Kebangsaan

Pesta Rakyat dan Tafsir Lokalitas dalam Menjaga Imajinasi Kolektif Satu Bangsa

Setiap bulan Agustus, bangsa Indonesia seolah menemukan denyut kebersamaannya kembali. Dari istana hingga gang sempit di kampung, dari alun-alun kota hingga halaman rumah, rakyat Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan dengan caranya masing-masing.

Ada yang menggelar upacara khidmat, ada yang mengadakan lomba panjat pinang dan balap karung, ada pula yang menyajikan tumpengan atau slametan syukur. Semua ini bukan sekadar pesta rakyat; ia adalah ritual kebangsaan yang menjaga imajinasi kolektif kita sebagai satu bangsa.

Dalam perspektif antropologi, ritual berfungsi sebagai sarana memperkuat identitas bersama. Antropolog Victor Turner menyebutnya sebagai communitas, yaitu momen ketika perbedaan sosial melebur dalam suasana kebersamaan. Pesta rakyat 17 Agustus bekerja seperti itu. Ia menyatukan pejabat dan rakyat, tua dan muda, kaya dan miskin dalam satu bingkai perayaan.

Perlombaan sederhana yang digelar di kampung sering kali memiliki makna lebih dalam dibanding seremoni kenegaraan. Balap karung, misalnya, bukan sekadar ajang tertawa; ia menyimbolkan kesetaraan, sebab semua peserta berlomba dengan keterbatasan yang sama. Begitu pula panjat pinang, yang menggambarkan gotong royong, kerja keras, dan solidaritas untuk meraih tujuan bersama. Dengan kata lain, pesta rakyat adalah tafsir budaya dari rasa syukur atas kemerdekaan, yang dihidupkan melalui simbol dan ekspresi lokal.

Imajinasi Kolektif yang Harus Dijaga

Benedict Anderson dalam bukunya Imagined Communities menyebut bangsa sebagai sebuah “komunitas terbayang.” Artinya, bangsa terbentuk bukan karena semua anggotanya saling mengenal, tetapi karena mereka berbagi narasi, simbol, dan memori bersama. Perayaan kemerdekaan setiap Agustus adalah mekanisme sosial yang terus-menerus memperbarui imajinasi kolektif itu.

Jika ritual ini hilang, bangsa akan kehilangan ruang bersama untuk merayakan identitasnya. Yang tersisa hanyalah ikatan formal dalam administrasi negara. Karena itu, pesta rakyat bukanlah sekadar hiburan musiman, melainkan jembatan yang menjaga keberlanjutan rasa kebangsaan lintas generasi.

Yang menarik, pesta rakyat di Indonesia selalu lahir dari tafsir kebudayaan lokal. Di beberapa daerah, syukuran kemerdekaan dirayakan dengan slametan, di tempat lain dengan parade budaya, sementara di kota-kota besar masyarakat memilih konser musik atau karnaval modern. Semua tafsir itu sah, karena intinya sama: merayakan kebersamaan dan syukur atas kemerdekaan.

Inklusivitas inilah yang membuat ritual kebangsaan Indonesia berbeda dari sekadar seremoni formal. Ia memberi ruang bagi tiap daerah untuk mengekspresikan nasionalisme dengan bahasa budayanya sendiri. Inilah wajah Pancasila yang hidup: persatuan dalam keberagaman.

Menjaga Makna, Bukan Hanya Seremoninya

Tantangan di era digital adalah bagaimana menjaga agar pesta rakyat tidak berhenti sebagai acara seremonial, tetapi tetap mengandung makna. Generasi muda yang tumbuh dengan budaya digital perlu dilibatkan bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga kreator. Konten kreatif di media sosial tentang kemerdekaan bisa menjadi bentuk baru dari ritual kebangsaan, yang memperluas imajinasi kolektif hingga ke ruang virtual.

Kemerdekaan hakiki bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga merdeka dalam menjaga persatuan dan merawat memori kebangsaan. Setiap kali bendera merah putih dikibarkan, setiap kali rakyat tertawa bersama dalam lomba 17-an, bangsa ini sedang meneguhkan kembali jati dirinya.

Penutup

Pesta rakyat 17 Agustus adalah ritual kebangsaan yang melampaui waktu. Ia bukan sekadar kenangan masa lalu, melainkan janji untuk masa depan. Di tengah tantangan globalisasi, digitalisasi, dan krisis identitas, pesta rakyat menjadi jangkar yang meneguhkan kita: bahwa Indonesia adalah rumah bersama yang harus terus dirawat.

Maka, mari kita jaga pesta rakyat bukan hanya sebagai tradisi tahunan, tetapi sebagai semangat menjaga imajinasi kolektif kita sebagai satu bangsa. Karena di sanalah, kebersamaan kita sebagai Indonesia menemukan makna yang sesungguhnya.

Hana

Recent Posts

Anak di Peta Digital: Merebut Kembali Ruang Bermain dari Ancaman Maya

Dalam rentang dua dekade, peta dunia anak-anak telah bergeser secara fundamental. Jika dahulu tawa dan…

14 jam ago

Bangsa Indonesia Tidak Boleh Merasa “Menang” dari Aksi Teror

Sejak awal dipublikasi pada 2023 hingga hari ini, narasi zero terrorist attack memang tidak bisa…

14 jam ago

Teror tanpa Bom : Ancaman Sunyi Melalui Soft Propaganda

Perubahan signifikan tengah terjadi dalam lanskap gerakan terorisme di Indonesia. Jika pada dua dekade pertama…

14 jam ago

Bagaimana Roblox sebagai Socio-Digital Bisa Menjadi Begitu Mencekam?

Pada Januari 2025, seorang pria bernama James Wesley Burger menggunakan Robloxuntuk secara terbuka menyiarkan ancaman…

2 hari ago

Kewaspadaan Kolektif: Menjaga Fondasi NKRI dari Terorisme Digital

Laporan Global Terrorism Index (GTI) 2024 yang menempatkan Indonesia pada status zero attack selama dua…

2 hari ago

Dari Warhammer ke Roblox; Visualisasi Ekstremisme di Semesta Gim Daring

Isu terkait penggunaan gim daring (online game) sebagai sarana terorisme sebenernya bukan hal baru. Maka,…

2 hari ago