Narasi

Negara Kesatuan adalah Final

Sangat aneh ketika mendengarkan statement Tengku Zulkarnain di televisi mengomentari tentang rancangan undang-undangan kekerasan seksual. Kapasitasnya yang dikatakan sebagai tokoh agama dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) menimbulkan fitnah, sangat disayangkan. Ada persoalan yang lebih penting disoroti, yaitu ia memakai cara pandang agama dalam mengkritisi rancangan produk hukum Indonesia yang menganut sistem demokrasi.

Tengku Zulkarnaian seharusnya berbicara dalam konteks kemaslahatan umat secara umum. Pun ketika ia berbicara dalam konteks agama, ia juga harus tahu bahwa di Indonesia tidak hanya terdapat satu agama, seperti yang ia kutip. Lebih jauh lagi, ia harus memahami nilai universalisme dalam tiap agama. Misalnya, universalime Islam yang tidak bertentangan dengan agama lain, pun dnegan negara.

Tokoh agama ataupun tokoh publik lainnya harusnya berorientasi pada mewujudkan negara damai. Mewujudkan negara damai dalam negara kesatuan adalah tugas setiap muslim. Sebagaimana Gagasan Gus Dur yang disarikan dalam narasi tentang demokrasi. Gagasan tersebut adalah membela negara kesatuan untuk menciptakan kedamaian, keadilan, kesetaraan, dan penghormatan terhadap martabat kemanusiaan sudah sah menurut syariat, dan negara kesatuan untuk menciptakan kedamaian itu didirikan oleh wakil-wakil Islam yang membuat perjanjian luhur.

Baca juga : Keberagama(A)N Dalam Konstruksi Nation-State

Kembali mengutip narasi gagasan Gus Dur, mewujudkan negara kesatuan bisa dilakukan dengan dua hal. Pertama, strategi kultural di dalam masyarakat sipil dan strategi struktural di wilayah politik kekuasaan. Mewujudkan negara kesatuan tidak bisa didominasi oleh salah satu aspek saja. Misalnya, masyarakat sipil tidak diberikan ruang untuk mengawasi berjalannya pemerintahan, akan menimbulkan gejolak. Masyarakat sipil dalam sistem demokrasi menjadi sangat penting untuk berjalannya pemerintahan. Justru memperkuat masyarakat sipil untuk menciptakan kemandirian bersama.

Relasi Agama dan Negara Kesatuan

Kasus semacam Tengku Zulkarnain kerap kita temukan. Mereka masih mencari jati diri dalam negara persatuan. Padahal perdebatan antara keduanya sudah berlangsung sejak lama, dan para pendiri bangsa pun sepakat dengan negara kesatuan.

Pertautan antara agama dan negara sudah menjadi pembahasan awal sejak berdirinya negara Indonesia. Awal berdirinya Indonesia sudah ada yang berupaya untuk menerapkan sistem Syariat Islam, yaitu ketika ada Piagam Jakarta. Namun, mengingat Indonesia yang beragam, dari banyak suku, agama dan bahasa, syariat Islam dianggap para pendiri bangsa kurang cocok untuk Indonesia. Sehingga Pancasila yang tidak membeda-bedakan suku, ras dan agama menjadi asas negara, Bhinneka Tunggal Ika menjadi simbol keberagaman Indonesia.

Warga negara mempunyai kesamaan hak di hadapan hukum. Hukum di Indonesia tidak membeda-bedakan agama, ras, suku dan bahasa. Semua mempunyai hak yang sama dalam struktur sosial-kemasyarakatan. Begitupun dengan sosial-kenegaraan, setiap warga negara mempunyai hak yang sama.

Sangat jelas, sejak berdirinya negara ini negara Indonesia tidak menerapkan syariat Islam dalam bernegara. Islam dijadikan sebagai jalan hidup setiap warga negara. Begitu pun dalam bernegara, nilai-nilai Islam dan nilai-nilai agama lainnya di Indonesia ini menjadi dasar atas konstitusi negara. Mulai dari ketauhidan, kemanusiaan, persatuan, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, keadilan menjadi dasar negara. Nilai-nilai tersebut termuat dalam Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara, sebagai pandangan hidup telah memuat nilai-nilai agama.

Puncak ajaran agama pun mengajarkan tentang ketauhidan, kemanusiaan dan kebaikan sesama manusia. Sehingga konstitusi negara Indonesia walaupun tidak berdasarkan syariat Islam, namun spirit nilai-nilai agama termuat dalam asas dasar negara. Jika konstitusi negara tidak sesuai dengan nilai-nilai agama, kita bisa untuk tidak mengikutinya.

Hubungan antara agama dan negara sudah jelas, saling berkaitan. Agama dijadikan nilai dalam bernegara dan dalam menerapkan konstitusi. Nilai-nilai agama mengakomodir semua kepentingan umat beragama. Agama di dalam negara tidak menindas warga negaranya, atau menghilangkan hak-hak pemeluk agama lain.

Nur Sholikhin

Penulis adalah alumni Fakultas Ilmu Pendidikan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Saat ini sedang aktif di Majalah Bangkit PW NU DIY.

View Comments

Recent Posts

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

13 jam ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

14 jam ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

14 jam ago

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

2 hari ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

2 hari ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

2 hari ago