Dalam diskursus keagamaan, para pengkaji agama pada umumnya memisahkan agama sebagai doktrin (religion) dan agama sebagai perilaku (religiosity) atau yang dipraktekkan oleh para penganutnya. Pemisahan ini penting dilakukan sebagai upaya untuk membedakan ajaran agama berdasarkan teks (kitab suci) dan pemahaman umat terhadap teks (implementasi teks).
Untuk yang pertama, agama diartikan sebagai seperangkat doktrin, kepercayaan, atau sekumpulan norma, dan ajaran Tuhan yang bersifat universal dan mutlak kebenarannya. Sedangkan yang kedua, berhubungan dengan penyikapan atau pemahaman para penganut agama terhadap doktrin, kepercayaan, atau ajaran Tuhan itu, yang tentu saja menjadi bersifat relatif, dan sudah pasti, kebenarannya pun menjadi bernilai relatif. Hal ini karena, setiap penyikapan terikat oleh sosio-kultural, dan setiap lingkungan sosio-kultural tertentu sangat mempengaruhi pemahaman seseorang tentang agamanya. Dari sinilah muncul, keragaman pandangan dan paham keagamaan.
Dalam pendekatan teologis, tidak bisa dipungkiri dan telah menjadi common sense bahwa setiap agama mempunyai kebenaran. Keyakinan mengenai yang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Dalam tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subyektif oleh setiap pemeluk agama. Ia tak lagi utuh dan absolut. Pluralitas manusia menjadikan wajah kebenaran itu tampil berbeda saat akan dibahasakan dan dimaknai.
Perbedaan ini tak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai latar belakang dan referensi yang diambil masing-masing komunitas keagamaan. Konsepsi ideal ini kemudian bergeser ke bentuk-bentuk normatif yang bersifat kultural. Dan inilah yang biasanya digugat oleh berbagai gerakan keagamaan pada umumnya. Karena mereka mengklaim telah memahami, memiliki, dan bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai-nilai suci itu. Keyakinan ini menjadi legitimasi dari semua perilaku pemaksaan konsep-konsep gerakannya kepada komunitas lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka.
Situasi ini pada akhirnya akan melahirkan apa yang disebut Armahedi Mahzar sebagai absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstrimisme, dan agresivisme. Absolutisme ialah kesombongan intelektual, ekslusivisme ialah kesombongan sosial, fanatisme ialah kesombongan emosional, ekstremisme ialah berlebih-lebihan dalam bersikap, dan agresivisme ialah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik. Dalam bahasa Ahmet T. Kuru disebut dengan mayoritarianisme agama atau penyalahgunaan otoritas keagamaan untuk memonopoli kebenaran.
Menyambut realita ini, ada sebuah renungan filosofis dari Jalaluddin Rumi. Menurut Rumi, kebenaran itu ibarat cermin yang terjatuh hingga pecah berkeping-keping. Kemudian tiap-tiap kita memungut satu pecahan yang berbeda-beda bentuknya. Tentunya, setiap pecahan cermin itu merefleksikan satu kebenaran yang sama. Namun, karena masing-masing kita hanya memegang satu pecahan, maka ia belum bisa menampilkan gambaran kebenaran yang utuh.
Upaya yang tepat untuk mendapatkan gambaran yang utuh adalah kita harus mengumpulkan atau meminjam pecahan cermin yang kita temukan masing-masing dan kemudian menggabungkannya. Dengan begitu, pantulan refleksi kebenaran akan lebih mendekati sempurna.
Selain itu, langkah efektif untuk mendapatkan kebenaran yang nyaris sempurna adalah kita harus rajin melakukan “studi banding” terhadap pemahaman orang yang berbeda dengan kita. Dengan begitu kebenaran kita akan semakin komplit. Karena, bisa jadi pemahaman yang kita yakini saat ini tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, pemahaman orang yang berbeda dengan kita bisa jadi tidak sepenuhnya salah.
Upaya yang tepat untuk mendapatkan gambaran yang utuh adalah kita harus mengumpulkan atau meminjam pecahan cermin yang kita temukan masing-masing dan kemudian menggabungkannya. Dengan begitu, pantulan refleksi kebenaran akan lebih mendekati sempurna.
Selain itu, langkah efektif untuk mendapatkan kebenaran yang nyaris sempurna adalah kita harus rajin melakukan “studi banding” terhadap pemahaman orang yang berbeda dengan kita. Dengan begitu kebenaran kita akan semakin komplit. Karena, bisa jadi pemahaman yang kita yakini saat ini tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, pemahaman orang yang berbeda dengan kita bisa jadi tidak sepenuhnya salah.
Teori Rumi menjawab keresahan tentang perebutan kebenaran yang rentan melahirkan konflik. Tetapi, tampaknya teori itu melahirkan pertanyaan baru.
“Artinya, di dalam Wahabi ada kebenaran? Atau bahkan di dalam ISIS ada kebenaran?”
Wahabi dan ISIS adalah salah dua dari banyak komunitas keagamaan yang gemar mengklaim kebenaran sepihak. Karakter beragama ini sangat destruktif karena menciderasi nilai-nilai toleransi di tengah iklim multikulturalisme. Namun, sejenak saya berpikir bahwa pertanyaan tersebut mempunyai perspektif yang kurang pas. Pertanyaan yang lebih tepat adalah “Mengapa ada fenomena Wahabi dan ISIS dalam dunia Islam?”
Jika merujuk pada teori Rumi, maka keduanya sedang memegang satu potongan cermin. Masalahnya, mereka langsung mengklaim bahwa potongan cermin yang mereka pegang itu adalah refleksi kebenaran yang utuh dan mutlak tanpa mencoba untuk merangkainya dengan potongan-potongan cermin yang lain. Kelompok konservatif itu sudah merasa paling benar sendiri melalui secuil potongan kebenaran dengan mengabaikan potongan-potongan lainnya.
Menurut Charles Kimball, seorang Guru Besar Studi Agama Universitas Oklahoma, fenomena itu masuk ke dalam salah satu gejala “When Religion Becomes Evil” (ketika agama menjadi petaka). Klaim kebenaran mutlak (absolute truth claim), menurut Kimball, berarti menafikan sama sekali kemungkinan kebenaran yang ada pada pihak lain.
Ketika ini terjadi, maka pada saat itulah agama telah menjelma menjadi bencana. Kimball mendeteksi bahwa ragam kekerasan atas nama agama yang terjadi selama ini kerap bermula dari adanya klaim kebenaran seperti itu.
Di sinilah kita perlu merenungkan nasihat Ibnu Arabi bahwa apabila terdapat satu juta manusia yang berusaha memahami Islam, maka akan ada satu juta potensi kebenaran pula. Dengan catatan, orang tersebut tidak mengikuti hawa nafsunya. Artinya, tidak boleh ada satupun manusia yang berhak memonopoli kebenaran. Tidak ada satupun manusia yang diperkenankan memaksakan pihak lain untuk bercermin melalui cerminnya sendiri.
Melalui Jalaluddin Rumi, ajakan untuk terus belajar untuk semakin dekat dengan kebenaran yang hakiki menjadi masuk akal. Dalam hemat saya, luaran dari konsep Rumi itu bukanlah untuk sampai atau mendapatkan sebuah kebenaran final yang sejati. Namun, konsep itu justru sebagai nasihat untuk terus memperdalam pengetahuan, bersikap terbuka pada semua gagasan, dan larangan untuk berhenti belajar.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…