Narasi

Persatuan bangsa : haruskah hanya karena ada musuh bersama?

Tidak berlebihan jika sila ketiga dasar negara Pancasila adalah Persatuan Indonesia. Historiografi persatuan sejak era nusantara hingga terbentuk dan pasca kemerdekaan NKRI ini menjadi penentu dan penjamin eksistensi bangsa. Kebhinekaan sebagai anugrah Tuhan kepada bangsa ini meniscayakan adanya persatuan. Tanpa spirit dan implementasi persatuan, NKRI hanyalah ilusi dan disintegrasi menjadi bom waktu.

Persatuan menjadi momok yang paling ditakuti musuh bangsa yaitu penjajah di era perjuangan kemerdekaan. Modernitas senjata dan intelektualitas penjajah tidak berdaya jika sudah berhadapan dengan persatuan berspiritkan nasionalisme. Oleh karenanya penjajah harus memutar otak menerapkan strategi adu domba atau devide et impera.

Seiring perjalanan bangsa pascakemerdekaan, eksistensi persatuan mengalami riak riak kecil sebagai penghalang. Beberapa kali terjadi pemberontakan atau separatisme dan konflik berbau SARA. Patut disyukuri semua rintangan dapat dilalui dengan baik. Bhinneka Tunggal Ika tetap terjaga.

Era demokrasi dan keterbukaan juga memberikan ujian berupa dinamika politik yang hangat. Dinamika ini sering mengarah pada pola polarisasi yang menghadap-hadapkan antar anak bangsa. Meskipun dalam dunia politik semua serba cair dan basisnya adalah kepentingan. Kedewasaan demokrasi terus diuji dengan tetap menempatkan spirit persatuan bangsa dan nasionalisme di atas segalanya.

Apapun itu kondisi kekinian dan masa mendatang penting diantisipasi dalam menjaga aktualisasi persatuan. Masyarakat mudah tersulut emosinya. Kelompok-kelompok juga mudah terprovokasi demi gengsi dan eksistensi. Hal yang wajar jika terbersit pertanyaan, apakah spirit persatuan bangsa memudar? Atau jika ditarik ke belakang terkait cerita heroik persatuan bangsa, wajar pula muncul pertanyaan, Apakah persatuan muncul hanya karena ada musuh bersama?

Persatuan tentu tidak seharusnya hanya ada karena musuh bersama. Tantangan terberat memang justru ada pada kondisi kondusif. Kondisi ini melenakan dan muncul celah kembali masuknya adu domba. Histori kebangsaan dan falsafah persatian penting didoktrinasi secara berkelanjutan kepada generasi masa kini.

Rekayasa memersatukan bangsa penting dilakukan jika memang dibutuhkan. Strategi menghadirkan sosok musuh bersama terbukti ampuh dalam mengikatkan tali persatuan. Tidak ada salahnya, bangsa ini kembali mengidentifikasi musuh-musuh bersama era kini. Musuh sekarang tentu bukan lagi negara, karena kolonialisme dan imperialisme sudah tamat. Akan tetapi terjadi metamorfosa bentuk, seperti dalam hal ekonomi dan ideologi.

Musuh bersama era kontemporer ini dapat dari internal maupun eksternal. Pertama adalah terorisme dan radikalisme. Dua hal ini sifatnya sudah global. Upaya identifikasi mesti tepat dan berkeadilan karena menyangkut stigma musuh bersama. Terorisme dan radikalisme mestinya tidak pandang agama, ras, suku, dan golongan. Definisinya juga umum, tidak hanya ditujukan kepada agama tertentu, misalnya Islam. Standar yang jelas penting diberikan sejak awal. Sedangkan dalam proses penanggulangan mesti bersifat proporsional dan profesional. Upaya pencegahan penting diprioritaskan. Seluruh komponen mesti bersatu dalam upaya tersebut. Sikap saling curiga penting diminimalisasi dan dikedepankan sikap praduga tak bersalah.

Kedua adalah korupsi. Korupsi sudah menjadi lingkaran setan di negeri ini. Transparency International Indonesia (TII) menyatakan Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (CPI) pada 2016 naik satu poin sebesar 37 dari angka tertinggi 100. Akan tetapi secara global, Indonesia menempati urutan ke-90 dari 176 negara yang diukur di dunia.

Kapan korupsi mulai menjangkiti hingga kronis tidak ada data pasti. Apapun itu semua anak bangsa mesti menyepakati bahwa korupsi adalah musuh bersama, Semua pihak penting bersatu memberantas hingga ke akar-akarnya.

Ketiga adalah kemiskinan. Sama seperti korupsi, kemiskinan juga membentuk lingkaran setan. BPS (2017) merilis jumlah masyarakat miskin di Indonesia mencapai 27,77 juta orang pada Maret 2017. Jumlah tersebut bertambah sekitar 10.000 orang dibanding kondisi September 2016 yang mencapai 27,76 juta orang.

Kemiskinan menjadi penyakit wajar di negara dunia ketiga seperti Indonesia. Era Orde Baru dengan konsep pembangunannya telah melebarkan jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin, antara desa dan kota, serta antara Jawa dan Luar Jawa. Penanggulangan kemiskinan sebagai musuh bersama membutuhkan kebersamaan semua pihak.

Ketiga musuh bersama di atas adalah prioritas yang dapat memicu dan memacu semua anak bangsa untu terus bersatu. Tentu masih banyak musuh yang dihadapi bangsa ini. Skala prioritas penting dilakukan guna optimalisasi pencapaian target dan sasaran.  Apapun itu persatuan adalah kebutuhan yang niscaya dan mesti terus terjaga.

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

23 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

23 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

23 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago