Setiap bulan September, isu komunisme santer diberitakan dan selalu menjadi perbincangan hangat publik. Memang sejarah mencatat bahwa pada 30 September 1965, telah terjadi peristiwa berdarah yang dimotori oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang hendak mengganti ideologi Pancasila menjadi komunis dan PKI juga hendak mengkudeta pemerintahan yang sah kala itu.
Peristiwa yang dikenal publik dengan istilah G30S/PKI itu memang termasuk sejarah yang suram karena penuh dengan kekejaman dan lumuran darah, dan semua itu akan selalu diingat oleh seluruh rakyat Indonesia. Peristiwa G30S/PKI ini juga dikenal sebagai gerakan makar. Pasca PKI gagal menguasasi Indonesia, pemerintah kala itu langsung mengeluarkan peratran pelarangan PKI (sebagai sebuah gerakan partai) dan ajarannya. Dengan demikian, ia terlarang secara konstitutional.
Jujur harus diakui bahwa isu komunisme di bulan September perlu selalu didengungkan sebagai wujud kewaspadaan terhadap kebangkitan (kembali) gerakan tersebut di era saat ini. Namun demikian, tidak sedikit orang atau kelompok memanfaatkan momentum ini sebagai salah satu cara mencari panggung dan simpati.
Tentu saja tidak sah bahkan tidak adil jika isu komunisme di bulan September dimanfaatkan untuk mencari panggung dan simpati masyarakat. Hal ini selain karena mencederai kepentingan bersama, juga menjadikan konsentrasi rakyat terhadap gerakan komunisme menjadi buyar, tidak menyentuh pokok permasalahan.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa komunisme yang mewujudkan diri dalam bentuk partai (PKI) patut diwaspadai karena mereka terbukti pernah melakukan percobaan kudeta secara massif dan hampir membuat chaos pemerintahan Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Dengan demikian, fokus rakyat seharusnya pada titik gerakan makar.
Jika kita amati lebih dalam lagi, maka tidak hanya PKI yang perlu kita waspadai, melainkan juga ideologi dengan pola gerakan yang sama. Karena pada era saat ini, telah banyak bermunculan ideologi-ideologi anti-Pancasila yang memiliki pola dan karakter yang sama, yakni hendak melakukan percobaan kudeta atas pemerintah yang sah.
Dari sini muncul sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik namun tetap harus dicarikan sebuah jawabannya. Bagaimana negara dan warganegara ini harus bersikap terhadap perkembangan ideologi-ideologi yang tidak sejalan dengan ideologi Pancasila? Jawabannya jelas. Terhadap ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, negara dan warga negara ini harus tegas menolak ideologi yang bertentangan dengan falsafah dan konsensus nasional.
Tulisan ini akan mencoba mengulas tentang bagaimana negara membuat instrumen yang mengarah pada peningkatan perlindungan terhadap Pancasila sebagai ideologi bangsa dan terhadap serangan-serangan ideologi lain selain Pancasila. Artinya, bagaimana Pancasila terlindungi secara konstitusional.
Aspek konstitutional ini sangat penting dan harus menjadi perhatian kita yang pertama dan paling utama karena melalui jalan inilah, pengamanan Pancasila akan lebih terarah dan benar-benar membuahkan hasil yang maksimal.
Untuk itu, mari kita kuak terlebih dahulu mengenai sejauhmana konstitusi kita saat ini dalam upaya melindungi Pancasila. Terkait hal ini, tokoh NU sekaligus intelejen RI As’ad Said Ali dalam Islam, Pancasila dan Kerukunan Berbangsa (LP3ES, 2019) menjelaskan bahwa setelah TAP MPR No. IV/MPR/1983 tentang Referendum dicabut, maka pengamanan Pancasila sebagai dasar negara sebenarnya sangat rentan. Ironi semakin dalam ketika kita menyimak bahwa di dalam Amandemen UUD 1945, masalah krusial ini sama sekali tidak dibahas. Perubahan ini masih belum menyentuh pada aspek perlindungan Pancasila secara tegas, karena yang dibahas dalam perubahan itu baru seputar tidak mengubah pembukaan UUD 1945, mempertahankan NKRI, tetap menerapkan sistem presidensial, dan lainnya.
Minimnya perlindungan Pancasila juga terlihat dari tidak dicabutnya TAP MPRS Nomor XXV/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia. Memang, instrumen tersebut mampu melindungi Pancasila dari infiltrasi kelompok komunis, dan marxisme-leninisme, tetapi tidak terlindungi dari ideologi khilafahisme dan liberalisme dan lainnya.
Memang ada instrumen lain yang bisa dijadikan sebagai ‘alat’ untuk mengamankan Pancasila dari upaya-upaya jahat ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, yakni mengamankan Pancasila dengan menggunakan pasal ‘ujaran kebencian’ sebagaimana yang termaktub dalam KUHP. Namun lagi-lagi pasal tersebut masih bersifat umum. Oleh karena itu, perlu diperkuat dan diperluas cakupannya supaya bisa mengakomodasi kebutuhan kekinian seperti penghinaan terhadap golongan penduduk, aliran serta tindakan-tindakan lainnya yang dapat memecah kesatuan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI.
Memperkuat Pengamanan Pancasila
Harus diakui dan disadari bahwa berdasarkan uraian di atas dan perkembangan yang mutahir di republik ini, ideologi yang bertentangan dengan Pancasila masih melalang buana dan seolah bebas mengitari ruang-ruang publik di Tanah Air. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa pengamanan Pamcasila sebagai dasar dan ideologi serta falsafah bangsa masih sangat mengkhawatirkan sehingga banyak hal yang harus dilakukan guna melindungi dan memperkuat Pancasila.
Pertama, memperkuat Pancasila melalui konsolidasi demokrasi (Said Ali, 2019: 123). Mau tidak mau dan suka tidak suka, kita harus berani mengakui bahwa demokrasi menjadi ‘celah’ merebaknya ideologi-ideologi di Tanah Air, terutama pasca reformasi. Hal ini karena kran kebebasan telah dibuka. Untuk itu, demokrasi yang semacam ini harus dikonsolidasikan supaya menjadi demokrasi subtantif dan berdampak pada penguatan dan pengamanan Pancasila.
Kehidupan demokrasi harus dikonsolidasikan. Maksudnya, demokrasi jangan sampai mengarah pada dan berpusat hanya pada kepentingan elit dan privat saja. Kemudian kebebasan sipil juga harus dikonsolidasikan dengan cara merevitalisasi warga negara sebagai subjek dan identitas politik. Hal ini dimaksudkan agar kebebasan yang tumbuh ber-orientasi pada kepentingan publik, bukan kepentingan segelintir orang saja. Jika sudah demikian, maka ruang-ruang publik akan menjadi ruang produktif dan ideologi-ideologi trans-nasional akan mental seiring dengan meningkatkan kualitas demokrasi Indonesia.
Kedua, memperkuat Pancasila melalui ranah hukum. Kebebasan memang menjadi sesuatu yang harus dijunjung tinggi. Meskipun demikian, kebebasan bukan berarti bebas melakukan apa pun, termasuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain, misalnya. Ranah kebebasan harus dibangun di atas landasan hukum yang kokoh, yang memiliki tujuan selian melindungi kebabasan itu sendiri, juga melindungi negara atau ideologi negara dari ancaman keamanan dan ideologi. Ranah hukum ini juga harus memperhatikan aspek lain, yakni jangan sampai tindakan pengamanan negara (state security) atau ideologi bertabrakan dengan kebebasan berpolitik atau ber-ekspresi warga negara. Dengan demikian, dalam konteks melindungi dan mengamankan Pancasila, suatu kebebasan jika itu mengarah pada merusak ideologi bangsa, maka ranah hukum bisa menindaknya secara tegas. Hal ini bukan berarti membatasi kebebasan, melainkan sebagai upaya tegas melindungi Pancasila dan tentu saja untuk/demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.
This post was last modified on 30 September 2020 3:13 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…