Categories: Narasi

Puncak Keberagamaan itu Kemanusiaan

Ada anggapan bahwa semakin religius seseorang, maka semakin intoleran kepada liyan. Ini tentu salah, sebab religiusitas sejatinya bergandengan tangan dengan humanitas. Semakin tinggi tingkat keberagamaan seseorang, seharusnya semakin tinggi rasa kemanusiaannya.

Jika terjadi sebaliknya, seperti anggapan di atas, yakni semakin religius seseorang, maka semakin intoleran kepada liyan, maka ada dua kemungkinan. Pertama, ajaran agama yang ia terima berasal penafsiran yang salah serta dari sumber yang salah.

Kedua, boleh jadi ajaran agama yang ia terima adalah benar, tetapi karena watak atau karakter psikologis dari pemeluk ini memang dari awal adalah salah, maka keberagamaannya pun jadi salah.    

Apa itu keberagamaan yang salah? Kita bisa meminjam ukuran yang dibuat oleh Gus Dur. Akhir 2005, mantan Presiden Indonesia itu menulis artikel di Wall Street Journal dengan judul Right Islam Versus Wrong Islam. Kemudian New York Times dan Washington Post ikut memuat tulisan ini.

Inti tulisan ini adalah Islam yang tidak mendasarkan dirinya pada kemanusiaan (insaniyah) maka itu adalah Islam salah. Sebaliknya, Islam yang mewujudkan semangat kemanusiaan, maka itu adalah Islam benar. Sebab, puncak dari keberagamaan itu adalah kemanusiaan.

Dengan demikian, teroris, kaum intoleran, pembajak agama adalah Islam salah. Meraka jauh dari nilai inti terdalam dari ajaran agama, yakni rahmatan lil’alamin, rahmat bagi sekalian alam.

Baca Juga : Altruisme, Universalitas Islam dan Solidaritas Kemanusiaan

Kalimat “alam” perlu digarisbawahi sebab, rahmat yang dinarasikan oleh agama untuk semua, bukan hanya satu agama, tetapi seluru manusia, bahkan alam semesta. Kemanusiaan adalah nilai inheran dari agama itu sendiri, yang setiap orang harus menjadikannya sebagai tujuan akhir.

Kemanusiaan sebagai Ukuran

Pentingnya kemanusiaan sebagai bagian tak terpisahkan dari keberagamaan dinyatakan secara tegas oleh Habib Ali Al-Jufri dengan judul al-Insaniyah qabl al-Tadayuniyah, Kemanusiaan sebelum Keberagamaan.

Artinya, dalam masyarakat yang plural, yang harus dijadikan standar hidup adalah kemanusiaan. Kita harus mengedepankan persaudaraan sesama manusia. Dengan cara saling memahami, menghargai, serta memberdayakan satu-sama lain.

Tolong menolong, berempati ketika duka, ikut bergembira ketika suka-ria, dan mengelola perbedaan adalah wujud nyata dari kemanusiaan. Menurut Habib Ali Al-Jufri, praktik inilah yang dilakukan oleh Nabi Muhammad.

Nabi lebih mendahulukan prinsip kemanusiaan di atas persoalan agama. Itulah sebabnya, Nabi tidak sungkan bergaul, membaur, bahkan bermusyawarah dengan kelompok agama lain. Sikap dan tindakan Nabi ini yang membuat dirinya dikagumi.

Menjadikan kemanusiaan sebagai ukuran bersama sekaligus fakta historis yang tak terbantahkan. Pada masyarakat jahiliyah, ukuran dalam segala hal adalah kesukuaan. Jika benar kata suku, maka itu adalah benar, jika sebaliknya, suku bilang salah, maka itu adalah salah.

Dawam Rahardjo menyebut ini sebagai humanisme kesukuan. Suatu praktik kehidupan manusia yang menjadikan kesukuaan sebagai basis penilaian. Kepentingan suku di atas segalanya. Inilah yang membuat masyarakat sebelum Nabi mudah perang, bertikai, dan saling bunuh-bunuhan.

Praktik ini mendapat kritikan keras dari Nabi dengan menggeser solidaritas kesukuan menuju solidaritas kemanusiaan. Hak dan martabat sebagai manusia harus lebih diutamakan daripada kepentingan sempit dari suku tertentu.

Revolusi yang dibuat Nabi dengan menggeser istilah-istilah qabilah, qaum dan hizb menuju istilah universal yang diterima semua, yakni umat. Jika qabilah ukurannya adalah kesukuaan, kedaerahan, dan persamaan tradisi; qaum berlandasakan pada kepentingan sosial dan ekonomi, serta hizb diikat atas dasar persamaan ideologi politik, maka umat ukurannya adalah kesadaran akan Tuhan yang diiringi dengan loyalitas terhadap kemanusiaan.

Pergesaran istilah dan ukuran yang dibuat Nabi adalah sesuatu yang sangat luar biasa di tengah masyarakat yang diskriminatif dan eksploitatif. Nabi dengan lantang menyuarakan akan pentingnya nilai kemanusiaan sebagai puncak dari ajaran agama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, sikap ini seharusnya yang kita jadikan rujukan. Dalam konteks merawat keadaban bangsa, kita perlu mengesampingkan ajaran agama kita masing, kemudian masuk ke dalam kemanusiaan sejati.

This post was last modified on 12 Maret 2020 3:16 PM

Hamka Husein Hasibuan

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

13 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

13 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

13 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago