Narasi

Persaudaraan Adalah Inti Ajaran Islam

Hampir satu abad kita mengenal gagasan apartheid. Tepatnya pada tahun 1930 yang digagas oleh Jerman Hendrik Verwoerd di Afrika. Ia merupakan seorang kulit putih mengenal paham nasionalsosialisme dan terpengaruh kuat ideologi rasisme yang dilancarkan NAZI. Secara sederhana, gagasan apartheid mengusung orang-orang berkulit putih seperti Verwoerd memandang dirinya sebagai anggota kaum elit di benua hitam tersebut. Verwoerd dan partai nasionalisnya mendefinisikan apartheid sebagai perkembangan terpisah, antara kelompok yang diistimewakan dan yang dianggap lebih rendah.

Kini kita mengenal gagasan apartheid yang berlandasan agama. Konsep ini digagas negara Israel. Parlemen Israel baru saja mensahkan UU “Negara Bangsa Yahudi” yang dinilai sangat kontroversial oleh seluruh masyarakat dunia. UU ini tidak hanya menegaskan superioritas Yahudi, tetapi juga terdiskriminasi warga negara lain yang tinggal di negara tersebut. Termasuk salah satunya adalah menghapus bahasa Arab sebagai bahasa resmi.

Apa yang dilakukan negara Israel dengan menerbitkan UU tersebut telah mencederai kehadiran negara. Secara sederhana, negara hadir untuk mengayomi semua masyarakat yang ada di dalamnya, agar hidup secara damai dan berdampingan. Negara harus menjadi juru damai atas perbedaan yang ada di kehidupan masyarakat, serta tanpa menyeragamkan perbedaan yang ada di dalam masyarakat.

Israel seperti menanam bom waktu di tengah pergolakan negara-negara Timur Tengah dengan melandaskan UU “Apartheid” pada agama tertentu. Sebab, agama merupakan isu yang sangat sensitif terhadap aksi kekerasan. Bahkan dalam sejarah, peperangan atas nama agama yang paling banyak memakan nyawa dan mengubur harapan hidup lebih damai dalam perbedaan.

Saat agama sudah dianggap sebagai sebuah simbol dan ideologi untuk mendirikan sebuah negara. Dianggap hukum tersebut sempurna sebagai wahyu Tuhan dan dengan memikirkan ulang tidak diperkenankan. Bila ada orang yang berbuat semacam itu dikatakan sebagai kejahatan serius. Menurut mereka, pengubahan adalah penyimpangan dan penyimpangan merupakan dosa di mata Tuhan.

Lantas, negara-negara yang menerapkan agama sebagai ideologinya, mereka tidak hanya menerapkan hukum-hukum Tuhan secara ketat, tetapi menghukum keras semua yang mengajak pada perubahan. Bagi mereka, ini bukan soal kendati mencederai inti agama, tetapi yang terpenting adalah sistem politik. Tidak ada posisi karena ini adalah kehendak Tuhan yang tidak bisa diganggu. Tidak perlu jauh, pemerintahan dengan ideologi agama akhirnya akan mengarah pada otoritarianisme yang paling buruk.

Agama sebagai simbol (ritual) atau ideologi tidak menjadi masalah, tetapi akan menjadi masalah tatkala inti agama sudah terabaikan. Inti agama diperkosa demi kepentingan ideologi atau kelompok. Islam mendasarkan pada keadilan dan kesetaraan, keadilan semua lapisan semua lapisan lemah masyarakat dan kesetaraan bagi semua manusia, baik pria atau wanita. Kristen, pada sisi lain, mendasarkan pada cinta dan ma’af yang sangat penting bagi hubungan manusia. Sebagai agama Ibrahim, Yahudi juga melandaskan pada keadilan. Agama-agama India, Hinduisme menekankan universalisme dan toleransi. Janisme pada non-violence dan budhisme pada kasih sayang. Dan, kebenaran tentu saja, merupakan nilai-nilai bersamaan semua agama.

Jadi, nilai yang paling dasar dari setiap agama-agama ada tujuh (Asghar Ali Engineer: 2004); yakni kebenaran, non-violence, keadilan, kesetaraan, kasih sayang, cinta dan toleransi. Jika umat manusia bisa menjalankan ketujuh nilai ini, ia akan menjadi orang yang paling agamis dan terbaik dari umat manusia.

Apakah kebenaran itu? Kebenaran bukanlah semata-mata persesuaian dengan kenyataan, kendati itu juga hal yang paling mendasar, tetapi lebih dari itu semua. Kebenaran mengejawantahkan dalam dimensi spiritual. Kebenaran disyaratkan kepada spiritual dan transendensi. Seseorang yang mencintai kebenaran sebagai nilai, ia tidak akan puas dengan kebenaran itu. Ia akan selalu mengembangkan kebenaran itu bagaimana baiknya. Jadi kebenaran memiliki dimensi kesempurnaan spiritual.

Lantas, seseorang yang menjalankan kebenaran hendaknya tidak merasakan puas dengan apa yang ada, karena masih jauh dari kesempurnaan. Tuhan adalah kebenaran, dan kebenaran adalah Tuhan (dalam tradisi Islam, huwa al haq: dialah kebanaran itu). Tepatnya, ia yang Maha Esa. Dengan demikian, seseorang yang mencari kebenaran, sesungguhnya mencari kebenaran moral dan etika. Siapapun yang secara moral dan etika tidak sempurna berarti memiliki langkah belum tepat. Seorang yang beragama sejatinya berusaha menyempurnakan moral dan senantiasa dalam pencarian kebenaran, yang berarti mencari pengetahuan yang lebih tinggi. Dan, untuk nilai-nilai lainnya tidak perlu dijelaskan, ini karena nilai-nilai tersebut sudah jelas tanpa penjelasan.

Lahirnya kebijakan ini jelas bertentangan dengan HAM dan semangat agama yang menolak superiotas etnik dan bangsa tertentu. Agama tidak hanya menjadi semangat menolak rasisme tetapi juga meneguh persaudaraan. Indonesia tentu menjadi contoh negara multikultural yang sangat baik di mana perbedaan dan keragaman etnik, bahasa, agama dan bahasa berdiri sejajar dengan ikatan persaudaraan kebangsaan. Agama menjadi pengikat persaudaraan, bukan menjadi sekat antar warga negara.

 

Ngarjito Ardi

Ngarjito Ardi Setyanto adalah Peneliti di LABeL Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

1 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

1 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

1 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago