Narasi

Pentingnya Mereduksi Dominasi Dakwah Radikal di Media Sosial

Dewasa ini, media sosial kita masih dibanjiri oleh dominasi dakwah radikal yang ingin terus menguasai wacana keislaman. Dakwah mereka tidak hanya menawarkan narasi ideologisnya, lebih dari itu mereka berusaha untuk mengajak kepada konversi iman. Oleh karena itu, penting untuk mereduksi kelompok fundamentalis ini dengan menguatkan harmoni antar umat beragama.  

Sejak tahun 2021, PBNU menyampaikan maklumatnya kepada Pemerintah untuk mentakedown akun-akun kelompok salafi Wahhabi di Indonesia. Menurut Kiai Said selaku mantan ketum PBNU, kelompok ini seringkali membikin gaduh media digital dengan provokasi, narasi radikal dan juga hoaks. 

Dari pernyataan kiai Said ini bisa ditarik kesimpulan bahwa terdapat kekhawatiran dari para tokoh agama, khususnya kalangan Islam moderat yang mulai melihat potensi persebaran narasi provokatif berbasis agama di ruang digital. Disinyalir berbagai aksi radikalisme di ruang publik, merupakan dampak tak langsung dari narasi agama yang bertebaran di ruang maya. 

Hal ini juga ditegaskan oleh Muhammad As’ad (2019), mengutip riset Setara Institute yang menyatakan bahwa di 10 Perguruan Tinggi Negeri, ceramah dan tulisan Felix Siauw jauh lebih diterima daripada ceramah ahli tafsir Al-Quran Profesor Quraish Shihab. Kita ketahui Felix Siauw adalah salah satu dedengkot Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi terlarang yang dibubarkan pemerintah pada 2017 lalu.

Kelompok radikal ini cukup berhasil menguasai pasar dakwah agama di media digital. Hal ini bisa kita lihat ketika search di google untuk kategori; balajar Islam, muslimah, hijrah dsb, pastinya konten teratas berasal dari media kelompok mereka. Kelompok yang cukup banyak memproduksi narasi dengan kemasan yang milenial.  

Dalam artikel berjudul The Conservative Turn in Indonesian Islam: Implications of the 2019 Presidential Election, Leonard C. Sebastian dan Andar Nubowo mengatakan bahwa keberhasilan Islam “eksklusif” dan konservatif seperti Felix Siauw dan kelompok hijrahnya tidak lain karena metode dakwah “smart” yang mereka terapkan sehingga bisa diterima oleh banyak kalangan terutama generasi milenial. Dakwah “smart” dicirikan dengan kekuatan selebritas para tokoh di belakangnya seperti Felix Siauw, dan penggunaan media sosial sebagai sarana marketing untuk menjangkau generasi milenial yang sadar teknologi, (Muh. As’ad, 2019).

Untuk itu, marketing dari para artis ternyata juga sangat mendukung mereka dalam proses infiltrasi narasi radikal kepada generasi milenial. Tagline #hijrah menjadi sangat ramai dalam kontestasi dakwah berbasis agama di media digital. Kelompok radikal cukup cerdas perihal mengolah narasi teks agama yang kemudian di-branding oleh para artis hijrah.  

Mereduksi Dakwah Radikal   

Sedangkan kelompok Islam moderat sendiri sebenarnya sudah memiliki cukup banyak media dakwah, seperti Alif.id, islami.co, iqra.id, arrahim.id, bincangsyariah.co, hidayatuna.co, islamsantun.org, Tsaqafah.co dan lain sebagainya yang sudah mulai menjadi benteng narasi radikal di media sosial. Namun, kontestasi media dakwah antara kelompok radikal dan moderat masih terus berlangsung hingga hari ini. 

Namun patut disyukuri konten media keislaman moderat yang disebut di atas sudah mulai memperbaiki kualitas kontennya dan semakin banyak memproduksi konten ramah dan moderat dengan mengajak seluruh kaum santri dan cendekia untuk meramaikan narasi dakwah di media sosial.  

Berkaitan dengan narasi dakwah di media, Zuhairi Misrawi (2020), duta besar Indonesia untuk Tunisia juga mengingatkan bahwa saat ini bukan eranya kualitas, tapi eranya kuantitas. Maka dari itu, penuhi konten media sosial dengan produk dakwah yang ramah. Dakwah moderat harus memiliki kuantitas yang lebih banyak daripada dakwah radikal, hal ini sebagai upaya untuk menggeser dominasi narasi radikal di ruang maya.  

Peneliti Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Hew Wai Weng (2015), dalam tulisannya tentang dakwah digital di Indonesia dan Malaysia mengatakan bahwa keberhasilan dakwah da’i milenial, harus meliputi setidaknya tiga aspek: estetika visual, menggunakan cara yang komunikatif (seperti forum tanya-jawab), dan strategi marketing yang mumpuni.

Menurutnya, dari tiga aspek di atas, tidak ada indikator kualitas agar dakwah bisa diterima oleh milenial. Boleh jadi secara kualitas, konten dakwah digital yang trending saat ini sangat jauh dibandingkan kelompok moderat. Tetapi secara estetika visual, strategi komunikasi dan marketing, dakwah milenial ala kelompok radikal lebih unggul sehingga jauh lebih menarik kalangan milenial. 

Akhirnya, penting kedepan bagi para da’i milenial dari kelompok moderat untuk semakin banyak memproduksi narasi ramah dan moderat di ruang maya. Sehingga nantinya mampu mereduksi dominasi narasi radikal yang masih menggelayut bebas di media sosial. Semoga.  

 

This post was last modified on 9 Oktober 2024 12:56 PM

Ferdiansah

Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago