Narasi

Rasulullah, Keadilan, dan Kedamaian

Kata “damai” dalam KBBI V, bermakna (1) tidak ada perang; tidak ada kerusuhan; aman, (2) tenteram; tenang, (3) keadaan tidak bermusuhan; rukun. Artinya, kedamaian mengisyaratkan suatu kondisi masyarakat yang rukun, saling mengerti dan bahkan saling menyayangi, sehingga jauh dari permusuhan, apalagi peperangan dan kekerasan. Masing-masing individu atau kelompok memiliki kesadaran tinggi akan pentingnya menghargai dan menghormati perbedaan, serta lebih mementingkan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi dan kelompok.

Setiap kelompok masyarakat tak menonjolkan eksklusivitasnya, sehingga tak ada yang merasa dikucilkan atau dikesampingkan. Semua orang atau kelompok dipandang setara, sejajar, dalam ikatan kehidupan yang menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, tenggang rasa, dan cinta damai. Tentu, di samping kesadaran yang tertanam dalam diri masing-masing masyarakat tersebut, untuk bisa menciptakan kondisi damai juga ditentukan peran seorang pemimpin. Pemimpin akan menentukan sejauh mana prinsip-prinsip keadilan dan toleransi di masyarakat bisa tertanam dan diamalkan.

Dengan kata lain, melalui kekuasaan dan kewenangannya, seorang pemimpin akan sangat menentukan sejauh mana perdamaian dalam masyarakat itu akan terbangun. Di titik inilah kemudian, junjungan kita Nabi Muhammad Saw. penting dihadirkan sebagai teladan pemimpin, maupun sebagai pribadi, yang bisa menunjukkan sikap adil, toleran, dan memiliki jiwa besar untuk merangkul semua golongan, sehingga kemudian menciptakan kehidupan masyarakat yang damai dan tenteram. Berbagai kejadian dalam bentang sejarah Islam di masa Rasulullah Saw bisa kita renungkan dan kita jadikan pelajaran.

Terkait keadilan, Piagam Madinah menggambarkan sikap adil yang ditunjukkan Rasulullah Saw. untuk seluruh masyarakat, meski berkeyakinan berbeda. Piagam yang disusun Rasulullah Saw dan disetujui berbagai suku dan kaum yang ada di Madinah–penduduk asli Madinah, para imigran Muslim dari Makkah, dan kaum Yahudi Madinah—tersebut menjamin keadilan dalam masyarakat yang berkeyakinan berbeda, serta mengakhiri permusuhan yang sudah berlangsung bertahun-tahun di antara mereka, untuk kemudian menyatukan mereka dalam satu komunitas atau ummah yang damai.

Hal teristimewa dari isi perjanjian tersebut, sebagaimana diungkapkan Harun Yahya (2011), adalah dikokohkannya kebebasan beragama. Pasal 16 dari perjanjian tersebut berbunyi, “Orang Yahudi yang mengikuti kami dipastikan berhak atas dukungan kami dan persamaan hak yang sama seperti salah satu dari kami. Ia tidak akan dirugikan atau musuhnya tidak akan dibantu”. Terbukti, perjanjian tersebut telah berhasil dan tetap bertahan dalam rentang waktu yang panjang. Piagam tersebut dipegang teguh oleh para sahabat setelah Rasulullah wafat. Bahkan, juga diterapkan terhadap orang-orang Barbar, Buddha, Brahmana, dan keyakinan lain.

Selain itu, dalam diri Rasulullah Saw juga tersimpan jiwa besar untuk memaafkan orang lain yang memiliki kesalahan. Hal ini merupakan salah satu nilai penting yang bisa kita teladani dalam konteks membangun kehidupan yang damai. Peristiwa penaklukan kota Makkah atau Fath Makkah pada 10 Ramadhan 8 H menggambarkan kebesaran hati Rasulullah. Puluhan ribu pasukan muslim berhasil menaklukkan kota Makkah yang dikuasai kaum Quraisy, dan perlu ditegaskan, tanpa pertumpahan darah. Padahal, kita tahu, sebelumnya kaum Quraisy sangat membenci dan sering menindas Rasulullah Saw. dan kaum muslim—sehingga mendorong Rasulullah Saw berhijrah menuju Madinah. Namun, setelah peristiwa penaklukan tersebut, Rasulullah sama sekali tak berkeinginan untuk melakukan balas dendam.

Dikisahkan, ketika penaklukan berakhir, Rasulullah Saw. mendatangi Baitul Haram di tengah hiruk-pikuk lautan manusia, untuk bertawaf. Rasulullah Saw naik, lalu berdiri berkhutbah atas kemenangan tersebut, “Wahai kaum Quraisy, menurut kalian, apa yang akan aku lakukan kepada kalian?” Mereka menjawab, “Pasti kebaikan, saudaraku yang mulia dan anak saudaraku yang mulia”. Rasulullah Saw berseru, “Pergilah, karena kalian sudah bebas!” (Muhammad Ali Quthb: 2016). Sebuah seruan yang mencerminkan kebesaran hati beliau sebagai pemimpin dalam menyikapi orang-orang yang pernah memusuhinya. Kemenangan tak membuat Rasulullah Saw. berlaku semena-mena.

Sikap berjiwa besar penting dalam konteks menciptakan kehidupan yang damai dan tentram. Sebab, gesekan dalam masyarakat memang sulit dihindari, terlebih dalam masyarakat yang beragam, baik dalam hal agama, suku, ras, atau golongan. Sikap berjiwa besar untuk memaafkan orang lain yang bersalah pada kita, atau kelompok kita, menunjukkan kebesaran jiwa dan kedewasaan berpikir, serta mencerminkan keutamaan prinsip perdamaian dalam menyikapi setiap persoalan. Artinya, kebesaran hati untuk memaafkan merupakan sikap mulia yang bisa menghindarkan kita dari pertikaian dan bahkan perpecahan yang lebih luas.

Tak hanya dari kepemimpinannya, sikap-sikap yang menjunjung tinggi keadilan, serta memandang setara sesama manusia juga tercermin dari pribadi Rasulullah Saw dalam berbagai kesempatan lain. Misalnya, kisah dari sebuah hadits Muslim tentang iring-iringan jenazah yang membuat Rasulullah berdiri. Dan ketika dikatakan bahwa jenazah itu seorang Yahudi, Rasulullah Saw bersabda, “Bukankah ia juga manusia?”. Lain lagi ketika perjalanan ke Taif, Rasulullah dilempari batu para budak Tsaqif, namun ketika malaikat Jibril menawarkan untuk membinasakan mereka, Rasulullah melarang dan justru mendoakan mereka agar diampuni Allah Swt.

Kita juga ingat kisah tentang Rasulullah Saw. saat pulang dari masjid dan diludahi oleh seorang kafir, namun beliau tak marah. Bahkan, beliau bergegas menjenguk ketika orang tersebut diketahui sedang sakit, sehingga orang tersebut kemudian masuk Islam. Dari kisah-kisah tersebut, kita melihat keluhuran budi atau akhlak Rasulullah Saw. Kedzaliman, kemarahan, dan kebencian yang dilancarkan pada beliau tak dibalas dengan hal serupa, namun justru dibalas dengan kasih sayang, perhatian, dan harapan yang baik. Dari sanalah sinar kedamaian Islam itu terpancar, sehingga bisa menerangi dan memberi hidayah bagi mereka yang belum mengerti.

Dari Rasulullah Saw, kita belajar tak menindas meski sedang berkuasa. Dari Rasulullah, kita belajar melindungi mereka yang pernah menyakiti. Dari Rasulullah, kita juga belajar untuk berjiwa besar memafkan kesalahan orang lain. Dan akhirnya, dari kepribadian serta kepemimpinan beliau sebagai pemimpin muslim, kita belajar bagaimana membangun kehidupan masyarakat yang adil, tentram, dan damai. Wallahu a’lam.

This post was last modified on 21 Desember 2016 10:38 AM

Al Mahfud

Lulusan Tarbiyah Pendidikan Islam STAIN Kudus. Aktif menulis artikel, esai, dan ulasan berbagai genre buku di media massa, baik lokal maupun nasional. Bermukim di Pati Jawa Tengah.

Recent Posts

Pembubaran Doa Rosario: Etika Sosial atau Egoisme Beragama?

Sejumlah mahasiswa Katolik Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang berdoa Rosario dibubarkan paksa oleh massa yang diduga diprovokasi…

11 jam ago

Pasang Surut Relasi Komitmen Kebangsaan dan Keagamaan

Perdebatan mengenai relasi antara komitmen kebangsaan dan keagamaan telah menjadi inti perdebatan yang berkelanjutan dalam…

11 jam ago

Cyberterrorism: Menelisik Eksistensi dan Gerilya Kaum Radikal di Dunia Daring

Identitas Buku Penulis               : Marsekal Muda TNI (Purn.) Prof. Asep Adang Supriadi Judul Buku        :…

11 jam ago

Meluruskan Konsep Al Wala’ wal Bara’ yang Disimplifikasi Kelompok Radikal

Konsep Al Wala' wal Bara' adalah konsep yang penting dalam pemahaman Islam tentang hubungan antara…

2 hari ago

Ironi Kebebasan Beragama dan Reformulasi Hubungan Agama-Negara dalam Bingkai NKRI

Di media sosial, tengah viral video pembubaran paksa disertai kekerasan yang terjadi pada sekelompok orang…

2 hari ago

Penyelewengan Surat Al-Maidah Ayat 3 dan Korelasinya dengan Semangat Kebangsaan Kita

Konsep negara bangsa sebagai anak kandung modernitas selalu mendapat pertentangan dari kelompok radikal konservatif dalam…

2 hari ago