Muslim yang satu dengan muslim lainnya laksana tubuh yang tunggal. Satu anggota tubuh sakit, yang lain turut merasakannya. Juga laksana komponen bangunan yang saling menguatkan. Di antara mereka, tidak boleh saling menyakiti, baik secara lisan maupun perbuatan. Tak elok saling menghinakan atau mencap negatif pada saudaranya yang lain. Rasulullah Saw mengingatkan: “Seorang muslim adalah bersaudara dengan muslim lainnya. Ia tidak boleh menganiayanya dan menghilangkan keselamatannya.” (HR. al-Bukhari).
Pun, ketika di antara mereka mengalami musibah atau kesulitan dalam kehidupannya, saudaranya yang semestinya turut bergotong-royong memikul dan meringankan bebannya. “Siapa tidak peduli pada persoalan kaum muslim, maka dia bukan golongan kami,” demikian ancam Rasulullah Saw (HR. al-Thabrani). Kendati status validitas Hadis ini dinilai lemah oleh sebagian ulama, namun ancaman ini tidak main-main. Di sinilah sejatinya persaudaraan dan keutuhan sebagai keluarga itu akan benar-benar terbukti.
Dan sebagai saudara, tidak semestinya persoalan yang terjadi di antara mereka diabaikan begitu saja tanpa penyelesaian melalui cara-cara yang elegan. Semua pihak harus terlibat memberikan jalan tengah bagi persoalan itu. Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.” (Qs. al-Hujurat: 10).
Namun tampaknya, tali persaudaraan ini tidak lagi sekukuh idealitas dan harapannya. Kini, hanya karena perbedaan yang kecil dan bahkan sepele, kita sebagai keluarga muslim saling sikut, tonjok-tonjokan dan ribut sendiri. Beda pilihan politik, kita menggadaikan kerukunan sebagai keluarga. Beda mazhab keagamaan, juga menjadi alasan kita untuk saling membenci dan menghinakan. Beda organisasi keagamaan, juga menjadi pembenar untuk melakukan tindakan permusuhan. Tak jarang, ungkapan-ungkapan pengafiran begitu mudah disematkan pada mereka yang berbeda. Inilah yang oleh Nashr Hamid Abu Zaid disebut sebagai al-takfir fi zaman al-tafkir (pengafiran di zaman pemikiran).
Memang benar, frekuensi pengafiran itu kian hari kian mengkhawatirkan saja, terutama yang dilakukan oleh kelompok-kelompok hard liner hanya karena perbedaan cara pandang terhadap keberagamaan. Namun sejatinya, sejak awal pengafiran ini sudah terjadi, termasuk yang menimpa Khalifah Ke-4, Ali bin Abi Thalib, yang dilakukan oleh kelompok teologi Khawarij (yang tidak setuju dengan Ali dan Mu’awiyah). Tokoh-tokoh muslim kelas dunia setelah menantu Nabi itu juga banyak yang dikafir-kafirkan, hanya karena perbedaan pandangan keberagamaan. Saat ini, bahkan karena perbedaan pilihan politik, perbedaan penafsiran tentang satu dua ayat, cap kafir lantas begitu mudah disematkan.
Dan rupanya jauh-jauh hari Rasulullah Saw telah menangkap potensi terjadinya lontaran cap kekafiran pada sesama muslim ini. Beliau menyadari, betapapun pemahaman keagamaan itu bisa beragam dan menjadi rahmat, namun nyatanya potensial menimbulkan claim saling mengafirkan. Ini sebabnya, beliau berkali-kali mewanti-wanti pada umatnya untuk tidak mudah mencap pelafal la ilaha illa Allah sebagai kafir, hanya karena perbedaan yang artifisial belaka.
Misalnya, beliau mengingatkan: “Apabila seseorang mengafirkan saudaranya, maka salah satu dari keduanya akan tertimpa kekufuran.” (HR. Muslim). Dalam sabdanya yang lain: “Siapa berkata kepada saudaranya, “hai orang kafir,” maka kata itu akan menimpa salah satunya. Jika benar apa yang diucapkan (berarti orang yang dituduh menjadi kafir); jika tidak, maka tuduhan itu akan menimpa orang yang menuduh.” (HR. Muslim).
Juga dikatakannya: “Siapa berkata kepada saudaranya ‘Wahai Kafir’, maka sungguh perkataan itu kembali kepada salahsatunya.” (HR. al-Bukhari dari Abdullah bin Umar). “Tidaklah seseorang menuduh kepada orang lain dengan kefasikan (dosa besar) atau dengan kekufuran, kecuali tuduhan itu kembali kepada penuduh, jika yang dituduh tidak sesuai dengan tuduhannya.” (HR. al-Bukhari dari Abu Dzarr).
Apa yang disampaikan Rasulullah Saw itu tentu saja baru beberapa yang dikutipkan di sini. Ini mengisyaratkan bahwa cap atau tuduhan kafir pada saudara muslim yang setia melafalkan la ila ha illah baik di mulut maupun di hatinya, bukanlah tindakan sepele. Ini serius dan karenanya mesti diperingatkan jauh-jauh hari. Apa pasal? Syeikh al-Qasthalani menyatakan: “Jika yang menuduh itu benar, maka orang yang dituduh adalah kafir. Namun jika penuduh itu dusta, maka penuduh itu telah menjadikan iman sebagai kekufuran. Siapa menjadikan iman sebagai kekufuran, maka ia telah kafir.”
Di zaman yang semakin gaduh dan semrawut ini, umat Islam semestinya kembali pada ajaran luhur Rasulullah Saw. Tidak semestinya mereka mudah mencap kekafiran hanya karena perbedaan. Cap-mencap inilah yang akan memperburuk relasi keislaman yang laksana rumah, tubuh yang satu ataupun bangunan. Jangan sampai, karena perilaku kita yang jauh dari teladan Rasulullah Saw, rumah yang semestinya nyaman ditinggali menjadi neraka, tubuh menjadi sakit semua dan bangunan justru runtuh. Janganlah kita mengoyak tubuh kita sendiri; tubuh yang semestinya kita sayangi lahir-batin dan kita rawat dengan baik. Yuk, kita kedepankan persaudaraan, bukan pengafiran!
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…