Narasi

Ontologi Kurban dan Momentum Rehumanisasi Bangsa

Dua momen penting di Bulan Dzulhijjah bagi umat Islam ialah ibadah haji dan kurban. Keduanya memiliki pesan spiritual sekaligus sosial yang kuat dan mendalam. Sayangnya, tahun ini dua ibadah itu harus dilaksanakan dalam keterbatasan dan keprihatinan. Pemerintah Arab Saudi sebagai penanggung jawab dua Kota Suci, Makkah dan Madinah telah memutuskan untuk membatasi ibadah haji hanya bagi warga lokal. Itu artinya, umat Islam dari luar negara Arab Saudi yang terjadwal berangkat haji tahun ini harus menunda setidaknya hingga tahun depan. Tentu bukan hal yang mudah, apalagi bagi jamaah haji asal Indonesia yang harus mengalami masa tunggu pelaksanaan ibadah haji hingga puluhan tahun.

Begitu pula Idul Adha yang tahun ini jatuh pada tanggal 31 Juli, harus dirayakan oleh umat Islam dalam suasana pandemi Covid-19 yang belum mereda. Penyembelihan hewan kurban yang menjadi salah satu elemen penting perayaan Idul Adha pun harus dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan. Belum lagi situasi perlambatan ekonomi yang dalam banyak hal tentu berpengaruh pada antusiasme umat Islam untuk mempersembahkan kurban terbaiknya. Kesulitan finansial memaksa sebagian besar umat Islam untuk memprioritaskan kebutuhan primer sebelum melaksanakan ibadah kurban. Meski demikian, situasi pandemi yang diwarnai kesulitan dan keprihatinan ini kiranya jangan sampai mengurangi kekhidmatan kita dalam menyambut dan merayakan Idul Adha dan melaksanakan kurban.

Seperti diketahui, ibadah kurban merupakan ibadah yang memiliki spirit multidimensi, mulai dari historis, spiritual maupun sosial. Secara historis, ibadah kurban mengajak umat Islam mengingat sekaligus meneladani kisah Nabi Ibrahim yang diperintahkan menyembelih sang putera, yakni Nabi Ismail. Napak tilas sejarah ini penting untuk mengingat kembali semangat penghambaan dan ketertundukan bapak-anak tersebut pada Allah Swt. Dari dimensi spiritual, ibadah kurban dapat dimaknai sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah, mencari ridho dan berharap ampunan-Nya. Ibadah kurban menjadi medium manusia untuk membuktikan kesetiaan dan keimanannya pada Allah. Sedangkan dari sisi sosial, ibadah kurban menjadi manifestasi komitmen umat Islam pada nilai-nilai solidaritas dan kemanusiaan.

Baca Juga : Menilik Kesalahan Paham Khilafah Islamiyah dari Kacamata Islam

Kurban mengajarkan manusia untuk merelakan sebagian harta terbaiknya demi memberikan sejumput kebahagiaan kepada orang lain yang hidupnya kurang beruntung. Kurban juga menjadi gambaran siklus kehidupan, dimana dari setiap nyawa hewan kurban yang disembelih telah membantu kehidupan banyak manusia. Kurban juga menjadi representasi dari sarana pembelajaran agar kita senantiasa merawat sisi humanis kita dengan jalan mengebiri sifat-sifat hewani yang memperkeruh nurani. Ketika umat Islam menyembelih hewan kurban, idealnya saat itu juga kita membunuh sikap egois dan individualis dalam diri kita. Ketika darah hewan kurban mengalir dan menetes ke tanah, idealnya saat itu pula nafsu-nafsu hewani kita rontok satu per-satu.

Menyelami Hakikat Ibadah Kurban

Perspektif ontologis dari praktik ibadah kurban inilah yang idealnya kita selami agar kurban tidak berakhir menjadi ritual tahunan nirmakna. Dengan menyelami makna kurban, maka ibadah ini akan menjadi monumen penting dalam proses rehumanisasi bangsa. Rehumanisasi bangsa ialah proses mengembalikan kembali sisi-sisi kemanusiaan bangsa yang sempat tertutupi oleh praktik-praktik sosial-politik yang bertendensi sektarian, individualis dan egoistik. Rehumanisasi bangsa berakar dari sebuah asumsi bahwa setiap kelompok masyarakat ialah elemen bangsa yang memiliki fungsi, peran sekaligus tanggung jawab yang nisbi sama. Masing-masing kelompok memiliki tugas untuk menjaga persatuan, persaudaraan dan ketahanan bangsa dan negara dari ancaman baik internal maupun eksternal.

Sayangnya, kenyataan ini kerap diabaikan baik secara sengaja maupun tidak. Seperti yang kita lihat belakangan ini ketika kesadaran masyarakat dalam menjaga persatuan dan persaudaraan bangsa kian memudar akibat meningkatnya sentimen individualisme dan egoisme kelompok. Hal ini dilatari oleh beragam faktor, mulai dari kontestasi politik yang berorientasi pada kekuasaan sampai konservatisme agama yang berujung pada sikap sektarian. Pada titik ini, harus diakui bahwa bangsa Indonesia tengah mengalami dehumanisasi yang lambat laun akan menjerumuskan manusia ke dalam jurang perpecahan bahkan kekacauan sosial. Problem dehumanisasi ini pula yang tampak pada sebagian masyarakat Indonesia ketika menghadapi pandemi. Fenomena itu tampak pada abainya masyarakat pada kebijakan pemerintah dan protokol kesehatan yang berakibat pada sulitnya mengendalikan penyebaran Covid-19. Bahkan ada sebagian masyarakat yang memanfaatkan situasi pandemi untuk kepentingan pribadi dan ambisi golongannya.

Idul Adha yang identik dengan ibadah haji dan penyembelihan hewan kurban kiranya menjadi momentum tepat umat Islam untuk melakukan rehumanisasi bangsa. Dengan menyelami ontologi kurban yang bermakna penghambaan diri pada Allah sekaligus perwujudan komitmen kemanusiaan, umat Islam Indonesia idealnya bisa menganulir penyakit-penyakit sosial yang selama ini menggerogoti relasi keagamaan dan kebangsaan dari dalam. Proses rehumanisasi bangsa menuntut komitmen seluruh elemen masyarakat untuk meletakkan egoisme individu dan kelompoknya untuk kemudian menjunjung tinggi kepentingan bangsa di atas segalanya. Situasi pandemi ini mewajibkan kita semua untuk melakukan interospeksi diri baik secara sosiologis maupu secara spiritual. Secara sosiologis, kita patut bertanya ke dalam diri kita sendiri apakah selama ini kita telah menjadi manusia yang berperan aktif dalam transformasi sosial sesuai kapasitas kita? Sedangkan secara spiritual, kita patut bertanya apakah selama ini kita telah menyelami makna agama ataukah hanya berhenti pada aspek ritual dan simbol? Pertanyaan retoris itu membutuhkan sebuah jawaban konkret, yakni aksi nyata bagaimana kita sebagai umat beragama mampu berperan aktif dalam melawan pandemi. Hari Raya Kurban ini kiranya bisa menjadi momentum memperkuat dimensi spiritualitas sekaligus memperkuat solidaritas dan kepedulian sosial. Semoga.

This post was last modified on 27 Juli 2020 1:30 PM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago