Editorial

Gerakan Cerdas Nasional Melawan Propaganda Negatif

Kemajuan teknologi informasi yang cukup pesat saat ini ternyata tidak diimbangi dengan kemajuan budaya masyarakat dalam mengelola informasi secara baik. Imbas tak terelakkan kita menghadapi tantangan dengan budaya masyarakat yang mudah menghujat, mencacimaki, memftnah, menghasut bahkan mengajak kekerasan. Anehnya, perilaku demikian sering dihadapkan pada apologi dogmatis kebebasan berpendapat. Pertanyaannya apakah perilaku budaya yang berpotensi memecah belah persatuan, mengancam distengrasi, menyulut konflik dan mengajak kekerasan dapat diamini sebagai bagian dari kebebasan berekspresi?

Konstitusi memang telah menjamin kebebasan berpendapat dan berkomunikasi sebagai salah satu unsur penting hak asasi manusia. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. Jaminan konstitusional ini merupakan landasan kuat bahwa tidak boleh ada kekangan bagi seseorang untuk berkomunikasi dan menyatakan pendapat melalui saluran manapun, termasuk di dunia maya.

Namun, kebebasan berpendapat dan berkomunikasi sebagai sebuah hak kewarganegaraan harus pula diletakkan dalam konteks yang berimbang dengan kewajiban sebagai warga negara. Hak tersebut harus seiring sejalan dengan kewajiban menghormati hak-hak kebebasan orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, mentaati hukum dan ketentuan, menjaga keamanan dan ketertiban serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam hal ini kekebasan harus dilakukan secara cerdas. Cerdas berarti kebebasan yang dapat dilaksanakan secara benar dan bertanggungjawab. Kenapa hal itu sangat penting?

Hari ini kita dihadapkan pada tantangan pemanfaatan saluran informasi dan komunikasi di dunia maya yang begitu mudah dan cepat tetapi tidak diimbangi dengan kecerdasan yang memadai. Sesaknya ruang maya khususnya media sosial dengan konten negatif berupa berita hoax, ujaran kebencian, intoleransi, provokasi, caci maki, hingga konten radikalisme mampu memicu keresahan publik, memicu emosional dan mengancam keutuhan bangsa.

Media sosial menjadi kiblat informasi masyarakat yang menggeser sumber media pers mainstream. Atau kita juga dihadapkan pada persoalan munculnya berbagai media pers yang tidak professional atau media-media non pers yang mengklaim sebagai sumber informasi. Media-media seperti ini sekarang menjadi laku dibaca dan minati masyarakat. Judul yang mereka tawarkan sangat sensasional, provokatif, dan bombastis yang banyak sekali tidak mencerminkan isi. Anehnya, sekalipun tidak ada kesesuaian judul dan isi masyarakat terus mengakses berita model seperti itu tanpa rasa kapok.

Kecenderungan media sosial tanpa batas dan menjamurnya media pers abal-abal ditangkap oleh budaya tidak cerdas masyarakat yang gegabah dalam melakukan share, broadcast, dan comment dengan tanpa mempertimbangkan kredibilitas sumber dan validitas konten. Atau bahkan hanya melihat judul provokatif tanpa melihat kesesuaian isi secara keseluruhan. Inilah budaya-budaya baru yang lahir dari kemajuan teknologi informasi yang menyajikan sesuatu yang instan dan memberikan kemudahan dan kecepatan. Artinya, struktur teknologi yang cepat, mudah, dan instan memproduksi kultur pola konsumsi informasi masyarakat yang malas dan manja dalam memeriksa dan melakukan verifikasi.

Apakah hal ini bermasalah? Tentu saja hal ini sangat berbahaya tidak hanya bagi pembentukan pola dan mental budaya masyarakat yang malas dalam memeriksa informasi, tetapi juga implikasi negatif bagi keutuhan bangsa. Informasi apalagi dibungkus dalam nuansa yang propagandis tidak hanya menyentuh aspek kognitif masyarakat, tetapi juga aspek afektif bahkan konatif masyarakat yang dapat melahirkan aksi dalam bentuk perilaku negatif di dunia nyata.

Konten hoax, propaganda radikalisme dan konten negatif lainnya merupakan bentuk narasi yang dibentuk untuk mencapai tujuan tertentu.  Sasaran utama dari berbagai konten negatif tersebut adalah masyarakat dengan tingkat melek media yang rendah dan tingkat kemalasan yang tinggi dalam memverifikasi informasi. Apa yang bisa dilakukan?

Penegakan hukum terhadap website dan akun yang menyebarkan berita hoax dan konten negatif seperti yang digaungkan oleh Presiden Joko Widodo merupakan keniscayaan. Namun, langkah tersebut hanya mengena pada aspek hilir melalui munculnya efek jera pelaku. Sejatinya, aspek hulu yang patut dilakukan adalah tumbuhnya kesadaran cerdas masyarakat sebagai benteng utama.

Gerakan Cerdas Nasional (GCN) di dunia maya yang digagas oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerjasama dengan Kantor Staf Presiden (KSP), Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam) dan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) merupakan upaya bersama seluruh komponen masyarakat untuk aware terhadap berita hoax dan konten negatif bernuansa radikalisme.

Apa tujuan dari GCN tersebut adalah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk memiliki perilaku budaya cerdas dalam mengidentifikasi berita dan konten di media sosial. Masyarakat harus mampu membandingkan media pers yang profesional dengan media non pers atau media pers yang tidak professional. Berikutnya meningkatkan kesadaran dan keterampilan masyarakat dalam hal berekspresi secara sehat dan bermartabat di platform internet. Tidak semua konten di media sosial sekalipun viral adalah sebuah kebenaran. Dan tidak semua berita factual mengandung kebenaran memiliki kemanfaatan.

#AyoCerdasLawanHoax

 

Redaksi

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

9 jam ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

9 jam ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

9 jam ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

1 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

1 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

1 hari ago