Narasi

Mewujudkan Indonesia Sebagai Zona Hijau Virus Radikalisme

Perubahan lanskap sosial, politik dan agama di Indonesia yang terjadi selama kurun waktu dua dekade terakhir ternyata berdampak signifikan. Sebelumnya, Indonesia dikenal dunia internasional sebagai negara muslim berkarakter moderat dan toleran. Dunia internasional bahkan kerap menjadikan Indonesia sebagai model ideal pembauran antara nilai Islam dengan prinsip modernisme. Namun, pasca Reformasi kondisi itu berubah. Selama kurun waktu dua puluh terakhir, kita dikejutkan oleh maraknya fenomena radikalisme keagamaan yang tidak hanya melahirkan kultur kekerasan berbasis agama, namun juga mengancam kebinekaan dan Pancasila sebagai falsafah dan ideologi negara.

Menguatnya arus radikalisme keagamaan itu dapat diidentifikasi dari setidaknya empat gejala. Pertama, meningkatnya gerakan keagamaan bercorak ideologis yang mengagendakan perubahan sistem politik dan ketatanegaraan secara radikal. Kedua, meningkatnya sikap dan perilaku yang mencerminkan kultur kekerasan dalam menyelesaikan persoalan terkait perbedaan agama dan afiliasi politik. Ketiga, mewabahnya konservatisme agama, yakni sikap ketaatan umat beragama pada ajaran agamanya yang berbanding lurus dengan menguatnya sikap eksklusif dan intoleran. Terakhir, meningkatnya sentimen kebencian dan anti-pemerintah yang sah. Keempat gejala itulah yang mengubah wajah keberagamaan di Indonesia yang sebelumnya bernuansa moderat menjadi radikal. Diakui atau tidak, sebagian wilayah Indonesia tergolong sebagai zona merah penyebaran radikalisme.

Parahnya lagi, infiltrasi radikalisme ini terfragmentasi ke seluruh kelompok masyarakat, bahkan cenderung menguat di kalangan kelas menengah perkotaan. Sejumlah survei dan studi menunjukkan porsi cukup signifikan dari kalangan terpelajar dan kelas menengah yang terlibat gerakan radikal. Hal ini cukup mengkhawatirkan lantaran selama ini kelas menengah terdidik kerap digadang sebagai kelompok pembaharu dan agen perubahan yang diharapkan bisa menginisiasi lahirnya transformasi sosial. Pertanyaan yang patut kita ajukan ialah, jika kelas menengah telah terjebak dalam cara pandang keagamaan yang radikal, lantas bagaimana nasib bangsa ini? Untuk itulah, diperlukan upaya konkret dan serius dari seluruh elemen bangsa untuk mengubah kondisi Indonesia menjadi zona hijau radikalisme.

Baca Juga : Islam Maslahah, Yes. Ideologi Khilafah, No!

Namun demikian, upaya melawan gerakan radikal bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan tidak hanya wacana, melainkan aksi nyata dari seluruh komponen bangsa. Layaknya melawan pandemi Covid-19, melawan pandemi radikalisme juga harus dimulai dari lingkup paling kecil, yakni individu dan keluarga ke lingkup besar, yakni komunitas dan masyarakat. Upaya melawan radikalisme juga membutuhkan kerjasama seluruh elemen bangsa, mulai dari instansi pemerintah, ormas keagamaan dan jejaring masyarakat sipil lainnya.

Dalam lingkup individu dan keluarga, radikalisme bisa dicegah sejak dini dengan jalan memberikan pengetahuan keagamaan yang selaras dengan nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Internalisasi agama yang berorientasi pada kemanusiaan dan kebangsaan harus dimulai dari lingkup domestik, meliputi orang tua dan anak-anaknya. Nilai dasar moral kebangsaan dan kemanusiaan ini penting sebagai semacam vaksin agar terbebas dari serangan virus radikalisme keagamaan.

Dalam lingkup yang lebih luas, yakni ekosistem masyarakat, kita membutuhkan sebuah cara pandang dan praktik keberagamaan yang kritis sekaligus inklusif. Kritis dalam artian bahwa agama harus senantiasa didekati dengan akal sehat (rasio) agar terhindar dari kebekuan dan kejumudan. Pemahaman keagamaan harus senantiasa direformasi, ditafsirkan ulang, bahkan didekonstruksi sesuai dengan perkembangan zaman. Selain itu, penting pula bagi masyarakat untuk mengembangkan corak keberagamaan yang bertumpu pada nalar dialogis, dimana segala perbedaan ditempatkan dalam bingkai dialog alih-alih konflik.

Nalar dialogis tidak hanya memungkinkan masyarakat membangun jembatan komunikasi antarkelompok yang berbeda. Lebih jauh dari itu, nalar dialogis akan menganulir berseminya benih-benih radikalisme sejak dini. Merupakan tanggung jawab bersama seluruh komponen bangsa untuk mengembalikan citra Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia dengan karakter moderat dan toleran. Kondisi Indonesia yang saat ini bisa dikatakan sebagai zona merah alias rawan radikalisme, kiranya bisa diubah menjadi zona hijau radikalisme. Pemerintah sendiri telah menunjukkan komitmennya untuk menghalau segala bentuk radikalisme yang mengancam eksistensi NKRI. Perangkat hukum untuk menindak kaum radikal telah tersedia, berikut pula aparat penegak hukumnya. Tugas masyarakat ialah mendukung kerja-kerja pemerintah dalam memberantas virus radikalisme hingga ke akarnya.

This post was last modified on 31 Agustus 2020 1:13 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

4 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago