Suatu kali saya menerangkan pada seseorang yang bertanya, kenapa kalau membaca sholawat khususnya pada saat gerakan dan bacaan takhiyat mesti memakai kata “sayyidina” sementara pada madzab lainnya tak memakainya.
Dengan ilmu agama yang sekedarnya saya pun menjawabnya. Pertama, ibarat orang yang telah berutangbudi pada sesorang, entah orangtua atau guru-guru kita, tak mungkin kita njangkar, memanggil tanpa gelar, bukan? Kedua, dengan kelakar saya pun menganalogikannya dengan kasus pengiriman surat yang tentu akan tertolak atau tak sampainya surat itu pada tujuannya. Saya tak dapat membayangkan bagaimana para malaikat menyikapi sholawat yang kita deraskan tanpa memakai gelar sayyidina. “Muhammad? Muhammad Ali atau Goenawan Muhammad?,” demikianlah kiranya bayangan saya.
Pada gelar “sayyidina” yang kita sematkan pada Muhammad sesungguhnya sudah jelas dengan sendirinya bahwa sang putra Abdullah itu adalah sesosok teladan. Bahkan konon ia adalah teladan terbaik yang diutus ke Bumi untuk menyempurnakan akhlak. Entah kenapa Tuhan khusus mengutusnya untuk menyempurnakan akhlak, apakah nabi-nabi sebelumnya tak juga menggarap masalah akhlak?
Barangkali, pengertian akhlak tak sesederhana etiket yang berkaitan dengan baik-buruk, tapi menyentuh pula wilayah etika yang berhubungan dengan, secara filosofis, bagaimana kita semestinya hidup. Maka pada aras ini dapat dimengerti bahwa semua nabi dan para pendiri agama ataupun kearifan-kearifan lokal, pada dasarnya semuanya mengajarkan etika. Tapi memang, saya akui, bahwa meskipun semuanya mengajarkan etika tapi tentang etika tersebut tetap akan tertaut dengan konteksnya.
Etika Yesus dari Nazaret ataupun Siddharta Gautama yang lebih memilih kasih tanpa syarat tentu tak akan sesuai dengan orang yang memandang bahwa semua yang ada pada kita adalah amanahNya yang sudah semestinya dijaga dan dipelihara entah bagaimana pun caranya. Ibarat orang yang sudah dipercaya untuk dititipi barang yang dapat berkembang dan dikembangkan (dalam bahasa Jawa disebut sebagai nggadhuh), tentu kita tak akan sembrono dan memanfaatkannya sebaik mungkin.
Baca Juga : Menjadi Pemuda Otentik Penangkal Radikalisme
Pertama, kita mesti sadar bahwa kita adalah makhluk yang beruntung, karena sudah mendapatkan kepercayaan untuk dititipi barang yang dapat berkembang dan dikembangkan agar dapat lebih beruntung lagi. Logika nggadhuh ini tentu saja tak akan pernah memandang hidup secara muram, seumpamanya sebagai sebentuk samsara ataupun semacam kejatuhan. Kedua, kita jadi paham tentang apa yang dinamakan sebagai “hikmah” yang dapat, secara praktis, membuat kita lebih menghargai hidup dan berbaik sangka padaNya yang otomatis akan meningkatkan pula produktifitas hidup kita.
Terlebih, saya kira, logika nggadhuh di atas dapat menjelaskan tentang logika bela diri, atau secara luas, logika bela negara. Pada dasarnya kita tak pernah minta dilahirkan atau tidak, dan andaikata dilahirkan kita pun tak pernah bisa menuntut untuk dilahirkan bertubuh kecil atau besar, tinggi atau rendah, juga hidup di Indonesia atau Amerika. Tapi dengan logika nggadhuh itu kita sudah semestinya tak membiarkan tubuh atau tanah air kita diinjak-injak, di mana andaikata hal itu terjadi berarti kita sudah mengkhianati amanahNya.
Saya kira itulah salah satu pesan dari al-Qur’an (2:85) di mana pembiaran dan perbuatan yang telah mengangkangi hak itu akan mendapatkan balasan kenistaan dalam kehidupan dunia (khizyun fi al-khayati al-dunya) dan siksa yang berat pada hari kiamat (asyadda al-‘adab). Dan terlepas dari itu semua, dalam banyak riwayatnya, Kanjeng Nabi Muhammad telah pula meneladankan logika bela diri, bela negara, atau lebih khusus lagi, logika membela hak.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Kanjeng Nabi Muhammad tak pernah menganut prinsip kasih tanpa syarat. Dalam berbagai riwayat, ia tak pernah merendah untuk menjual martabat diri dan umatnya demi keuntungan orang lainnya. Meski secara spiritual ia sekedar hambaNya (AbduHu), tapi tak ada satu pun catatan yang mengabarkan bahwa ia diam tak melawan ketika diinjak-injak oleh sesama manusia.
Seperti hikmah peristiwa hijrah, ketika sudah terbangun basis kekuatannya di Madinah ia tak lagi mengalah. Maka, ia adalah teladan terbaik perihal keseimbangan, untuk tak berlebihan (ekstrim). Dan dengan ilmu kerata basa, saya pun dapat mengatakan bahwa akhlak dalam pengertian di atas ternyata adalah jembatan antara makhluk dan Khalik (Haqq).
This post was last modified on 29 Oktober 2019 9:01 AM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments