Radikalisme bukanlah fenomena baru dalam sejarah bangsa Indonesia. Bibit dari gerakan yang mencita-citakan berdirinya negara khilafah ini telah ada, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Bukan hanya itu, gerakan ini sempat memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1949 di bawah kepemimpinan Kartosuwiryo. Hingga hari ini, gerakan radikalisme terus menyebarkan pengaruhnya secara masif, bukan hanya pada masyarakat awam, tapi juga pada masyarakat terpelajar di berbagai instansi pendidikan. Fenomena ini tidak bisa anggap remeh jika kita benar-benar mengidealkan tatanan masyarakat yang aman, tentram, dan damai.
Ada suatu fakta yang menarik, bahwa ternyata mereka yang terjerumus dalam jurang radikalisme adalah mayoritas orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama. Tentu belum lekang dari ingatan kita nama-nama seperti, Imam Samudra, Nurdin M. Top, dan Azahari Husin. Mereka adalah orang yang paling bertanggungjawab atas peristiwa bom Bali yang sempat menggegerkan masyarakat Indonesia. Yang pertama memiliki latar belakang dalam bidang komputer, yang kedua lulusan akuntansi, sedangkan yang ketiga adalah pengajar di Universitas Teknologi Malaysia (tirto.id/11/08/2016). Pun demikian dengan jaringan terorisme internasional; mayoritas aktor peristiwa 11 September berasal dari orang-orang dengan latar belakang pendidikan ilmu alam.
Pentingnya mengungkapkan fakta di atas bukan karena penulis ingin mendiskreditkan disiplin ilmu tertentu, melainkan ingin menunjukkan bahwa orang yang terpapar radikalisme seringkali justru karena ia tidak begitu dalam (radix) memaknai ajaran agamanya. Bagi mereka, beragama cukup hanya dengan memahami ajaran lahiriahnya tanpa harus mencari maknanya lebih dalam.
Dalam tataran lahiriah agama, kita selalu dihadapkan dengan dikotomi-dikotomi yang, jika itu dijadikan pedoman, dapat memecah belah umat manusia. Ambil, misalnya, dikotomi kafir-muslim atau muslim dan non-muslim. Dikotomi yang demikian telah membuat umat manusia saling mengasingkan (the othering) satu sama lain. Lebih buruk lagi, akhir dari sikap saling mengasingkan ini dapat berujung pada pertumpahan darah. Dikotomi-dikotomi yang ada dalam dimernsi lahiriah agama, bisa tidak relevan jika kita berpijak pada dimensi batiniahnya.
Baca Juga : Islam, Tradisi Nusantara, dan Indoktrinasi Radikalisme
Bisa dikatakan bahwa semua ajaran memiliki dimensi lahiriah dan batiniah. Dalam Islam sendiri, khazanah yang memfokuskan kajiannya pada dimensi batiniah agama dikenal dengan sebutan “tasawuf”, “mistisisme Islam”, atau “spiritualisme Islam”. Khazanah ini tidak begitu terpaku pada dikotomi identitas. Sebaliknya, dalam tasawuf kita akan menjumpai ajaran yang sarat dengan nilai-nilai universal, salah satunya adalah cinta (mahabbah).
Tidak tanggung-tanggung, beberapa tokoh sufi seperti Ibn ‘Arabi berani mengkalaim bahwa cinta adalah inti dari agama. Klaim Ibn ‘Arabi tersebut tidak bisa dipandang remeh mengingat tidak satu pun agama yang tidak mengkampanyekan cinta. Islam sendiri, melalui sabda Nabi Muhammad, dengan tegas mengatakan bahwa orang tidak bisa disebut beriman selama ia tidak mampu mencintai sesama manusia seperti ia mencintai dirinya sendiri.
Khazanah spiritualisme inilah yang tidak pernah disentuh kaum radikal ketika mereka belajar agama. Kita juga bisa menyimpulkan bahwa mereka yang jatuh pada jurang radikalisme adalah orang-orang yang mengalami kekeringan spiritual. Agama di tangan mereka terperangkap dalam simbol dan identitas. Oleh karena itulah perjuangan mereka, yang diklaim atas nama agama, adalah perjuangan demi identitas kelompok mereka sendiri, bukan demi kemanusiaan sebagaimana yang diajarkan oleh hampir semua agama.
Selanjutnya, pemerintah hari ini diharap mampu memberikan perhatian lebih pada pendidikan agama kita. Tentu bukan hanya pemerintah, para pemuka agama pun sudah seharusnya mengganti wacana yang sarat dengan dikotomi identitas dengan wacana spiritualisme yang sarat dengan nilai-nilai universal. Memang, menanamkan ajaran spiritualisme ditengah-tengah masyarakat bukanlah satu-satunya cara dalam menangkal radikalisme, namun ia adalah salah satu cara yang paling memungkinkan.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
View Comments