Tahun ini, saudara setanah air kita dari umat Kristiani akan merayakan Misa Natal, salah satu hari yang paling ditunggu oleh mereka. Dan ini juga merupakan momentum yang tepat untuk mengajarkan kembali toleransi antar umat beragama kepada bangsa Indonesia. Sudah merupakan suatu kewajiban sebagai saudara sebangsa untuk menjaga berjalannya perayaan Natal yang tertib dan aman tanpa ada kendala apapun. Jangan sampai kejadian pada 19 tahun silam terulang kembali, tepatnya pada 25 Desember tahun 2000, bom meledak secara serentak meluluh lantakan beberapa gereja di Indonesia. Ledakan itu terjadi di Medan, Pematang Siantar, Batam, Pekan Baru, Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Pangandaran, Kudus, Mojokerto dan Mataram (tirto.id/ 24/12/18).
Ini sebuah bukti bahwa Indonesia mempunyai catatan kelam yang mengkibatkan trauma bagi pemeluk agama Kristiani setiap menjelang perayaan Natal. Pengamanan oleh negara kiranya belum cukup, apa yang dilakukan pasukan pengamanan hanya bersifat sementara dan terbatas pada gerak-gerik yang kasat mata. Sedangkan yang tidak kasat mata, seperti pemahaman dan ideologi radikal, tetap subur menjadi benih ancaman terhadap kesatuan bangsa Indonesia.
Oleh karenanya, upaya untuk mengajarkan toleransi kembali kepada bangsa ini menjadi penting, baik kepada yang dewasa, tua ataupun muda. Toleransi merupakan sebuah sikap lapang dada dan sabar menerima serta menghormati perbedaan agama, etnis dan suku. Wacana tentang toleransi sudah lama dikampanyekan di belahan negeri ini, namun praktik mengkafirkan dan menyudutkan agama lain masih saja marak dijumpai, baik dalam lingkaran kecil, media sosial dan yang paling parah penyerangan terhadap umat agama lain yang sedang beribadah. Ini artinya ada yang kurang pas di dalam cara pandang bangsa tentang toleransi, maka harus dibenahi kembali dengan cara mengenali unsur-unsur toleransi itu sendiri.
Pertama, mencoba melihat kebenaran yang ada pada agama lain. Secara akidah, mustahil semua agama disamakan apalagi mengakui sama-sama benar. Tetapi ada prinsip kebenaran secara naluriah harus juga dilihat pada agama lain, seperti tidak suka terhadap prilaku curang, korupsi, saling menyakiti, mencuri dan lain sebagainya. Kedua, memperkecil perbedaan yang ada di antara agama-agama. Kenyataannya bahwa agama-agama di Indonesia akan tetap berbeda dan tidak akan pernah sama sampai kapanpun. Namun, setidaknya perbedaan itu dianggap biasa. Toh, yang diikuti sama-sama agama, atau, paling tidak mengakui bahwa mereka yang berbeda agama juga sama-sama bangsa Indonesia. Ketiga, setelah melalui dua unsur di atas, maka selanjutnya adalah memupuk rasa persaudaraan se-Tuhan. Berusaha menyadari bahwa agama samawi (agama langit) adalah agama yang sama-sama diturunkan oleh satu Tuhan, terlepas dari pergeseran dan perubahan yang ada, maka tidak perlu membuang tenaga untuk berebut klaim saling benar dengan dalih membela agama. Saat ini, kata menjaga agama (Hifdzuddin) sudah seharusnya dimaknai menghormati dan menjaga kerukunan antar umat, bukan peperangan. Keempat, menjauhi praktik saling serang-menyerang antar umat beragama, dalam bentuk apappun (Nasution: 275: 2000).
Baca Juga : Belajar Bela Negara dari Tokoh Wayang Kumbakarna
Bila ketiga unsur di atas tidak dapat dipenuhi, setidaknya kita dapat memenuhi unsur yang terakhir, yaitu tidak saling menyerang antar umat beragama. Memang, dakwah tentang toleransi sudah lebih maju dan banyak disuarakan di mana-mana, tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan bahwa di relung-relung pedesaan, madrasah, pesantren dan organisasi kecil yang tidak terdaftar di Kemenkumham (Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia), masih kental dengan pemahaman intoleransi. Misalnya menganggap di luar agama Islam adalah musuh yang harus dijauhi, dan kafir yang harus diperangi. Hal ini yang berbahaya, karena terkadang pergerakan kelompok kecil ini sulit dideteksi oleh pemerintah.
Perlu dicatat juga, bahwa toleransi keberagamaan bukan dengan cara mengidentikkan bahwa semua agama benar dan sama saja, karena semua agama mustahil untuk samakan dan tentunya mempunyai ajaran dan karakter yang berbeda-beda (Azhar: 23: 2013). Tetapi dengan mengakui hak-hak, bahwa agama lain juga mempunyai ruang di negara ini, oleh karenanya berlapang dada dan saling mengerti adalah prinsip yang tidak perlu ditawar lagi.
Pemahaman toleransi seperti ini yang penting untuk dijadikan pendidikan karakter bagi bangsa, terutama kepada generasi yang akan melanjutkan kepemimpian negeri ini. Pendidikan tentang toleransi saat ini hanya sebatas dibicarakan saja tidak mendalam, sedangkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika jarang menyentuh terhadap cara menalar terhadap unsur-unsur toleransi yang harus dipegang teguh dalam praktik. Sehingga masih banyak para pemuda kita yang terjangkiti pemahaman radikal dan tidak segan-segan bergabung dengan organisasi yang dilarang oleh negara. Oleh karena itu, mari didik generasi ini dengan toleransi yang benar agar supaya kerukunan di negeri ini tetap langgeng. Selamat Natal untuk saudara kita.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments