuat kebijakan yang bisa membuat generasi bangsa ini sadar akan keragaman dan perbedaan yang ada di Indonesia. Program ini bisa diwujudkan dengan membuat kurikulum yang bukan hanya sibuk mengurusi wilayah kognitif, melainkan juga memprioritaskan sisi budaya dan kemunusian dari bangsa ini. Cara kedua, battom-up adalah tugas masyarakat. Dalam konteks ini, keluarga harus ikut merayakan. Perayaan ini dalam konteks institusi keluarga adalah mengempanyekan karakter dan identitas bangsa ini. Keluarga perlu merawat tradisi dan budaya bangsa ini, sehingga anak bukan hanya berfikir global, tapi juga bertindak lokal dan melihat realitas keragaman di lapangan.

Merayakan dengan kedua cara ini akan menjadikan keragaman sebagai lautan nikmat yang bisa dinikmati oleh generasi kedepannya. Pluralitas dan kemajemukan dari berbagai lapisan masyarakat Indonesia harus kita rawat dari virus penyakit yang menggerogotinya. Virus yang tiap hari dihembuskan pihak-pihak tak bertanggungjawab yang tidak suka melihat Indonesia ini harmonis dan hidup dalam kedamaian dan kesejukan. Jika para pendahulu kita bisa, maka kita sebagai generasi dan pewaris estafet bangsa ini juga pasti bisa.

 

This post was last modified on 13 Maret 2019 2:17 PM

Hamka Husein Hasibuan

View Comments

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

17 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

17 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

17 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago