Kebangsaan

Radikalisasi Online dan Kekosongan Moral Pancasila di Era Post-Truth

Saat ini, kita memasuki sebuah era yang dikenal dengan era post-truth (Pasca Kebenaran). Di mana, manusia lebih bergairah mencari “pembenar” dari pada menemukan kebenaran itu sendiri. Dengan mengakali sesuatu yang tidak benar agar menjadi kebenaran.

Fenomena radikalisasi online tentu mencoba melihat pola semacam itu. Dengan membawa ideologi kriminal sebagai “pembenar” mengatasnamakan agama. Mengakali sebuah kejahatan agar dianggap benar dan kebenarannya akan menimbulkan masalah bagi tatanan sosial.

Problem yang semacam ini, pada dasarnya kita sedang mengalami (kekosongan moral) di era post-truth. Sehingga, karakter media sosial yang tak ada batasan, serba cepat, serba mudah dan semua orang bisa ber-opini, ber-narasi dan semua sama-sama membangun argumen “pembenar” untuk menciptakan kebenaran itu sendiri.

Maka, di sinilah kita sebetulnya butuh yang namanya (moralitas) di era post-truth ini. Utamanya, dalam menghadapi sebuah fenomena kejahatan berbungkus agama di ruang online yaitu (radikalisasi online) yang mencoba membangun “kebenaran” atas segala kejahatan kemanusiaan agar dianggap benar.

Di era post-truth, benar belum tentu bijaksana dan di sinilah mengapa orientasi moralitas Pancasila itu menjadi nilai fundamental dalam meraih (kebijaksanaan) yang jelas kebenarannya akan membawa maslahat dan kebaikan. Mengupayakan prinsip-prinsip persatuan, keadilan, kemanusiaan dan kebersamaan yang harmonis sebagai prinsip moral dalam melihat kebenaran di era post-truth.

Dominasi Politik Identitas di Era Post-Truth

Bahaya Kekosongan Ideologi Pancasila di Balik Radikalisasi Online 

Di era post-truth, kita saat ini mengalami kekosongan ideologis dalam kehidupan berbangsa. Sehingga, ideologi dari luar seperti terorisme dan radikalisme semakin mendominasi dengan membangun karakter “kebenaran” yang condong reduksionis atas nilai-nilai kebangsaan kita yang menjunjung tinggi toleransi dan kebersamaan.

Era post-truth dengan hadirnya sosial media telah menciptakan wadah kebenaran baru yang membuka ruang konflik hingga mengalami disentegritas di tengah perbedaan. Ruang baru (new media) yang kini mulai dimanfaatkan kelompok radikal dalam menciptakan kebenaran yang sifatnya menyulut api konflik dan perpecahan.

Menjadikan Pancasila sebagai Nilai Moral di era Post-Truth

Pancasila sebagai ideologi bangsa pada dasarnya bisa menjadi semacam pijakan etis/moralitas kita dalam menjalani sebuah era yang dikenal dengan era post-truth tadi. Sebab, dengan nilai Pancasila, kita tidak lagi melihat sebuah kebenaran hanya dengan melihat “gairah psikis” yang membuat kita tidak sadar bahwa kebenaran yang kita terima justru menyebabkan kehancuran dan kemudharatan yang nyata.

Pancasila sebagai nilai dasar, bagaimana orientasi persatuan, kemanusiaan, keadilan, kebersamaan dan pola sosial yang harmonis. Semua nilai moral tersebut sebagai satu pijakan etis dalam melihat dan menerima sebuah kebenaran di era post-truth tersebut. Karena, kebenaran di era post-truth bukan lagi kebenaran yang bisa diterima secara mentah-mentah, karena kebenaran bisa diciptakan sesuai kepentingan politis di dalamnya.

Tentu, mengacu ke dalam fenomena radikalisasi online tadi. Kelompok radikal mencoba membangun rasa gairah masyarakat atas sebuah perilaku yang tidak dibenarkan oleh agama agar dianggap menjadi kebenaran agama untuk diterima kebenarannya. Maka, acuan ideologis Pancasila sebagai jalan petunjuk dalam melihat kebenaran yang sifatnya menjaga tatanan bangsa kita dari permusuhan dan pertumpahan darah mengatasnamakan “kebenaran agama” itu sendiri.

Jadi, satu bentuk nilai etis bagi kita dalam menghadapi sebuah era post-truth di balik fenomena radikalisasi online. Adalah menutup kekosongan moral kita dengan menjadikan Pancasila sebagai nilai moral dalam melihat, memahami dan menerima sebuah kebenaran yang kebenaran itu bisa tetap menjaga persatuan dan kemaslahatan bangsa kita di negeri ini.

This post was last modified on 3 Agustus 2023 2:45 PM

Amil Nur fatimah

Mahasiswa S1 Farmasi di STIKES Dr. Soebandhi Jember

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

21 jam ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

21 jam ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

21 jam ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

21 jam ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

2 hari ago

Negara bukan Hanya Milik Satu Agama; Menegakkan Kesetaraan dan Keadilan untuk Semua

Belakangan ini, ruang publik kita kembali diramaikan oleh perdebatan sensitif terkait relasi agama dan negara.…

2 hari ago