Narasi

Puritanisme Agama dan Pentingnya Reaktualisasi Dakwah Nusantara di Era Pascamodern

Menjadi muslim di Indonesia ialah pengalaman yang mengasyikkan. Setidaknya itulah yang saya rasakan selama ini. Sewaktu kecil, saya menjalani keberislaman dengan penuh gairah, karena melalui aktivitas keagamaan itulah saya bisa mendapatkan ruang sosial untuk sekadar bergaul atau mengaktualisasikan diri. Nyaris sebagian besar masa kecil saya dihabiskan untuk aktivitas keagamaan, seperti sholat dan mengaji Alquran di surau dekat rumah, ikut yasinan bersama ibu-ibu setiap Sabtu malam, bersama-sama membaca sholawat Barzanji selama dua belas malam pertama bulan Zulhijjah (Maulud), dan menikmati atmosfer bulan Ramadhan yang barangkali tidak bisa dinikmati di negara-negara lain.

Begitu pula ketika saya menginjak masa dewasa, menjadi muslimah Indonesia ialah sebuah kemewahan tersendiri. Dari hal yang paling sederhana, misalnya saya bisa memilih baju muslim beraneka model dan warna sekaligus bisa memadupadankan berbagai jenis pakaian. Klausulnya satu; asal menutup aurat dan memenuhi unsur kepantasan, maka sudah bisa disebut sebagai busana muslimah. Dalam konteks yang lebih subtansial dan kompleks, menjadi muslimah di Indonesia adalah sebuah previllege yang boleh jadi tidak dipunyai oleh muslimah di negara lain. Di Indonesia, sebagai Muslimah saya memiliki hak yang sama dengan laki-laki, bisa bersekolah tinggi, memiliki kesempatan untuk berorganisasi, dan tentunya mempunyai hak politik yang setara dengan laki-laki.

Apa yang saya alami, barangkali juga menjadi pengalaman bagi sebagian besar muslimah Indonesia lainnya. Apa yang saya dan muslimah lain nikmati saat ini merupakan buah manis dari model dakwah Islam periode awal di Nusantara yang lebih mengedepankan pendekatan kultural ketimbang konfliktual dan menonjolkan corak keislaman yang lebih bernuansa spiritual, ketimbang keislaman yang legal-formal. Sejarah mencatat, Islam pertama kali masuk melalui jalur perdagangan internasional dimana Nusantara kala itu merupakan salah satu pusat perdagangan dunia. Para penyebar Islam awal ialah para sufi dari Persia dan pedagang dari Gujarat. Mereka menyebarkan Islam bukan melalui jalur formal-kelembagaan melainkan melalui jalur sosio-kultural. Para sufi mengajarkan nilai-nilai kearifan hidup sehingga banyak masyarakat yang tertarik untuk mengikuti ajarannya. Di samping itu, banyak pedagang muslim asal Gujarat yang menikah dengan perempuan lokal yang lantas membuka jalan bagi aktivitas islamisasi.

Momen puncak penyebaran Islam di Nusantara terjadi di era Walisongo, kolektif pendakwah yang menyebarkan Islam terutama di Jawa dengan berbagai pendekatan sosial-kultural. Karakter khas dakwah Islam di Nusantara yang dilakukan oleh Walisongo ialah kemampuannya mengapropiasi kultur lokal sebagai alat untuk menarik simpati masyarakat. Walisongo dikenal sebagai pendakwah yang tidak anti-kebudayaan lokal Nusantara. Sebaliknya, mereka justru meminjam kebudayaan lokal tersebut dan memodifikasinya agar sesuai dengan ajaran Islam. Apa yang dilakukan oleh Walisongo itu harus diakui telah menjadi semacam cetak biru bagi corak keislaman Indonesia saat ini yang memiliki spektrum warna yang beragam, tidak monokrom dan kaya akan keanekaragaman ekspresi kesalehan. Dakwah Islam di Nusantara yang dilakukan oleh Walisongo melalui pendekatan kultural telah mejadi sumbangan penting bagi khazanah keislaman dunia.

Mengembalikan Spirit Dakwah Nusantara untuk Menghalau Puritanisme Agama

Ironisnya, saat ini keberislaman kita menghadapi tantangan yang tidak ringan. Di era yang oleh para filosof kerap disebut sebagai era pascamodern (postmodern) ini, agama-agama, termasuk Islam menghadapi tantangan serius. Dalam konteks Islam di Indonesia, tantangan itu mewujud salah satunya dalam gerakan pemurnian ajaran Islam yang diinisiasi oleh segelintir kelompok. Inilah yang disebut oleh ahli hukum Islam, Khaled Aboue el Fadl sebagai puritanisme Islam, yakni paham yang menghendaki Islam steril dari infiltrasi atau pengaruh budaya luar dan berusaha mengembalikan Islam sesuai dengan Alquran dan praktik Rasulullah. Kelompok Islam puritan berpandangan bahwa praktik peribadatan dan ekspresi kesalehan Islam yang tidak sesuai dengan Alquran dan Sunnah ialah bagian dari bid’ah yang sesat dan harus dihapuskan dari tradisi Islam. Di Indonesia, kelompok puritan yang tumbuh subur pasca era Reformasi secara terbuka menyerang kelompok-kelompok Islam kultural, terutama warga Nahdliyyin sebagai kaum penganut bid’ah, bahkan tidak segan menyebutnya sebagai golongan sesat atau kafir.

Disinilah pentingnya kita mereaktualisasikan dakwah Nusantara di era pascamodern ini. Corak dakwah kaum puritan yang lebih banyak menuding kelompok lain sebagai penganut bid’ah, kaum sesat bahkan golongan kafir tidak relevan dengan realitas masyarakat Indonesia yang multikultur. Ekspresi keislaman masyarakat Indonesia selama ini sangat kaya dan nyaris tidak bisa dibatasi dengan dikotomi sunnah-bid’ah. Kemajemukan ekspresi keislaman dan kesalehan itu ialah kekayaan budaya dan agama yang idealnya kita rawat dan jaga bersama. Maka, dakwah di era pascamodern ini hendaknya dilandasi spirit dakwah Nusantara yang lebih akomodatif pada tradisi lokal dan adaptif pada wawasan kebangsaan.

Menghadirkan kembali spirit dakwah Nusantara ialah diperlukan saat ini untuk menghadang arus dakwah puritan yang bertendensi anti-kebudayaan asli Indonesia dan cenderung memecah belah bangsa. Puritanisme tidak hanya mencerabut manusia Indonesia dari akar jatidirinya, namun juga berusaha memberangus multikulturalitas dan menyeragamkannya dalam satu ideologi Islam yang ditafsirkan secara paksa. Reaktualisasi dakwah Nusantara di era pascamodern ialah mempraktikkan kembali corak dakwah persuasif yang mengajak ke jalan kebaikan dengan pendekatan sosial-kultural sekaligus berkomitmen memperkokoh wawasan kebangsaan. Dengan mereaktualisasi jalan dakwah Nusantara, maka spektrum warna-warni keislaman dan ekspresi kesalehan muslim Indonesia niscaya bisa terjaga.

This post was last modified on 16 Desember 2020 3:21 PM

Desi Ratriyanti

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago