Narasi

Puasa dan Nostalgia Atas Surga

Dalam The Myth of the Eternal Return, Mircea Eliade menelisik dengan detail perilaku keberagamaan seseorang. Pemaknaan final atas teks dan wahyu, bagi Eliade, akan berindikasi pada praktik ‘tak elok’ penganut agama. Buktinya, respon sempit yang tak jarang menelurkan anarki, kekerasan, dan konflik, memang banyak ditampakkan oleh mereka yang mendaku diri sebagai ‘jihadis’. Populerlah istilah ‘terorisme’—terutama sejak serangan 11 Septermber 2011 silam di New York—yang mafhum dikait-identikkan dengan doktrinasi agama.

Kronik sejarah tentang narasi agama dan terorisme ini bak jamur di musim hujan: begitu subur dan selalu bermunculan. Agama, dengan berdasar pada interpretasi kenyataan sosial, selalu terjerumus pada kubangan stigma negatif. Segenap tindakan teror, pengeboman, dan anarki, tampak seperti kaca benggala atas doktrinasi agama. Meski logika berpikir ini keliru, tetapi, sebagaimana beberapa kasus kekerasan berkedok agama yang tak henti-henti hingga kini, kesimpulan bahwa ‘agama adalah instrumen terorisme’ nyaris seperti benar.

Padahal, jauh-jauh hari, John L. Esposito (2002) memaknai jihad bukan sekadar praktik menghancurkan. Dalam Unholy War, Terror In the Name of Islam, Esposito menafsir jihad sebagai usaha dan kerja keras untuk menyebarkan pesan-pesan agama dengan damai. Pada bagian ini, aksi teror yang dilakukan oleh umat beragama, salah satunya, disebabkan oleh kaburnya tafsir mereka atas terminologi jihad. Bagi mereka, jihad sekadar usaha memberangus atas dasar perang suci. Tafsir ini, bila dikaji lebih dalam, terlihat egoistik dengan menempatkan agama begitu eksklusif-doktrinal: sangat tertutup dan berusaha mengklaim kejayaan agama dengan perang, berlandaskan “kerinduan akan masa lalu”.

Bagi Eliade, “kerinduan akan masa lalu” itu disebut dengan istilah Eternal Return. Pada titik ini, secara tidak langsung, “rindu masa lalu” menumbuhkan inisiasi untuk menegakkan kejayaan agama melalui jihad. Sampai kini, Eternal Return ini menjadi frame praktik ‘barbar’ yang dilakukan teroris. Padahal, masa lalu tidak membenarkan kekerasan dengan begitu saja.

Terorisme, dalam kajian disiplin sosial, adalah kekerasan luar biasa (extra ordinary crime) yang menghancurkan batas-batas kemanusiaan. Kecintaan kepada sesama menjadi nihil akibat totalitas kecintaan akan kematian untuk menghadap Tuhan. Erich Fromm (1900-1980) menyebut tindakan ‘cinta mati’ yang dilakukan kaum teroris sebagai “nekrofilia”. Menurut Fromm, dorongan nekrofilia (cinta mati) lahir akibat situasi sosial yang melingkupi kehidupannya. Situasi sosial yang tanpa norma (anomik)—meminjam istilah Emile Durkheim (1858-1917)—juga menjadi penyebab lahirnya ide “kecintaan akan kematian”.

Atas dasar itulah, pentingnya menampilkan kecintaan atas sesama yang terajut melalui sikap saling menghargai, toleransi, dan menghormati perbedaan, sangat terdesak untuk diwujudkan, terlebih melalui momentum Bulan Ramadhan kali ini. Puasa sebagai manifestasi ibadah Bulan Ramadhan sebenarnya tidak hanya menyimpulkan kaidah teologi-eskatologi saja, tetapi juga kaidah kemanusiaan. Ramadhan sebagai bulan cinta kasih (rahmat) dan ampunan (maghfirah) semestinya tidak sekadar dimaknai sebagai kesalehan berketuhanan, tetapi tidak kalah penting, juga sebagai kesalehan sosial yang menempatkan prinsip agama di tengah universalitas kemanusiaan.

Dalam sebuah kisah, suatu waktu, Rasulullah berucap di hadapan para prajuritnya usai kemenangan Perang Badar, “kita baru saja kembali dari perang kecil, dan akan menuju perang terbesar, yakni perang melawan nafsu dan ego (puasa)”. Secara simplisit, Rasulullah berusaha menyadarkan umat muslim, bahwa ada hal ihwal yang lebih besar kesempurnaannya ketimbang perang, yakni usaha menahan nafsu fisikal dan ego individual. Puasa selalu bermakna mengendalikan. Makanya, mengendalikan paham eksklusifis agama sebagai salah satu episentrum paham terorisme akan menemukan juntrungnya di Bulan Suci ini.

Begitulah. Semangat kaum “jihadis” yang rela mengorbankan hidupnya selalu berlandaskan pada—seperti disebut Mircea Eliade—“nostalgia atas surga”. Padahal, klaim atas surga murni kuasa Tuhan. Memuliakan makna ketuhanan juga bisa dilakukan dengan memuliakan prinsip kemanusiaan. Puasa, sebagaimana disebut Kuntowijoyo, memiliki dimensi profetik yang mencakup 3 prinsip: humanisasi, liberasi, dan transendensi. Humanisasi berarti kemanusiaan, liberasi berarti pembebasan dari belenggu kesesatan, dan transendensi berarti ketuhanan. Makanya, berpuasa adalah usaha mengubah “nostalgia atas surga” menjadi “nostalgia atas cinta”. Dengan cinta, perbedaan dan kemajemukan menjadi anugerah, kejumudan akan menjadi elegan. Semoga.

This post was last modified on 17 Juni 2016 9:42 AM

Muchlas Jaelani

Pengelola Taman Baca Masyarakat Hasyim Asy’ari, Bantul. Sering menulis di media cetak dan daring. Staf peneliti pada Institute for HumanKind and Social Studies Yogyakarta

Recent Posts

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

18 jam ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

18 jam ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

18 jam ago

Riwayat Pendidikan Inklusif dalam Agama Islam

Indonesia adalah negara yang majemuk dengan keragaman agama, suku dan budaya. Heterogenitas sebagai kehendak dari…

2 hari ago

Hardiknas 2024: Memberangus Intoleransi dan Bullying di Sekolah

Hardiknas 2024 menjadi momentum penting bagi kita semua untuk merenungkan dan mengevaluasi kondisi pendidikan di…

2 hari ago

Sekolah sebagai Ruang Pendidikan Perdamaian: Belajar dari Paulo Freire dan Sekolah Mangunan Jogjakarta

Bila membicarakan pendidikan Paulo Freire, banyak ahli pendidikan dan publik luas selalu merujuk pada karya…

2 hari ago