Narasi

Pemuda, Kebhinekaan dan Persatuan Bangsa

Titik tolak persatuan dari beragam entitas yang ada di negara ini dapat dikatakan bermula dari peristiwa Sumpah Pemuda di tahun 1928. Peristiwa yang dimotori oleh para pemuda dari beragam suku dan organisasi kepemudaan ini, dengan tegas menyatakan bahwa bertumpah darah satu, bertanah air satu dan menjunjung bahasa persatuan. Yang semuanya, terangkum dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hanya saja, kala itu memang tidak secara terang-terangan menyebut NKRI karena masih dalam kondisi terjajah. Namun, pada akhirnya spirit persatuan yang digelorakan meski tediri dari beragam entitas tersebut, dalam kurun waktu kurang lebih tujuh belas tahun kemudian bangsa Indonesia betul-betul dapat mencapai kemerdekaannya. Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta mewakili seluruh rakyat Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya di mata dunia.

Hikmah yang dapat diambil, keberagaman (kebhinekaan) sejatinya dapat melahirkan hal-hal yang luar biasa apabila dapat dikelola dengan baik. Bayangkan saja, selama 350 tahun kita dalam jajahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, kemudian dijajah Jepang selama 3,5 tahun. Akan tetapi kemudian, dengan mengelola keberagaman tersebut dalam bingkai persatuan, tidak perlu waktu yang terlalu lama untuk mewujudkan kemerdekaan negara ini. Namun begitu, idiom bahwa merebut lebih mudah dari pada mempertahankan (baca: mengisi) kemerdekaan mutlak tidak boleh dikesampingkan. Terlebih, dewasa ini tantangan dan ancaman dalam mengisi kemerdekaan begitu beragam. Seperti diantaranya, semakin masifnya peredaran narkoba, praktik koruptif hingga memudarnya nilai toleransi antar sesama.

Selain itu, yang tidak kalah berbahanya menjadi ancaman dalam mengisi kemerdekaan negeri ini ialah masih adanya ancaman terorisme di negara ini. Terkait hal itu, paling tidak kita bisa berkaca dari kondisi Suriah yang porak poranda akibat pelbagai macam aksi teror yang dilakukan oleh Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Pun bisa berkaca dari negeri tetangga Filipina, keberadaan ISIS di Marawi hanya membuat warga sipil menjadi korban ketidakadilan. Tidak hanya harta benda yang dirampas oleh ISIS, akan tetapi nyawa penduduk sipil pun direnggutnya jika dianggap menentang ISIS. Maka dari itu masyarakat, khususnya para pemuda harus menjadi motor untuk merawat dan memperkuat basis kebhinekaan yang menjadi anugerah bagi negara ini. Jangan sampai, faktor kebhinekaan yang sesungguhnya dapat dimanfaatkan untuk mengoptimalkan kemajuan bangsa justru dimanfaatkan oleh pelaku terorisme untuk memecah belah dan menduduki bangsa ini.

Dalam konteks itu, seperti kita ketahui bersama bahwa pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Penanggulangan Terorisme telah membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Kedudukan BNPT kemudian dipertegas kembali melalui terbitnya Perpres Nomor 12 Tahun 2012 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 46 Tahun 2010. Berdasarkan perpres tersebut, salah satu tugas BNPT yakni menjadi leading sector yang mengkoordinasikan upaya pemberantasan terorisme di Tanah Air. Di sisi lain, jamak disadari bila selain berpotensi memperkuat persatuan bangsa, para pemuda sejatinya juga mempunyai potensi yang tak kalah besar dapat merusak tatanan bangsa, utamanya bila sudah terpapar oleh ideologi radikal. Fakta yang sulit dimungkiri mayoritas pelaku teror di negeri ini rata-rata masih berusia muda, bukan orang tua maupun anak-anak.

Karena itu, para pemuda bangsa dan BNPT seyogianya dapat berjalan beriringan dalam memberantas terorisme sekaligus dalam rangka merawat dan menjaga persatuan bangsa. Terlepas dari ancaman terorisme, pemuda hendaknya tetap memegang teguh nilai kearifan lokal (local wisdom) daerahnya masing-masing. Menukil pendapat Riyono (2009:7), kearifan lokal dapat diartikan sebagai kecerdasan manusia yang dimiliki oleh kelompok etnis tertentu yang diperoleh melalui pengalaman masyarakat. Bagi pemuda Jawa misalnya, harus memegang teguh tepo seliro, ojo nggugu karepe dhewe, dan menghindari hal-hal yang dianggap ora ilok.

Pemuda yang berasal dari suku lain tentu juga mempunyai kearifan lokal yang bersumber dari daerahnya masing-masing. Pada umumnya, semua kearifan lokal akan mengarah pada penguatan entitas masyarakat terkait agar terhindar dari pelbagai bentuk ancaman dari luar. Bila pemahaman kearifan lokal tersebut dikelola dalam bingkai kebhinekaan, sementara di sisi lain BNPT dapat menjadi leading sector dalam proses tersebut, terwujudnya persatuan bangsa yang jauh lebih kuat tentu bisa tercapai. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Sumarsih

Penulis adalah guru ngaji di masjid Al Amien Karangwuni, Kec Wates, Kab Kulonprogo, DIY. Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol), Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta. Aktif menulis di media cetak dan online.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

19 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

20 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

20 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

20 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago