Generasi bangsa menjadi aset paling berharga bagi negara. Karena generasi bangsa sebagai aset, maka perlu pengelolaan dan penjagaan. Masyarakat dan pemerintah memiliki kewajiban menjaga serta membentengi generasi bangsa dari serangan doktrin radikalisme. Jangan sampai generasi bangsa terjangkit paham radikalisme. Bagaimanapun caranya, apapun usahanya, radikalisme harus dilawan bersama-sama.
Radikalisme terjadi karena ada pedangkalan terhadap dalil-dalil jihad. Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatha Ad Dimyati Asy-Syafi’i berpendapat soal jihad dalam kitab ‘Hasyiyah ‘Ianatut Thalibin’, “Kewajiban jihad adalah wasilah (perantara) bukan tujuan, karena tujuan perang adalah memberi hidayah atau petunjuk kebenaran. Oleh sebab itu membunuh orang-orang kafir bukanlah tujuan yang sebenarnya, sehingga seandainya hidayah bisa disampaikan dan dihasilkan dengan menunjukan dalil-dalil tanpa perang, maka hal ini lebih utama daripada peperangan”. Pemikiran Sayyid Bakri ini perlu dicerna para pengelora jihadis radikal. Umat Islam jangan mudah dicekokin dalil-dalil perang yang salah tempat dan konteksnya.
Saat ini generasi bangsa memang darurat doktrin radikalisme. Masyarakat perlu waspada dengan fenomena serangan doktrin radikalisme. Perlu diketahui masyarakat jangan mau kalau diiming-imingi surga dengan cara jihad mereka. Banyak orang yang menjadi korban pengantin ISIS. Pengantin yang dimaksud adalah orang yang dijadikan target pelaku bom bunuh diri. Pelaku bom bunuh diri adalah korban cuci otak dan iming-iming mati sahid karena jihad fisabilillah dengan pengeboman.
Baca Juga : Spiritualisme Versus Radikalisme
Abdul Rahman Ayub, mantan penasihat Jemaah Islamiyah (JI) yang mengaku telah mendoktrin banyak orang di Indonesia, Malaysia, Filipina dan Australia. Abdul Rahman Ayub bergabung JI pada 1993 dan keluar pada tahun 2004. Abdul Rahman Ayub mengatakan bahwa pola doktrin yang diterapkan beberapa kelompok radikal seperti Negara Islam Indonesia atau DI/TII memiliki tiga tahapan.
Tahapan pertama dilakukan selama 20 menit, yaitu dengan membangkitkan nostalgia kejayaan Islam di era Kekhalifahan. Pemerintahan Islam terakhir runtuh pada Kekhalifahan Ottoman di Turki tahun 1929.
Tahapan kedua dilakukan selama 30 menit, yaitu menampilkan tontonan kekejaman Yahudi dan Amerika Serikat. Termasuk serangan AS di Irak dan Afganistan serta penjara Guantanamo.
Tahapan ketiga dikenal sebagai tahap pendalilan dilakukan selama 10 menit, yaitu menyampaikan dalil-dalil dalam Al-Qur’an dan Hadist sesuai pemahaman mereka untuk menimbulkan keinginan berjihad. Dalam tahap pendalilan disampaikan soal hukumnya jika tidak ikut jihad, soal jemaah dan terakhir adalah soal mati syahid.
Di era media sosial pola doktrin radikalisme semakin efektif dan efisien. Saat ini ISIS benar-benar memanfaatan medsos sebagai media doktrin secara online. Jangkauan doktrin online disesuaikan dengan jangkauan sinyal internet. Fitur-fitur medsos sangat membantu tiga tahapan doktrin yang umum digunakan kaum radikal.
Narasi-narasi pendalilan yang menjerumuskan keranah radikal kini bertebaran di medsos. Dalil jihad dikutip, lalu diramu dengan suatu kasus tertentu supaya menarik warganet untuk jihad. Bukan itu saja, di medsos juga sering disajikan foto sama video keberanian kaum jihadis. Hal ini supaya mereka diakui memiliki digdaya.
Melawan doktrin secara online juga harus secara online. Salah satu cara mematahkan doktrin radikalisme online adalah dengan cara memberikan pemahaman yang pas soal Islam di medsos. Pasalnya selama ini upaya melawan kaum radikal seperti ISIS hanya membongkar kekejamannya. Sudah saatnya di medsos melawan kaum radikal dengan mematahkan pendalilannya, terutama mematahkan dalil kekerasannya.
Pertanyaannya, apakah para pengguna medsos sadar pola doktrin online? Tentu mereka sering terbuai dengan postingan-postingan manis kaum radikal. Emosional mereka sering terpancing ketika disuguhkan video provokasi penindasan umat Islam. Terkadang video itu hoaks atau video lama yang sengaja digunakan menyulut api jihad. Model-model doktrin seperti inilah perlu disadari, dipahami dan harus dilawan di medsos.
Perlu kita pahami bersama bahwa beragama harus dibarengi dengan ilmu. Jangan sampai kita beragama dengan nafsu. KH. A. Mustofa Bisri atau kerap disapa Gus Mus menyatakan, “Bagaimana membedakan antara ghirah keagamaan atau semangat keberagamaan dengan nafsu? Ghirah keagamaan atau semangat keberagamaan mendorong untuk terus memperdalam pemahaman agama dan memerkuat keimanan. Sementara nafsu hanya melahirkan fanatisme buta yang justru menjauhkan akal sehat yang diperlukan untuk beragama dengan baik”.
Peryataan Gus Mus ini menjadi teguran kita bersama, apakah kita beragama sesuai ghirah apa beragama cuma karena nafsu. Kalau beragama dengan nafsu maka kita akan mudah didoktrin radikalisme via medsos. Doktrin via medsos sejatinya memang membangunkan semangat beragama dengan nafsu. Nafsu apa yang dibangun? Misalnya nafsu jihad yang beradiah mati sahid. Setelah mati sahid langsung masuk surga dan berkumpulkan serta dilayani para bidadari. Konsep seperti ini kan beragama dengan nafsu. Maka beragama wajib memperdalam dan memperluas pemahaman agamanya supaya tidak mudah didoktrin kaum radikalisme.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments