Fundamentalisme agama kini semakin marak di masyarakat. Bahkan mampu menarik simpati rakyat. Fundamentalisme agama dipandang sebagai praktek agama yang total dan sesuai dengan tuntunan awal. Sehingga siapapun yang mengamininya lebih dekat dengan kebenaran. Cara pandang ini tentu perlu diluruskan. Sebab agama adalah hal yang dinamis. Dia selalu berinteraksi dengan masyarakat dan melahirkan banyak konsep-konsep baru. Tetapi kebaruan dalam beragama tidak bisa dianggap sebagai penyelewengan agama. Selama prinsip dasar dalam agama tidak terciderai, tidak boleh begitu saja ditolak. Justru beragam kebaruan dalam beragama menunjukan manusia mampu memanfaatkan potensi terbesar yang diberikan tuhan kepadanya. Yaitu akal yang selalu mengembara mencari pengetahuan atas kehidupan.
Ada banyak pintu masuk yang menyebabkan pemikiran fundamentalisme agama menyebar tanpa terbendung. Pengaruh pemikiran yang keras dan kaku dari Timur Tengah merupakan salah satunya. Baik yang disampaikan secara langsung maupun melalui kecanggihan teknologi. Sialnya masyarakat banyak beranggapan segala sesuatu yang berasal dari luar adalah baik. Terlebih jika penyampaiannya dilakukan dengan sangat menyakinkan. Maka akan mampu membius otaknya. Padahal di zaman puncak informasi ini kita dituntut untuk menyeleksi secara ketat segala sesuatu yang kita terima. Termasuk juga mengkritisi apakah yang disampaikan tersebut valid atau tidak. Sungguh perlu bagi kita menyerap petuah dari Imam Syafii. Dia pernah berpesan bahwa dusta yang sama adalah ketika seseorang menyampaikan informasi dari orang yang tidak diketahui kredibilitasnya.
Machasin (2011: 147-148) memberikan uraian yang tajam sekaligus bahan introspeksi mengapa fundamentalisme menarik. Pertama, masalah kemanusiaan yang menghantam masyarakat gagal diberikan solusinya oleh modernitas. Contohnya demokrasi yang akhirnya menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, mayoritas Muslimin sangat lamban dalam mengatasi masalah kontemporer umat Islam. Hadirlah orang-orang yang tidak puas dengan keadaan. Maka saat ada sosok “orang saleh” yang terlihat fasih dalam idiom keislamanan; bersikap sederhana; tidak culas; dan perilaku lain yang tidak terlihat pada orang modern, sontak akan disambut dengan gegap gempita. Ketiga, ketidakadilan yang dilakukan pejabat terhadap masyarakat. Seperti melindungi kemaksiatan atau diam saja terhadap kemaksiatan di sekitarnya.
Maka untuk mengatasi terus merebaknya fundamentalisme agama di masyarakat, ketiga sumber masalah di atas harus dicarikan solusinya. Langkah yang bisa ditempuh adalah agama perlu ditafsir ulang agar mampu memecahkan persoalan kemanusiaan. Kemiskinan, kelaparan, kerusakan lingkungan, adalah sebagian kecil problem yang perlu ditindaklanjuti. Jika tidak, rasa frustasi masyarakat akan terus memuncak sehingga mudah menerima ajaran agama yang total dan keras dalam memberikan solusi. Sebenarnya kaum agamawan selama ini sudah banyak memberikan kontribusi bagi krisis kemanusiaan. Lihat saja lembaga-lembaga kemanusiaan di bawah ormas Islam yang terus bergerilya saat terjadi bencana alam. Termasuk lembaga-lembaga filantropi milik ormas Islam fokus memberikan layanan bagi dhuafa. Tetapi tampaknya kiprah mereka belum sebanding dengan masalah besar yang dihadapi oleh umat.
Tindakan lain yang sangat urgen dilakukan adalah memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang ajaran agama yang benar dan tidak menyimpang dari prinsip kemanusian. Kelompok fundamentalis sering menyerang kelompok agama level menengah ke bawah. Mereka adalah sasaran empuk karena mudah didoktrin dengan ajaran-ajaran Islam yang telah dipermak. Sementara mereka yang paham agamanya mencukupi akan sulit dipengaruhi oleh paham fundamentalis. Sebab ada segudang referensi di kepalanya yang siap mematahkan argumentasi kelompok fundamentalisme agama.
Khusus kepada masyarakat luas, dituntut untuk terus menerus mengupgrade pemahaman agamanya. Perbanyak membaca buku agama dan berdiskusi secara langsung. Jika ada hal yang kurang dipahami dalam ajaran agama, silakan ditanyakan kepada kyai-kyai zuhud yang memiliki pemahaman agama memadai. Hindari diskusi di sosial media yang kerap dipenuhi sikap saling menyalahkan dan akhirnya kontraproduktif. Pelihara otak kita dengan asupan paham agama yang bergizi. Dan jangan meracuninya dengan referensi yang merusak dan tidak bermanfaat. Dengan begitu, kita akan terhindar dari perilaku menafsirkan agama secara sederhana dan cenderung serampangan.
This post was last modified on 1 Maret 2017 3:06 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…