Narasi

Ramadan, Momentum Jihad Akbar Melawan Hoaks dan Radikalisme

Jihad akbar dalam Islam ialah menahan hawa nafsu. Demikian sabda Rasulullah Muhammad Saw sepulag dari perang Tabuk. Dalam sejarah perjalanan Islam, perang Tabuk dikenal sebagai yang terberat. Tentara Islam kala itu harus menempuh sekitar 70 mil ke Yordania di tengah cuaca panas dan kekurangan logistik perang. Namun, segala tantangan berat itu bagi Nabi Muhammad belumlah puncak dari perjuangan (jihad) manusia. Puncak dari jihad ialah ketika manusia bisa menaklukkan hawa nafsunya.

Mengapa hawa nafsu menjadi “musuh” terbesar manusia dan harus ditaklukkan? Tersebab hawa nafsu (negatif) merupakan musabab dari segala ucapan, pikiran dan perbuatan buruk yang dilarang Allah. Ucapan buruk berasal dari dorongan hawa nafsu. Demikian pula pikiran kotor juga dikonstruksi oleh hawa nafsu negatif. Pun juga perbuatan buruk yang merupakan manifestasi dari bercokolnya hawa nafsu dalam alam bawah sadar manusia. Maka, menaklukkan hawa nafsu negatif pada dasarnya ialah menganulir segala potensi keburukan dan kejahatan yang mungkin kita lakukan.

Sebagai ibadah spiritual sekaligus sosial, puasa Ramadan kerap disebut sebagai latihan menuju jihad akbar. Asumsi ini tentu bukan mengada-ada. Dari segala aspek, puasa memang memenuhi syarat disebut sebagai bagian dari jihad akbar. Bagaimana tidak? Puasa mensyaratkan pengekangan semua bentuk dan jenis hawa nafsu negatif. Ketika menjalani puasa, nafsu biologis kita dikunci. Makan, minum dan berhubungan badan yang sebelumnya dihalalkan dalam Islam menjadi haram dilakukan.

Tidak hanya dari segi fisik. Puasa juga mensyaratkan pengendalian perasaan negatif seperi marah, benci, dan sejenisnya. Pendek kata, puasa mengajarkan manusia hidup dalam kekosongan; perut kosong, hati kosong dan pikiran kosong. Kosong dalam konteks ini bukan dimaknai sebagai kondisi kehampaan atau linglung, melainkan lebih dimaknai sebagai sebuah keadaan yang jernih dan suci. Dalam terminologi Jawa, istilah yang tepat untuk menggambarkan kondisi itu ialah “suwung”. Suwung ialah kondisi ketika manusia tidak lagi memiliki ambisi pada hal-hal duniawi; makanan, kekuasaan, seksualitas dan sebagainya. Dalam kondisi suwung itulah manusia niscaya bisa berpikir jernih, berucap secara santun dan bertindak dengan bijaksana.

Kisah perang Tabuk dan konsep jihad akbar dalam Islam kiranya bisa menjadi semacam inspirasi bagi umat Islam yang hidup di era kontemporer ini. Seperti kita tahu, dunia Islam saat ini tengah menghadapi beragam tantangan berat. Tidak hanya kemiskinan dan kebodohan yang seolah telah menjadi problem klasik dunia Islam. Umat Islam di seluruh penjuru dunia saat ini juga tengah menghadapi gelombang kebangkitan populisme Islam dan politik identitas yang memecah belah. Fenomena itu juga mengemuka di Indonesia sejak awal era Reformasi dan memuncak sejak tujuh tahun belakangan.

Gelombang populisme Islam dan politik identitas yang berkelindan dengan fenomena radikalisme agama telah menjadi duri dalam daging bagi kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara. Indonesia yang dikenal sebagai negara multikultural dan multirelijius pun mulai kehilangan watak aslinya. Diskriminasi, persekusi bahkan kekerasan atas nama agama mengalami eskalasi ke arah yang semakin mengkhawatirkan. Di dunia maya khususnya, hoaks dan radikalisme menyebar tak terkendali ke ruang-ruang publik virtual kita.

Maka, di bulan Ramadan ini, salah satu jihad akbar yang wajib kita lakukan ialah melawan penyebaran hoaks dan radikalisme di dunia maya. Jihad akbar itu diperlukan lantaran selama ini, upaya-upaya menangkal hoaks dan radikalisme seolah menemui jalan buntu. Pembubaran ormas radikal tidak serta-merta mengeliminasi ideologi radikalisme dari masyarakat. Demikian pula perang melawan hoaks yang seolah tidak ada habisnya.

Jihad akbar melawan hoaks dan radikalisme berarti menundukkan hawa nafsu kita serendah-rendahnya di hadapan Allah. Ibadah puasa idealnya menjadi sarana untuk meredam narasi kebencian dan perpecahan yang selama ini menjadi duri dalam daging dalam konteks relasi keagamaan dan kebangsaan kita. Puasa Ramadan idealnya juga bisa menumbuhkan sikap keberagamaan yang toleran dan moderat serta komitmen penuh pada nilai kebangsaan dan kenegaraan. Puncaknya, puasa kiranya bisa melahirkan kesadaran akan pentingnya solidaritas sosial serta pandangan keagamaan yang bertumpu pada asas kemanusiaan.

Maka dari itu, dibutuhkan sinergi bersama antara pemerintah dan umat untuk menjadikan Ramadan kali ini sebagai momentum jihad akbar melawan hoaks dan radikalisme. Adalah kewajiban pemerintah untuk memastikan kondisi Ramadan kondusif, aman dan damai. Di saat yang sama, umat diharapkan mampu memaknai Ramadan tidak hanya secara simbolis, namun juga filosofis.

This post was last modified on 14 April 2021 10:36 AM

Arfi Hidayat

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

4 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

4 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

4 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago