Narasi

Mulut-Mu Harimau-Mu

“Keselamatan manusia terletak pada cara memelihara lidahnya”, pepatah Arab tersebut tidak menyebutkan mulut, sama halnya dengan ungkapan bijak bahasa Indonesia “Memang Lidah Tak Bertulang”. Memelihara lidah sama pentingnya dengan memelihara mulut dalam membuat pernyataan dan memberikan komentar. Judul ‘Mulutmu Harimaumu’ dalam tulisan kali ini mengacu pada banyaknya kasus dan kejadian yang kita saksikan bersama dan disuarakan banyak media terkait peristiwa yang terjadi di beberapa bandar udara di Indonesia.

Bahkan pertengahan Januari 2017 lalu ada warga negara Indonesia yang usai menunaikan ibadah umrah di Saudi Arabia tertahan di bandar udara Jeddah hanya karena mengucapkan tiga huruf  yaitu, “BOM” saat masih berada di atas pesawat udara Royal Brunei menjelang kepulangan rombongan jamah umrah kembali ke Indonesia.

Selain peristiwa di Jeddah, anggota DPRD dan aparat keamanan juga pernah kecoplos mengucapkan ketiga huruf tersebut di bandara yang menyebabkan yang bersangkutan dapat permasalahan dan harus diproses oleh pengamanan bandara (Aviation security).

Ungkapan “diam itu emas” sangat tepat diperpegangi dalam banyak kondisi, waktu dan tempat yang berbeda, terutama dalam lingkungan bandar udara seperti banyak kejadian di dalam dan luar negeri yang merugikan diri sendiri dan berakibat fatal pada pelakunya sendiri.

Memelihara mulut dan lidah sama pentingnya agar tidak mudah mengumbar kalimat dan kata bernada fitnah yang dapat membuat suasana menjadi mencekam, menakutkan dan menciptakan suasana yang tidak pasti sepanjang waktu.

Proses radikalisasi yang makin masif terjadi di dalam masyarakat secara terus menerus berlangsung, penanaman kebencian dan penyebaran permusuhan tumbuh subur dalam masyarakat dan mempengaruhi kelompok generasi muda dalam seluruh level pendidikan yang menyebabkan tumbuh suburnya kelompok radikal anarkis atau kelompok radikal teroris yang melakukan aksi anarkisme di dalam masyarakat.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, seorang ulama kelahiran Suriah, cendekiawan ahli tafsir, ahli hadis dan penghafal al-Qur’an, mengungkapkan bahwa sebelum berbicara harus mendahulukan pemahaman tentang hal yang akan dibicarakan. Sebelum berucap dan berbuat dahulukan ilmu dan pemahaman tentang isu yang akan dibicarakan – al-‘Ilmu qablal qauli wal fi’li,  ibn Qayyim merupakan murid Ibn Taimiyah yang sangat kritis bahkan tidak sedikit pandangan Ibn Taimiyyah yang dikritisi bahkan dibantah dengan argumen yang lebih kuat, meski banyak juga pandangan gurunya yang dipertahankan dan dijadikan dasar argumentasinya.

Jika saja tiap orang mendahulukan pengetahuan sebelum berkata dan berbuat, pandangan Ibn Qayyim tersebut dapat diwujudkan dengan terciptanya masyarakat yang tidak mudah terprovokasi oleh pihak yang mempunyai kebiasaan menghasut orang lain, bahkan rela mengorbankan saudara sendiri demi kebutuhan dan pemenuhan nafsu birahi sesaat.

Fenomena tersebut terus terjadi dalam masyarakat di tengah era informasi yang makin deras dan arus globalisasi yang semakin tak terbendung. perkembangan teknologi informasi sejatinya mengantarkan manusia menjadi semakin cerdas dan semakin mudah mencerdaskan diri dengan banyak belajar dari kemajuan teknologi informasi dan bukan sebaliknya, kebanyakan manusia menjadi objek dari kemajuan teknologi, bukan subjek yang memberi warna terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

Masyarakat Indonesia dalam temuan sebuah penelitian termasuk urutan dalam urutan lima dunia dalam meramaikan media sosial, khususnya twitter. Namun yang sangat menyedihkan, karena masyarakat Indonesia menempati urutan pertama dalam melakukan retweet yang isinya menghujat, dengan kata lain masyarakat Indonesia menempati posisi teratas dalam menghujat.

Hasil penelitian tersebut rasanya tidak dapat diterima akal pikiran dan hati nurani sebagai bangsa yang besar dan masyarakat yang memnganut agama Islam terbesar, merupakan sebuah pertentangan antara fakta dan harapan, sebab dalam ajaran Islam setiap muslim dianjurkan untuk selalu memelihara pembicaraan, menjaga lidah dan mengontrol perkataan.

Bahkan Allah Swt memberikan perumpamaan bagi orang yang suka menggunjing saudaranya, mereka diibaratkan seperti orang yang memakan daging saudaranya yang telah meninggal. Masih hangat dalam ingatan kita satu dekade silam manusia fenomenal Soemanto yang memakan daging manusia yang telah wafat sengaja digali dan diambil dagingnya untuk dimakan, sementara Allah hanya mengambil perumpamaan bahwa orang suka menggunjing saudaranya sendiri ditantang oleh Allah dengan sebuah pertanyaan Apakah kalian menyenangi untuk memakan daging saudranya yang telah wafat ?

Binatang buas harimau sangat berbahaya bagi kehidupan manusia, kita bisa menyaksikan kebuasan dan keganasan seekor binatang harimau dalam kebun bintang dengan suara yang meraung dan kuku yang mencengkeram dengan ganasnya. Demikianlah ganasnya seekor harimau yang dikembalikan kepada seseorang yang tidak dapat memelihara mulutnya yang akan berakibat fatal bagi pemilik mulut itu sendiri yang disamakan dengan harimau bahkan lebih buas dari harimau yang kelaparan.

Jika setiap pribadi manusia tidak dapat memelihara mulut dan menjaga lidah dari berbagai macam ucapan yang tidak mendasar, ucapan yang menyakitkan perasaan orang lain, ungkapan yang memfitnah saudara sendiri, bahaya yang akan ditimbulkan berupa bencana besar bagi kehidupan manusia; persaudaraan akan tercabik, kebersamaan akan terpecah, keutuhan umat akan terabaikan, dan keragaman akan berubah menjadi kekacauan, padahal keragaman merupakan sumber kekuatan, sebab beragam bukan berarti bertentangan, namun keragaman menjadi sumber kekuatan.

Membuat pernyataan atau pertanyaan yang tidak memiliki dasar dapat memperkeruh keadaan dalam berbangsa, bermasyarakat, bernegara dan beragama. Olehnya itu, jika kita mendengarkan, membaca dan mengamati sebuah berita, sebelum kita berkomentar, memberi tanggapan, sebaiknya kita harus tabayun atau konfirmasi kepada yang lebih tahu dan bertanya kepada ahlinya, sebelum mulut kita ikut berucap dan berkomentar agar kita dapat menciptakan ketenangan, keselamatan dan ketenangan dalam masyarakat.

Dengan mulut dan lidah hidup dan kehidupan manusia sesaat bisa hancur berantakan, namun dengan mulut dan lidah hidup dan kehidupan manusia juga dapat menciptakan dunia lebih maju, lebih moderen dan menciptakan kehidupan yang lebih cerdas dan mencerdaskan.  Dengan mulut dan lidah selamat dan bahagia dapat diraih di dunia akhirat, namun sebaliknya dari barang yang sama pun dapat celaka dan sengsara di dunia dan akhirat.

Orang bijak berkata ‘luka tubuh karena pisau dapat sembuh, namun luka hati karena mulut hati orang siapa tahu’. Mungkin saja bukan kalimat dan perkataan yang membuat orang lain bahkan saudara sendiri yang terluka perasaannya dari lontaran kata dan kalimat dari mulut dan lidah kita, tetapi bisa karena intonasi dan tekanan suara yang diucapkan kurang santun, juga dapat mengakibatkan perasaan orang lain terluka, lidah tak bertulang lebih mudah bersilat kata dengan kalimat yang indah atau sebaliknya. Namun ika lidah bertulang tentu tidak dapat mempermainkan kata dan kalimat yang membuai perasaan manusia bahkan menyebarkan fitnah dan kekejaman kepada orang lain.

Menuding sesama orang yang beriman sebagai orang kafir kini makin marak terjadi dalam banyak sosial media,  hanya karena berbeda pandangan lantas orang lain tiba-tiba dituding menjadi kafir, semudah dan segampang itukah kita menuding sesama saudara sesama hamba Tuhan yang beriman kita menuding kafir ? fenomena mengkafirkan yang kini merebak inilah yang menjadi tantangan kita semua sebagai hamba Tuhan yang beriman untuk dicegah agar jangan menjadi ancaman perpecahan di antara sesama saudara.

Mulut bisa saja dengan mudah menjadi musuh utama bahkan menjadi harimau bagi kita sendiri, namun mulut dapat juga kita ubah menjadi salah satu pintu dari sekian banyak pintu yang diciptakan oleh Allah bagi orang yang beriman meraih ridha, menggapai ampunan menuju sorga yang disiapkan bagi orang yang beriman. Akhirnya barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian hendaklah ia berkata baik, santun, halus dan sopan atau memilih lebih baik diam.

Jakarta, 24 Januari 2017.

This post was last modified on 25 Januari 2017 7:15 PM

Irfan Idris

Alumnus salah satu pesantren di Sulawesi Selatan, concern di bidang Syariah sejak jenjang Strata 1 hingga 3, meraih penghargaan dari presiden Republik Indonesia pada tahun 2008 sebagai Guru Besar dalam bidang Politik Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar. Saat ini menjabat sebagai Direktur Deradikalisasi BNPT.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago