Narasi

Ramadan, Pandemi dan Jarak Sosial

Ramadan, bulan yang dirindukan serta penuh ampunan dan keberkahan sudah hadir di depan mata. Rasulullah Saw. bersabda, “Sesungguhnya bulan (Ramadan) yang penuh berkah telah datang kepada kalian. Allah Swt mewajibkan kalian puasa padanya. Di bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup, para syaitan diikat. Padanya ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Barang siapa dihalangi dari kebaikannya, maka ia benar-benar telah dihalangi.” (HR. Ahmad, An-Nasa’i dan Al-Baihaqi).

Akan tetapi, nyaris tidak terdengar hingar-bingar kegembiraan menyambut bulan suci yang dirindukan oleh umat beragama Islam. Ini karena banyak umat Islam di belahan dunia mana pun sedang berjuang melawan pandemi virus korona dan dihadapkan dengan krisis ekonomi menjalar kemana-mana. Namun demikian, keutamaan Ramadan tidak akan berkurang sekali karena kehadiran wabah korona. Justru pahala pelaksanaan ibadah di bulan Ramadan bisa menjadi berlipat-lipat karena dihadapkan dengan kesusahan yang melanda hampir setiap umat beragama. Hal ini karena berlaku prinsip “al-ajru bi qadri al-ta’ab” (pahala itu sesuai dengan usaha). Artinya, semakin kita bersusah-payah dalam ibadah, semakin besar pahala yang dijanjikan Allah.

Jangan Disalahartikan!

Jika semangat dan keriuhan ibadah di bulan Ramadan amat terasa di berbagai masjid, namun Ramadan tahun ini tentu akan berbeda. Mengingat, tahun sebelumnya berjalan tanpa ada wabah. Sedangkan tahun ini, meskipun kita tetap harus giat beribadah, kita juga harus menerapkan prinsip physical distancing (jaga jarak). Ini penting untuk mencegah penularan virus korona.

Daripada berdesak-desak ke masjid untuk beribadah menunjukkan ketakwaan kepada Allah Swt. tapi mengantarkan pada celaka. Lebih baik kita tetap melaksanakan ibadah namun tetap menjaga jarak dengan kerumunan. Bisa ibadah berjamaah di rumah atau di masjid dengan merenggangkan shaf. Dalam kaidah ushul fiqh disebutkan, “dar’u al-mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbi al-mashaalih” (mencegah kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kebaikan-kebaikan).

Baca Juga : Pandemi, Paradoks, dan Provokasi

Lagipula, telah beredar himbauan-himbauan dari pemerintah dan pimpinan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyyah agar melaksanakan tidak melaksanakan buka bersama dan melaksanakan tarawih di rumah. Ini penting untuk diperhatikan agar kita tetap sehat dan dapat meraih keutamaan dengan melaksanakan seluruh ibadah yang disunnahkan di dalamnya.

Namun demikian, pengertian menjaga jarak ini jangan disalahartikan dengan menjaga jarak nonfisik. Dalam pengertian nonfisik, satu sama lain harus saling mendekat, menyatu dalam empati bersama (Alfan Alfian, 2020). Empati ialah inti–kalau bukan basis–dari solidaritas, kebersamaan, dan kegotongroyongan. Tanpa adanya empati, solidaritas sosial kemanusiaan yang lebih luas tak akan terbangun. Padahal, kita memerlukan itu menghadapi perkembangan virus korona.

Kita semua melihat, bagaimana gerakan empati, mendekatkan jarak sosial nonfisik, melanda banyak negeri saat ini. Di Italia, negara di Eropa yang paling fenomenal wabah korona tetap bisa berempati satu sama lain dari balkon dan jendela apartemen. Mereka saling menyapa tetangga kiri-kanan dengan bertepuk tangan. Itu simbol solidaritas sekaligus saling memberi semangat untuk sabar dan bertahan. Walaupun jarak sosial secara fisik terpisah jauh, mereka berupaya menunjukkan kedekatan secara nonfisik.

Dan, lagipula puasa Ramadan juga mengajarkan kita untuk mengedepankan empati dalam relasi kemanusiaan. Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, “Ada pun alasan Allah mewajibkan puasa adalah untuk menyamakan si kaya dengan si fakir. Karena sesungguhnya si kaya tidak (pernah) merasakan nestapa lapar (sebagaimana yang dirasakan oleh si fakir), yang karenanya si kaya dapat mengasihi si fakir. Karena setiap si kaya menginginkan sesuatu, maka dia dapat memenuhi keinginannya itu.

Maka dengan puasa Allah Swt. hendak menempatkan makhluk-makhluk-Nya pada suatu pijakan yang sama dengan jalan membuat si kaya turut merasakan nestapanya lapar dan kepedihan, yang karenanya (diharapkan) ia menaruh belas kasih kepada orang yang lemah dan mengasihi orang yang lapar.”

Maka itu, kita tidak perlu menjaga jarak nonfisik. Justru semua perlu saling berempati dan memberikan uluran tangan tetangga dan saudara di lingkungan sekitar yang terdampak virus Covid-19 sehingga susah memenuhi kebutuhan pangan.

Cukup kita menjaga jarak sosial secara fisik saja. Konsep bermakna bahwa kita tetap boleh beraktivitas, tetapi satu sama lain harus berjarak fisik kurang lebih satu meter atau lebih dari orang lain. Praktik jarak sosial secara fisik ini akan tetap penting dalam upaya pencegahan. Dan, ini butuh kesadaran satu sama lain. Wallahu a’lam bish-shawaab.

This post was last modified on 20 April 2020 5:31 PM

Mohammad Sholihul Wafi

Alumni PP. Ishlahusy Syubban Kudus.

View Comments

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

6 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

6 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

6 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago