Narasi

Pasca-Puasa, New Normal dan Aktualisasi Kesalehan Transformatif

Kini perayaan Idul Fitri telah tiba, serta ramadan kian beranjak dari persemaiannya. Bulan yang berkah dan penuh ampunan dan selalu dirindukan tiap tahunnya, kini telah tiada. Akankah kita akan sampai pada ramadan tahun berikutnya? tidak ada yang bisa memastikannya. Ramadan di tengah pandemi tahun ini telah menjadi episentrum umat muslim dalam meneguhkan spiritualitas dan mengaktualisasikan kesalehan sosial.

Dalam konteks ini, penting kiranya kita merefleksikan secara spiritual-sosial, bagaimana realitas kita pasca-puasa? Akankah rutinitas ibadah individual dan sosial selama berpuasa yang telah dilakukan akan tetap bisa istiqomah kita jalankan?. Hal ini perlu upaya kontemplasi yang mendalam. Keberkahan ramadan biasaya ditandai dengan konsistensi seseorang dalam beribadah, baik yang sifatnya mahdah maupun sosial.      

Akselerasi Ekonomi dan New Normal

Di tengah kondisi pandemi, kesulitan ekonomi menjadi keluh kesah banyak orang. Untuk itu, masyarakat seharusnya saling membantu dan bersolidaritas dalam rangka mendistribusikan ekonominya. Misalnya mengakselerasi distribusi zakat bagi masyarakat yang kurang mampu di lingkungan sekitar. Kemudian upaya yang bisa dilakukan adalah dengan “gerakan masyarakat sipil” untuk menggalang dana bantuan Covid-19 yang bisa dilakukan melalui platform digital dan media sosial, seperti yang telah dilakukan para musisi Indonesia, para artis dan tokoh-tokoh berpengaruh di Indonesia.  

Karena berdasarkan data dari Kementrian Ketenagakerjaan RI (23/05), lebih dari 2 juta masyarakat Indonesia yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), yang kemudian menyebabkan ketidakstabilan ekonomi secara mikro maupun makro. Perekonomian di sektor riil kondisinya cukup terpukul, apalagi masyarakat yang bekerja di sektor Informal.

Meskipun demikian, pemerintah telah berupaya secara maksimal dalam mengakselerasi bantuan melalui Dana Desa BLT (Bantuan Langsung Tunai), tetapi tetap saja tidak semua masyarakat yang sesuai kriteria mendapatkan akses bantuan tersebut. Hal ini dibuktikan dengan berbagai konflik antar masyarakat sipil dan pemerintah setempat yang terjadi terkait distribusi dana BLT yang tidak merata.

Baca Juga : Perkuat Persatuan Menuju Hari Kemenangan di Tengah Pandemi 

Melihat realitas tersebut, perlunya kita “ringan tangan” dalam membantu sesama, apalagi di tengah keterbatasan akses mobilitas dan distribusi ekonomi masyarakat karena terkendala PSBB. Kemudian yang lebih penting dari itu, bagaimana habitus sosial seperti solidaritas dan gotong royong yang menjadi local wisdom harus terus diaktualisasikan.

Dengan kondisi yang kian tak menentu, pemerintah akan menyikapi situasi pendemi ini dengan “new normal”. Tetapi ada beberapa panduan yang perlu diperhatikan untuk menerapkan new normal tersebut. Menurut Henri P. Kluge dari WHO, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, penerapan new normal bisa dilakukan jika sudah terbukti bahwa transmisi Covid-29 telah dikendalikan. Kedua, kesehatan masyarakat dan kapasitas sistem kesehatan mampu mengidentifikasi, mengisolasi, menguji, melacak kontak dan mengkarantina. Ketiga, mengurangi risiko wabah dengan pengaturan ketat terhadap tempat yang memiliki kerentanan tinggi. Keempat, pencegahan di tempat kerja ditetapkan, seperti jarak fisik, fasilitas mencuci tangan, etiket penerapan pernapasan. Serta risiko penyebaran Imported Case harus dapat dikendalikan. Yang terakhir, masyarakat harus terlibat dalam upaya transisi tersebut.               

Mewujudkan Kesalehan Transformatif

Melihat realitas ini, ramadan yang telah lalu jangan hanya dijadikan sebagai ibadah ritual yang miskin perenungan. Bagaimana kesalehan spiritual yang sudah dilakukan selama sebulan penuh tidak berhenti di sana, tetapi tetap senantiasa dijalankan dengan penuh istiqomah hingga pasca-ramadan. Kualitas iman, emosional dan spiritual pasca-ramadan harus makin meningkat dan lebih baik dari sebelumnya, hal tersebut idealnya semakin memantapkan diri untuk meneguhkan spirit dan kerja kemanusiaan.                   

Kemudian konsistensi dalam beribadah, disiplin waktu, dan upaya mengakselerasi kebutuhan domestik di tengah paceklik ekonomi menjadi terobosan yang sangat penting untuk segera kita implementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Karena implikasi sosial yang ditimbulkan akan sangat besar dan mampu menguatkan basis civil society. Idul Fitri menjadi momen untuk kembali ke fitrah manusia yang sejati, bersih dari segala prasangka, iri, dengki dan sifat sombong. Bagaimana empati dan simpati di tengah pandemi menjadi spirit untuk saling menguatkan kepada orang lain.                

Dalam konteks ini, momentum hari kemenangan harus kita wujudkan dengan kemenangan yang maksimal. Salah satunya menjadi insan yang saleh secara holistis-transformatif. Meminjam bahasa A.M Mulkhan (2005), kesalehan merupakan hasil pengejawantahan dari keberimanan, pernyataan atau produk dari iman seseorang yang dilakukan secara sadar. Dan transformative di sini dimaknai sebagai yang melampaui individu, kebaikan bukan hanya bergerak pada diri sendiri tetapi harus bisa dirasakan oleh orang lain. Hal ini juga berkaitan dengan pendapat Moeslim Abdurrahman (2002), bahwa gagasan transformasi Islam bukan hanya gagasan intelektual akademik yang bersifat ideal, melainkan konsep yang meluas dan menyeluruh.  

Dengan meneguhkan kesalehan transformatif, kita harus mempu melejitkan spiritualitas yang lebih dari biasanya. Jangan sampai ramadan dan Idul Fitri hanya menjadi siklus tahunan yang kering hikmah. Karena ada banyak nilai-nilai serta hikmah yang bisa kita ambil dari segala hal yang terjadi kepada kita semua.   

Kesalehan merupakan wujud penghambaan diri sebagai muslim yang baik. Dalam ajaran Islam, sebagai muslim kita dianjurkan untuk melupakan amalan baik puasa yang sudah kita lakukan. Hal ini sebagai wujud keikhlasaan yang Lillahi taa’la, segala amalan yang telah dilakukan selama sebulan ini perlu kita niatkan sepenuhnya hanya untuk mendapatkan ridho-Nya. Tidak ada embel-embel niat apapun selain kepada-Nya, ini merupakan konsekuensi logis sebagai insan yang saleh secara transformatif.   Akhirnya, dengan hal ini semoga kita kedepan bisa menjadi hamba tuhan yang Istiqomah, yang bukan hanya menguatkan hubungan vertikalnya kepada tuhan, tetapi juga tidak melupakan relasi horizontalnya kepada sesama. Selamat hari raya Idul Fitri 1441 H, Ja’alanallahu Wa iyyakum ‘ajmain minal Aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin.

This post was last modified on 27 Mei 2020 4:34 PM

Ferdiansah Jy

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago