Narasi

Ramadhan Sebagai Sarana Pendidikan Toleransi pada Anak

“Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-baqarah: 183).

Esensi terdalam dari ibadah puasa adalah mampu menjadi pilar pendidikan terbaik yang ditransformasikan oleh orang tua kepada anak. Akualisasi pendidikan karakter anak dibangun melalui sarana ibadah puasa sekaligus menghalau tumbuh suburnya pendidikan yang berorientasi terhadap nilai (kognitif) semata.

Menjalankan ibadah puasa adalah wajib bagi setiap umat Islam. Datangnya bulan suci Ramadhan membawa spirit untuk berbenah diri (muhasabah), merengkuh keberkahan, dan meningkatkan amal ibadah guna memperoleh keridaan dari Allah SWT. Yang paling penting adalah esensi berpuasa sejatinya mampu memperkokoh keimanan seseorang dari godaan hawa nafsu. Secara sosial, puasa mampu memperteguh rasa simpati dan empati terhadap sesama manusia, khususnya bagi mereka yang membutuhkan.

Inilah esensi berpuasa yang dijadikan sebagai pilar pendidikan sekaligus teladan bagi anak-anak utuk melakukan perbuatan baik melalui kegiatan puasa Ramadhan. Melalui pembiasaan yang baik, anak-anak digiring untuk meniru dan mengaktualisasikannya. Dalam pandangan Ibnu Miskawih, akhlak anak dibentuk melalui kebiasaan, latihan, dan nasihat-nasihat yang mulia. Sehingga, dengan berpuasa dapat mengobarkan spirit anak untuk melakukan hal-hal baik yang mereka peroleh dari orang tua dan lingkungan di sekitar mereka. Seperti, bersabar, bersedekah, dan bersikap toleran terhadap orang lain bahkan agama lain.

Khususnya, bagi anak pada usia 7 tahun yang identik dengan masa keemasan (golden age). Transformasi pendidikan karakter yang ditanamkan oleh orang tua akan melekat dengan kuat pada mental anak. Hal tersebut penting bagi pertumbuhan dan perkembangan kepekaan sosial anak-anak. Sayangnya, hal tersebut justru kerap terlupakan oleh sebagaian besar orang tua. Puasa hanya dimaknai sebagai ritual menahan rasa haus dan lapar saja. Sehingga, dewasa ini bijak mengaplikasikan hikmah puasa menjadi tantangan serius bagi orang tua.

Selanjutnya, mendidik anak bahwa esensi puasa bukan hanya pada bulan Ramadhan namun diaktualisasikan sepanjang tahun. Artinya, perilaku baik selama bulan Ramadhan harus ditransformasikan dalam 11 bulan lannya lainnya. Inilah pekerjaan rumah besar yang harus segera kita benahi bersama-sama, khususnya bagi orang tua sebagai garda terdepan dalam mendidik anak.

Lebih penting lagi, puasa mengajarkan kepada anak untuk bersikap toleransi (tasamuh).   Toleransi secara masif dapat merobohan sekat-sekat strata sosial yang belakangan menjangkit generasi pragmatis dan kapitalis. Anak diajari untuk hidup berdampingan dan bersama-sama mengekang hawa nafsu baik secara fisik maupun psikis yang berupa rasa lapar. Rasa lapar dalam artian lapar secara kebutuhan maupun lapar keinginan yang telah menjadi kodrat bagi manusia.

Selain itu, puasa mengajarkan untuk toleransi (tasamuh) merupakan upaya mewujudkan generasi bangsa rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam). Dalam sebuah ayat disebutkan  Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (QS 60:8). Maka, penting kiranya bagi orang tua untuk mendidik anak-anak mereka melalui puasa Ramadhan dengan spirit toleransi. Selanjutnya, perilaku baik harus kita transformasikan pada mental anak-anak dengan baik.

Untuk itulah, guna merekonstruksi pendidikan karakter anak, maka bulan Ramadhan menjadi sarana yang tepat untuk mentransformasikanya pada mental anak-anak. Hal tersebut hanya akan terealisasi atas kesadaran orang tua sebagai figur teladan dan panutan anak. Orang tua tidak boleh lalai dan membiarkan anak bertindak sesuka hati. Anak-anak yang “kuat” berpuasa harus dilatih sejak dini utuk berpuasa. Harapannya, bulan puasa dapat menggerakkan nurani orang tua untuk mendidik karakter anak menjadi manusia yang bijaksana, gemar bersedekah, toleran, dan memiliki kepekaan sosial tinggi bagi sesama. Semoga!

This post was last modified on 17 Juni 2016 9:41 AM

Tri Pujiati

Alumnus Pendidikan Bahasa Arab di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Recent Posts

“Ittiba’ Disconnect”; Kerancuan HTI Memahami Kebangkitan Islam

Meski sudah resmi dibubarkan dan dilarang beberapa tahun lalu, Hizbut Tahrir Indonesia alias HTI tampaknya…

33 menit ago

Kebangkitan Nasional, Ki Hadjar Dewantara, dan Kejawen

Nasionalisme, sejauh ini, selalu saja dihadapkan pada agama sebagaimana dua entitas yang sama sekali berbeda…

18 jam ago

Membangun Sinergi Gerakan Nasional dan Pembaruan Keagamaan

Kebangkitan Nasional pada awal abad ke-20 bukan sekadar momentum politis untuk meraih kemerdekaan. Lebih dari…

22 jam ago

Cahaya dari Madinah: Pendidikan dan Moderasi sebagai Denyut Nadi Peradaban

Pada suatu masa, lebih dari empat belas abad silam, Yatsrib, sebuah oasis di tengah gurun…

22 jam ago

Refleksi Harkitnas; Redefinisi Kebangkitan Islam di Tengah Fenomena Banalitas Keagamaan

Salah satu fenomena menarik dalam lanskap keberagaman Indonesia pasca Reformasi adalah perubahan perilaku beragama di…

2 hari ago

Cobalah Kritis pada Diri, Ketika Agama Semata-mata Menjadi Ornamen Pribadi

"Satu ons praktik lebih berharga daripada berton-ton khotbah," demikian pernah diungkapkan oleh Mahatma Gandhi. Kutipan…

2 hari ago