Narasi

Yang Tertolak: Menguak Struktur Jaringan Radikalisme dan Terorisme Kontemporer di Indonesia

Dalam diskursus radikalisme dan terorisme terdapat dua macam bentuk aksi lapangannya: tunggal dan komplotan. Dalam hal ini saya ingin mengupas pola dan mekanisme radikalisme dan terorisme yang berkomplot. Mengingat pengutamaan program pencegahan daripada penindakan yang dicanangkan pemerintah dan beberapa bukti terkait dengan corak radikalisme dan terorisme kontemporer yang tak lagi lekat dengan citra agama, bahkan terkesan politis, saya kira menjadi penting untuk dikupas pola dan mekanisme mereka (Radikalisme dan Terorisme Sebagai Fenomena Ideologis, Bukan Agamis, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org).

Radikalisme dan terorisme kontemporer di Indonesia, dari berbagai catatan yang ada selama ini, khususnya yang berafiliasi dengan IS (Islamic State), tak lagi memiliki karakteristik dan pola perekrutan serta aksi lapangan sebagaimana yang selama ini ditunjukkan oleh Al-Qaeda maupun JI. Di samping adanya pemilahan antara kafir harbi dan kafir dzimi yang sama-sama berhak untuk dizalimi, mereka terkesan hanya memakai agama sebagai kemasan belaka. Sehingga, dari berbagai pelakunya yang dapat dibekuk, sangat tampak bahwa mereka bukan berasal dari kalangan yang latar-belakang agama yang kuat (Hikayat Binatang Agama dan “Bertolak Dari yang Ada”, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org ). Pun, pendekatan mereka lebih menggunakan pendekatan terorisme purba, dengan merekrut para mantan “preman” dengan segala tabiat dan modus operandi khas mereka di lapangan, yang sama sekali jauh dari permasalahan ideologi sehingga tampak bahwa mereka seperti halnya para pelaku kriminal biasa (Mengakrabkan Diskursus Kontra Radikalisme-Terorisme Pada Anak-anak, Heru HarjoHutomo, https://jurnalfaktual.id).

Dengan melihat struktur organisasi IS di Marawi, setidaknya mereka memiliki dua organ utama yang saya sebut sebagai organ “wani wirang” dan organ “masturbasif.” Organ “wani wirang”biasanya terdiri dari kalangan kelas menengah ke atas atau the have. Mereka umumnya para “public figure” yang memiliki status sosial dan posisi yang strategis di masyarakat. Omanta Maute adalah salah satu buktinya dimana IS Marawi mendapatkan sokongan finansial darinya. Ia merupakan seorang senator di kotanya. Sementara organ “masturbasif” merupakan para peracik strategi sekaligus eksekutor di lapangan. Saya sebut “masturbasif” karena organ ini sebagian besar memang karib dengan kekerasan seperti halnya para preman dengan segala karakteristiknya: perebutan dan penguasaan wilayah, penggunaan cara-cara yang menyimpang dari hukum ataupun tata perundangan yang ada, absolutisme “kebenaran”, dan watak untuk tak mau berbagi ruang.

Secara sekilas, mereka memang tampak laiknya jaringan mafia dengan kedok agama maupun ideologi tertentu, yang seolah sangat gampang untuk ditundukkan sebagaimana jaringan preman biasa. Padahal, dalam kenyataannya, jaringan terorisme kontemporer tersebut bersifat patah tumbuh hilang berganti dengan modus operandi yang tak jauh berbeda: bersenjatakan pisau, parang, gunting, dst., serta aksi yang tampak nekat sehingga dengan secepat kilat dapat dibekuk (“Bertolak Dari yang Ada”, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Tapi mengingat banyaknya aksi yang serupa selama ini membuktikan bahwa kunci militansi mereka tak lagi terletak pada ideologi dan ideologisasi maupun kecerdikan aksi-aksi lapangannya, mereka hidup dengan cara menyusup pada gerakan ataupun organisasi tertentu dan lihai dalam menggandakan diri serta pola (Maling Teriak Maling: Analisis Diskursif Tentang Kemunbgkinan Maraknya Kejahatan, Radikalisme dan Terorisme di Tengah Wabah Corona, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.org). Satu hal lagi, mereka sangat cakap dalam membuat kebingungan dan kekacauan informasi di masyarakat, terutama di kalangan akar rumput—dan biasanya ketika banyak orang telah bingung, tiba-tiba aksi yang terbilang radikal dan teroristik terjadi laiknya sebentuk spontanitas dan kriminalitas biasa. Padahal, sendainya diseksamai, kesan “biasa”, karena mampu menjadi sebuah “kebiasaan”, adalah sebuah “keluarbiasaan”.

This post was last modified on 29 September 2020 4:46 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago