Categories: Editorial

Pemuda Buktikan Sumpahnya: Tidak Menjadi Sampah

Unik! Peringatan hari sumpah pemuda kali ini tidak diikuti dengan pembacaan ikrar sumpah pemuda, padahal peserta yang hadir dalam acara memperingati hari sumpah pemuda itu berjumlah 1000 orang generasi muda dari berbagai perwakilan organisasi kepemudaan, ormas Islam, kampus dan sekolah menengah se-wilayah Yogyakarta. Adakah pemuda mengetahui untaian kata dan rangkaian kalimat yang terdapat dalam ikrar sumpah pemuda?

Padahal peringatan hari proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia selalu memprioritaskan pembacaan ulang naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia yang kemudian diikuti oleh peserta upacara. Keunikan tersebut menjadi indikasi kuat bahwa para pemuda tidak lagi dituntut untuk secara seremonial meneriakkan naskah sumpah pemuda, tetapi mereka dituntut untuk memiliki komitmen dan tekad yang kokoh untuk membuktikan dan mengaplikasikan nilai dan semangat sumpah pemuda dalam kehidupan nyata.

Pemuda hari ini tidak lagi buta membaca segala yang tersurat, meski masih ada pula sebagian dari para generasi harapan bangsa ini yang masih buta membaca yang tersirat. Sumpah pemuda yang datang dan pergi dalam kehidupan pemuda menuntut mereka untuk mampu membaca yang tersirat, menuntut para pemuda untuk membuktikan dan menghidupkan dalam setiap gerak langkahnya.

Pemuda yang memahami dan membuktikan esensi dasar ikrar sumpah pemuda adalah pemuda yang dinantikan ibu pertiwi, sementara pemuda yang tidak siap melanjutkan amanat dari ikrar sumpah pemuda hanya akan menjadi sampah dalam masyarakat. Mereka tidak mampu berkompetisi dalam memajukan bangsa, bahkan mereka hanya akan dicatat dalam sejarah bahwa pernah hidup dalam lembar sejarah bangsa Indonesia tanpa kontribusi kepada negara, dan tanpa membawa tafsiran nilai dan semangat dari sebuah sumpah yang telah diikrarkan oleh pemuda dan pejuang sebelumnya.

Di antara nilai dan semangat yang harus dilestarikan para pemuda adalah sebuah tekad kuat dan komitmen untuk membenahi diri dan mempersiapkan fisik dan mental melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa. Teriakan Bung Tomo 87 tahun yang silam ketika mempersatukan tanah air, bangsa dan bahasa Indonesia tidak mesti sama bagi pemuda hari ini untuk menggelorakan untaian kalimat yang sama. Pemuda saat ini harus memiliki benteng yang kokoh menghadapi berbagai macam serangan ideologi yang melemahkan ideologi Pancasila.

Dalam kegiatan peringatan hari sumpah pemuda yang dilaksanakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bertempat di Jogja Ekspo Center (JEC), Menteri Agama Republik Indonesia menyampaikan pidato kunci yang diawali dengan sambutan Kepala BNPT Drs. Saud Usman Nasution, SH MM., Menteri Agama RI., H. Lukman Hakim Syaifuddin, menyampaikan dua akar masalah yang menyebabkan seseorang menjadi radikal; Pertama, ketidakadilan dalam segala aspek kehidupan, Kedua; doktrin keagamaan yang dipahami secara ekstrim, terbatas, dangkal dan bahkan tafsiran yang monopolis.

Penegasan ulang yang disampaikan Lukman Hakim Syaifuddin menekankan posisi pemuda sebagai harapan bangsa yang memiliki tanggung jawab berat untuk meminimalisir anggapan yang menyebar secara menyeluruh bahwa setiap anak bangsa yang merasakan dan menerima sebuah ketidakadilan dalam segala aspek kehidupan harus diselesaikan dengan cara dan aksi radikal, yang pada akhirnya mengarah pada aksi terorisme. Demikian pula tafsiran doktrin keagamaan yang dangkal, hanya berujung pada sebuah sikap fanatisme yang berlebihan dan melahirkan generasi yang radikal.

Watak pemuda yang radikal itulah yang menjadi sampah dalam masyarakat; sampah bagi pembangunan bangsa, dan sampah bagi masa depan bangsa. Mereka yang abai terhadap sumpah pemuda tentu akan menyengsarakan masyarakat, karena mereka adalah pemuda yang tidak memiliki sense of crisis, sense of belonging dan sense of responsibility.

Pemuda masa kini harus selalu meningkatkan pemahaman terhadap doktrin keagamaan yang lebih plural, membumi, dan akomodatif serta tidak radikal. Sehingga makna sumpah pemuda dirasakan pengaruhnya bagian generasi-generasi selanjutnya.

This post was last modified on 29 Oktober 2015 9:59 AM

Irfan Idris

Alumnus salah satu pesantren di Sulawesi Selatan, concern di bidang Syariah sejak jenjang Strata 1 hingga 3, meraih penghargaan dari presiden Republik Indonesia pada tahun 2008 sebagai Guru Besar dalam bidang Politik Islam di Universitas Islam Negeri Alauddin, Makasar. Saat ini menjabat sebagai Direktur Deradikalisasi BNPT.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

7 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

7 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

7 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago