Categories: Narasi

Nilai Agama di Tengah Wabah Corona

Krisis, tak pelak lagi, adalah suatu titik di mana segala kebiasaan atau apa yang bersifat berkesinambungan tiba-tiba terjeda atau bersifat tak biasa. Pada psikologi manusia ia ditandai oleh peristiwa einmalig, titik-balik kehidupan, yang membuat kehidupannya seolah “terhenti” dan memutuskan untuk berubah, bahkan sampai pada taraf 180 derajat.

Pada budaya krisis itu ditandai oleh apa yang disebut sebagai cultural malaise (kelesuan budaya) yang oleh Ronggawarsita dilukiskan sebagai berikut “Ilang budayanipun/ tanpa bayu wayane ngalumpuk/ Saciptaning wardaya ambebayani/ Ubayane nora payu/ Kari kataman pekewoh” (‘Zaman Kalabendu’ Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, https://www.berdikarionline.com).

Wabah corona telah membuat segala kebiasaan—entah politik, budaya, dan agama—berubah, atau setidaknya, menuntut adanya reinterpretasi. Tuntutan social distancing, atau ada pula yang mengistilahkannya sebagai physical distancing, dan pada tingkat ekstrim kebijakan lockdown, telah mengubah berbagai kebiasaan dan bahkan pun tafsir keagamaan.

Seperti misalnya, himbauan untuk tak mengadakan dan menjauhi keramaian, yang otomatis mengubah status hukum agama atas sebuah ibadah bagi orang-orang yang bertempat di wilayah berkategori zona merah. Ada pula himbauan terkait dengan physical distancing, untuk tak bersalaman dan menjaga jarak dengan orang lainnya. Ditambah pula tak adanya lagi anjuran untuk selalu murah senyum yang notabene dikategorikan bernilai ibadah karena mulut dan hidung tertutup oleh masker.

Barangkali, dalam perspektif agama, hikmah dari wabah corona ini adalah bahwa agama tak semata soal raga yang terbatas sifatnya. Tapi juga batin yang tak ada batasnya. Fiqh di sini menjadi hal yang relatif dan tasawuf, sebagai sebuah perspektif, menjadi bidang yang dominan. Karena itulah kenapa orang-orang yang tak menaati himbauan pemerintah dan berbagai ormas keagamaan atas penyikapan wabah corona kebanyakan datang dari orang-orang dhohiriyah, orang-orang yang semata menilai agama dari sisi eksterior atau penampakan luarnya.

Baca Juga : Corona, Solidaritas, dan Optimisme

Syaikh Abu al-Hasan al-Syadzili konon menyatakan bahwa laku batin (ibadatul qalbi) sama pentingnya dengan laku lahiriah. Membuat hati senang (atas takdir) lebih penting daripada banyak shalat ataupun puasa. Tak berarti bahwa al-Syadzili abai terhadap raga dan ketentuan-ketentuan syari’at atasnya.

Hanya saja sebuah amalan yang meskipun sedikit tapi istiqamah dalam menjalankannya lebih bernilai daripada 1000 karamah (Khalifah fi al-Ardhi dan Diri-Diri yang terkebiri, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Hal ini tentu saja berkaitan dengan kepuasan hati yang menjadi lantaran keikhlasan dalam menjalankan sebuah amalan. Terkadang nafsu manusia untuk beribadah sekalipun dapat pula menjadi hijab antara ia dan TuhanNya.

Dalam hal ini saya teringat tentang konsep sedulur papat lima pancer dalam khazanah kearifan nusantara (Akumu Adalah Jejermu: Wajah Lain Sufisme Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Ternyata diri mutma’inah yang terlalu dominan juga akan menyebabkan kepincangan pada manusia (terkebiri).

Karena itulah, ia juga mesti diimbangi oleh diri-diri atau 3 sedulur lainnya: amarah, luwamah, dan supiyah. Selama manusia hidup, keempat sedulur ini merupakan piranti di mana yang tanpanya manusia bukalah manusia. Selain beribadah, manusia mesti pula memenuhi tuntutan syarat-syarat hidup lainnya: sandhang, papan, dan pangan.

Jika diri mutma’inah berkaitan dengan sikap pasrah dan tawakal (pesthi), maka keempat diri lainnya berkaitan dengan kemanusiaannya manusia, ikhtiar, yang berkaitan dengan pestha. Pada titik inilah Muhammad Iqbal, seorang pemikir dan “ruh” pendirian negara Pakistan, menulis baik pokok-pokok pikiran maupun puisi-puisi yang menggemakan “daya kreatif” manusia yang selama ini dikebiri oleh teologi-teologi fatalistik (Khalifah fi al-Ardhi di Tengah Gelombang Pembodohan Agama, Heru Harjo Hutomo, https://harakatuna.com). Dari kasus wabah corona ini orang kemudian menjadi tahu bahwa logika keagamaan berbeda dengan logika ketuhanan. Dalam konteks-konteks tertentu, bisa jadi aturan-aturan agama yang selama ini kerap dimaknai sebagai sebuah keharusan yang mengatasi ruang dan waktu, yang bersifat hitam dan putih, akan menjadi relatif.

This post was last modified on 27 Maret 2020 3:54 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago