Narasi

Radikalisme dan Terorisme Sebagai Fenomena Ideologis, Bukan Agamis

Pertama kali saya berkenalan dengan marxisme adalah pada beberapa patah kata Karl Marx yang dahulu seperti menjadi motor aktivisme: “Philosopher have hitherto only interpreted the world in various ways; the point is to change it” (Theses On Feuerbach). Pada ranah pemikiran Barat di sinilah saya kira apa yang sekarang kita kenal sebagai radikalisme menunjukkan parasnya secara sistematis. Artinya, sebenarnya radikalisme (dan terorisme) tak melulu lekat dengan agama tertentu. Bukankah Carlos Marighella—penulis kitab cara meneror yang juga pertama kali saya baca—bukanlah orang yang beragama dan bahkan seorang marxis? Bukankah Baader-Meinhof Gang bukanlah pula orang-orang yang beragama—yang barangkali telah menginspirasi gerakan Anarko beberapa waktu lalu?

Tak sekedar bahwa Karl Marx dan Taqiyuddin an-Nabhani sama-sama berjambang, tapi logika mengubah dunia memang telah menjadi karakteristik khas dari radikalisme (Melongok dari yang Tak Pokok, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Memang benar bahwa al-Qur’an mengetengahkan pula ajaran etis tentang keinginan Tuhan untuk mengubah suatu keadaan yang seturut dengan keinginan manusia itu sendiri untuk mengubahnya (qs: 13/11). Ayat ini sering dijadikan rujukan atas radikalisme Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Nizhamul Islam. Dari ayat itu an-Nabhani menafsirkan bahwa ada dua macam perubahan: perubahan ilahi (realitas sebagaimana yang dicintai dan diridhai oleh Allah) dan perubahan insani (realitas islami: anti-thagut, anti-demokrasi yang bid’ah, anti-kapitalisme yang kafir, dst.).

Asumsi dasar an-Nabhani adalah bahwa ketika mereka mampu meneggakkan sistem yang islami—khilafah islamiyah atau khalifah rasyidah—dengan sendirinya mereka akan dicintai dan diridhai oleh Allah laiknya para sufi yang sudah mengalami penyatuan realitas (wihdatul wujud). Pertanyaannya kemudian, bagamaimana mengukur cinta dan ridha Tuhan dalam perubahan insani yang barangkali mereka capai? Bagaimana kita tahu bahwa sistem dan realitas luhur yang mereka perjuangkan benar-benar dicintai dan diridhai Allah? Sama halnya ketika Karl Marx berkeinginan untuk mengubah dunia, dengan mengubah cara-cara produksi, bagaimana mengukur perubahan dunia yang ia juga perjuangkan itu?

Baca Juga : Dari Piagam Madinah ke Pancasila: Ikhtiar Membumikan Islam Rahmat dalam Konsensus Bernegara

Terang hal itu adalah sebuah kemustahilan, termasuk bahkan pada kasus marxisme yang identik dengan materialisme sekalipun. Saya kira baik pemikiran Marx dan an-Nabhani sama-sama berbicara tentang kualitas yang tak jelas ukurannya, semisal omong besar keluhuran dan keadilan. Dengan demikian sampai di sini kita sudah menginjak pada perdebatan ideologis dan tak lagi berbicara pada tataran ilmiah. Berbicara ideologi adalah berbicara tentang apa yang seharusnya (das sollen) dan bukannya tentang apa yang ada (das sein).

Pada titik inilah pada akhirnya pengertian radikalisme dan terorisme berada pada wilayah ideologis dan bukan lagi wilayah ilmiah. Artinya, wilayah ideologis adalah sepetak wilayah yang tak lagi obyektif, rasional dan empiris atau bersifat dapat diukur, tapi wilayah subyektif yang berkaitan dengan hasrat yang sudah jelas tak ada batasnya (Sapere Aude: Nyala Nyali Kaum Terdidik, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net).

Dengan demikian, berbicara deradikalisasi, pada ujungnya juga berbicara tentang manajemen hasrat dan bukannya sekedar pengubahan mindset dan perilaku. Sebab, radikalisme dan terorisme kontemporer tak lagi menjadikan pemahaman dan penguasaan agama sebagai syarat mutlaknya (“Bertolak Dari yang Ada”, Heru Harjo Hutomo, https://jalandamai.net). Itulah kenapa radikalisme dan terorisme di Indonesia senantiasa patah tumbuh hilang berganti dan dapat memakai topeng apa saja: agama, komunisme, sekularisme, dan bahkan Pancasila (Hasrat yang Terkebiri: Radikalisme di Balik RUU HIP, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Seandainya radikalisme dan terorisme dimaknai sebagai permasalahan hasrat—karena di Indonesia kontemporer sifatnya patah tumbuh hilang berganti serta jelas tak ada kaitannya dengan pemahaman keagamaan, keadilan sosial dan ekonomi—yang tak kunjung terpenuhi, maka sebagai solusinya tak ada yang lain kecuali mendekatinya dengan kearifan-kearifan tentang manajemen hasrat yang cukup berserak dalam khazanah budaya nusantara (Suryomentaram di Tengah Temaram Zaman, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id). Sebab ideologi, pada akhirnya, adalah lebih pada soal realitas yang diangankan atau hasrat yang terkastrasi entah dengan kerangka agama maupun non-agama.

This post was last modified on 22 Juni 2020 1:50 PM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago