Narasi

Puasa Transformatif Di Tengah Wabah Covid-19

Kata “puasa” dalam Bahasa Arab disebut “Ash-Shiyam” atau “Ash-Shaum” yang secara bahasa berarti “al-Imsak” yang bermakna “menahan diri dari sesuatu”. Dengan demikian, secara istilah puasa bermakna menahan diri dari segala sesuatu dapat membatalkan puasa yang dilakukan sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Sehingga orang yang sedang sahur kemudian mendengar seruan “imsak”, itu artinya kita disuruh untuk menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum dan hubungan biologis.

Namun makna menahan diri ini bukan berarti sempit di mana hanya sekedar menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa, namun hakikat menahan diri yang dimaksud bermakna luas yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang dapat menggugurkan pahalanya puasa. Jika puasa hanya sekedar menahan diri dalam arti sempit, maka puasa kita terancam hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga saja bagi pelakunya. Karena hanya puasa yang bermakna menahan diri dalam arti luas yang dapat berdampak secara sosial berskala besar.     

Dalam kitabnya, Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali membagi tiga tingkatan orang berpuasa di bulan Ramadhan. Pertama, puasa umum (shaum al-‘umum) yaitu menahan perut dan kemaluan dari memenuhi kebutuhan syahwat. Kedua, puasa khusus (shaum al-khushush) yaitu menahan telinga, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Ketiga, puasa khusus untuk orang-orang khusus (shaum khushush al-khushush) yaitu menahan hati agar tidak mendekati kehinaan, memikirkan dunia, dan memikirkan selain Allah swt.

Tipe puasa yang pertama (shaum al-‘umum) tidak akan memberikan dampak sosial bersekala besar. Tipe puasa yang pertama dampaknya sempit, hanya untuk pelaku puasa (individual), minimal pelakunya mendapatkan sehat secara fisik. Karena menahan makan dan minum dalam arti puasa dapat menyehatkan badan. Maka Nabi saw menyebutkan tipe puasa yang pertama ini hanya akan mendapatkan lapar dan dahaga. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw bersabda: “Berapa banyak orang yang puasa, bagian (yang dipetik) dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)” [HR. Ibnu Majah). Puasa tipe ini tidak akan memberikan dampak transformatif.

Baca Juga : Ramadhan, Corona, dan Tadarus Diri

Lalu tipe puasa seperti apa yang memberikan dampak transformatif? Jawabannya adalah minimal tipe yang kedua (shaum al-khushush), yaitu puasa yang tidak hanya menahan dari lapar dan dahaga semata, manun menahan telinga, pendengaran, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Tipe puasa inilah yang akan memberikan perubahan berskala besar, baik untuk dirinya pribadi maupun untuk orang lain.

Berkenaan dengan puasa yang berdampak secara sosial berskala besar ini Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah menjelaskan: Seorang yang berpuasa adalah orang yang anggota badanya berpuasa dari perbuatan-perbuatan dosa, lisannya berpuasa dari kata dusta, kata keji, dan ucapan palsu, perutnya berpuasa dari makanan dan minuman, kemaluannya berpuasa dari bersetubuh. Bila dia berbicara, tidak berbicara dengan sesuatu yang merusak puasanya, bila berbuat, tidak berbuat dengan suatu perbuatan yang merusak puasanya, sehingga seluruh ucapannya keluar dalam keadaan baik dan manfaat”.

Banyak hadis yang menguatkan tentang puasa yang berdampak secara sosial berskala besar ini. Diantaranya adalah “Barangsiapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan pengamalannya, serta amal kebodohan, maka Allah tidak butuh pada amalannya meninggalkan makan dan minumnya”. [HR. Al-Bukhari]. Dalam hadis lain, dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya puasa itu bukan menahan dari makan dan minum saja, puasa yang sebenarnya adalah menahan dari laghwu (ucapan sia-sia) dan rafats (ucapan kotor), maka bila seseorang mencacimu atau berbuat tindakan kebodohan kepadamu katakanlah: ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa’.” [HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim].

Jika puasa tipe yang kedua ini benar-benar dilakukan, maka kita akan melihat perubahan sosial bersekala besar. Mengapa demikian? Karena dengan menahan telinga, lisan, tangan, kaki, dan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa, maka tingkat kejahatan dan kerusakan di muka bumi ini akan hilang, atau minimal berkurang. Sebab itu, sikap menahan diri ini sangat penting.

Coba kita perhatikan, betapa banyak kerusakan yang terjadi di muka bumi ini akibat manusia tidak bisa menahan diri. Terjadinya banjir, akibat manusia tidak bisa menahan diri untuk tidak menggunduli hutan dan membuang sampah sembarangan. Terjadinya kecelakaan di lampu merah akibat pengguna jalan tidak bisa menahan diri untuk berhenti sejenak menunggu lampu hijau. Terjadinya korupsi, pembunuhan, miras, narkoba dan obat-obatan terlarang, fitnah, menebar hoax, perzinahan, perselingkuhan, KDRT dan lain-lainnya adalah akibat manusia tidak bisa menahan diri. 

Puasa transformatif inilah yang harus kita bawa dalam melawan Covid-19 atau yang dikenal dengan virus Corona yang sedang mewabah negeri ini. Jika puasa transformatif ini kita tegakkan, maka social distancing dan physical distancing dalam menghalau penyebaran Corona tidaklah berat untuk kita jalankan. Karena nilai-nilai social distancing dan phsycal distancing adalah bagian kecil saja dari hakikat puasa Ramadhan itu sendiri. Misalnya, kita diperintahkan untuk menahan mulut kita dari mengguncing adalah termasuk social distancing. Contoh lainnya, kita dilarang berhubungan biologis disiang hari pada saat puasa adalah termasuk psychal distancing.

Jika social distancing dan psychal distancing hanya sikap menahan diri dari kerumunan dan menjaga jarak minimal satu meter, maka puasa Ramadhan mengajarlan lebih dari itu. Karena hakikat puasa Ramadhan bukan banya menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa seperti makan, minum dan berhubungan biologis semata, hakikat puasa yang sesungguhnya adalah menjaga hati, pikiran, sikap dan gerak anggota badan kita dari perbuatan yang sia-sia dan tidak berguna yang dapat membatalkan pahala puasa.

Sikap menahan diri yang diajarkan dalam puasa Ramadhan ini bisa kita bawa dalam menghalau penyebaran virus Corona yang sedang melanda negeri kita. Menahan diri untuk tidak ke luar rumah kecuali memang sangat mendesak. Menahan diri untuk tidak beribadah ke masjid sesuai himbauan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Menahan diri untuk tidak bersilaturahim. Menahan diri untuk tidak mudik dulu tahun ini dan menahan diri lain-lainnya. Dengan sikap menahan diri inilah kita optimis akan bisa menghalau gempuran Corona.

Saat-saat seperti ini sikap menahan diri adalah langkah terbaik dalam mencegah penyebaran Corona saat ini semakin masif. Sikap menahan diri yang terdapat dalam nilai-nilai ibadah puasa Ramadhan ini harus dapat kita aktulisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sikap menahan diri ini bisa kita mulai dari diri kita dan keluarga kita terlebih dahulu.  Inilah yang disebut bahwa puasa Ramadhan mengajarkan semangat pembatasan sikap bersekala besar, puasa transformatif. Ramadhan mengajarkan kepada kita untuk bisa belajar menahan diri dari segala hal yang dapat merugikan diri dan orang lain.

This post was last modified on 27 April 2020 3:40 PM

Dr M Nurdin Zuhdi

Recent Posts

Mereduksi Fetakompli Radikalisme dengan Berislam secara Logis

Ada statment yang selalu diserukan oleh kelompok radikal. Bahwasanya: “Khilafah itu adalah bukti kegemilangan peradaban…

21 jam ago

Mengantisipasi Residu Kebangkitan Terorisme di Suriah dengan Ideologisasi dan Diplomasi

Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…

2 hari ago

Algoritma Khilafah; Bagaimana Para Influencer HTI Mendominasi Semesta Virtual?

Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…

2 hari ago

Islam Membaca Fenomena Golput : Kegagalan Demokrasi atau Apatisme Politik?

Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November…

2 hari ago

Tantangan dan Peluang Penanggulangan Terorisme di Era Prabowo

Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…

3 hari ago

Peran Agama dalam Membangun Ketahanan Demokrasi Pasca Pilkada 2024

Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…

3 hari ago