Narasi

Mesjid Sebagai Basis Literasi Agama Cinta Damai

Selama ini mesjid masih didominasi praktik ritual vertikal kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (hablumminallah). Fungsi masjid sebagai agen sosial (hablumminnas) terhadap generasi masih minim. Rutinitas  masjid kebanyakan masih berkutat sebagai tempat  ceramah, khotbah dan pengajian. Salah satu yang absen dari perhatian kita selama ini adalah minimnya peran rumah ibadah dalam meningkatkan literasi agama yang cinta damai. Literasi keagamaan di masjid masih rendah. Demikian salah satu kesimpulan penelitian dari Center for The Study of Religion dan Culture (CSRC) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam konteks ini, maka literasi agama pro perdamaain dan kesejukan di rumah ibadah, terkhusus masjid, perlu ditingkatkan.

Lemahnya minat masjid dalam meningkatkan literasi agama yang mencerahkan tidak lain dari minimnya sisi Sumber Daya Manusia (SDM) yang mengelolanya. Takmir, imam, dan khatib yang berkecimpung dan menyibukkan dirinya untuk masjid masih rendah. Bukan rahasia umum lagi, bahwa mengurus masjid hanya dijadikan profesi sambilan. Akbitnya tingkat profesionalitas pengurus belum bisa dikatakan maksimal. Ditambah lagi, para pengelolanya sebagian besar hanya paham soal agama, sementara sisi kemunusian dan kebudayaan masih minim.  Hal inilah yang mengakibatkan –sebagaimana hasil penelitian di atas – generasi milenial kurang (bahkan tidak) tertarik belajar agama di masjid. Generasi milenial lebih suka belajar agama di media sosial, akibatnya filterisasi terhadap ajaran yang didengar dan dipraktekkan oleh milenial belum terkontrol. Tak jarang malah yang banyak ditonton adalah ceramah dan materi-materi yang provokatif, caci-maki, hasutan, dalam kadar tertentu paham radikal.

Baca juga : Stop Hoax! Mari Mengedukasi Umat dengan Ceramah Perdamaian di Rumah Ibadah

Peningkatan SDM yang mengurus masjid agar lebih peka terhadap perubahan sosial perlu digalakkan. Kaderisasi takmir, imam, dan khatib yang bukan hanya paham agama, tapi juga berwawasan kebangsaan perlu mendapat perhatian bersama. Jika tidak, masjid hanya dijadikan oleh generasi kedepan tak ubahnya seperti rumah sakit: didatangi hanya ketika perlu dan mendesak. Peningkatan literasi ini di beberapa daerah sejatinya sudah mulai disadari. Masjid dijadikan sebagai taman baca, bukan hanya sekadar taman pengajian untuk anak-anak.

Minimnya perhatian masyarakat –terkhusus pemerintah –terhadapat peningkatan SDM rumah ibadah ini adalah suatu ironi. Mengingat masjid bisa menjadi tempat yang strategis untuk meningkatkan literasi agama yang cinta damai. Sejatinya, masjid bisa dijadikan sebagai sarana yang efektif untuk mengkampanyekan nilai-nilai kemanusian. Khutbah Jumat adalah sudah menjadi semacam konfrensi mingguan bagi umat muslim. Jika ini diaktifkan dengan membuat kurikulum Islami berwawasan kebangsaan, maka akan tercipta kader muslim, yang bukan hanya cinta agama, melainkan juga cinta negara sekaligus.

Pengabaian rumah ibadah sebagai tempat litarasi agama berwawasan damai pada akhirnya diambil-alih oleh para politikus untuk mengkampanyekan kepentingannya dan demi kekuasaan politik praktis. Banyak masjid yang berafialiasi dengan partai politik dan organisasi ekstrim, yang pada akhirnya mengkafir-sesatkan golongan lain. Seperti disebutkan hasil penelitian di atas, banyak masjid menjadi markas para politikus dan golongan radikal.

Literasi agama berwawasan kebangsaan dan cinta damai tidak berhenti hanya memahami al-Quran dan Sunnah, melainkan juga melihat relevansi kedua sumber tersebut sesuai dengan kebutuhan masyarakat kini dan setting sosio-historis zamannya. Pemahaman agama yang tekstual dan apa adanya justru mengakibatkan para jamaah menjadi lebih kaku, baku, dan tidak menghargai pihak lain. Literasi agama dengan memahami ajarannya secara kontekstual, akan melahirkan generasi yang lebih terbuka, inklusif, ramah dan menghargai perbedaan. Jika sudah seperti ini, maka kedamaian dan kesejukan dengan segera terwujud. Di sinilah akan kelihatan fugsi rumah ibadah secara sosial.

Hamka Husein Hasibuan

View Comments

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

1 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

1 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

1 hari ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago