Persoalan Rohingya, penyerangan terhadap gedung WTC, Aksi Bom bali, ISIS hingga yang terakhir adalah persoalan yang terjadi terkait dengan wilayah Yerusalem merupakan beberapa tragedi kemanusiaan yang membuat hati banyak orang tergugah akibat hal-hal demikian. Dari sejumlah kejadian tersebut, membuat kita tidak dapat menafikkan sejumlah opini umum yang melihat adanya keterkaitan erat antara agama dengan kejadian-kejadian tersebut. Dalam beberapa tulisan bahkan jelas ditegaskan bahwa dalam sejumlah spirit beragama terdapat unsur kuat yang seolah melegitimasi adanya kekerasan dalam mengupayakan penegakkan ajaran agama.
Namun, ada baiknya bila dengan nalar kritis kita mulai mempertanyakan seyogyanya di manakah posisi agama tatkala berhadapan dengan persoalan kemanusiaan? Tulisan ini bukan bermaksud untuk menunjukkan pembelaan terhadap agama, melainkan mengingatkan kita untuk tidak terburu-buru melakukan penghakiman bahwa agama merupakan sumber masalah. Berikutnya bertujuan mengajak kita untuk mulai membenahi persoalan-persoalan yang mungkin bisa kita lakukan sendiri sebelum kita berangkat untuk menguraikan persoalan yang lebih rumit terkait dengan agama dan kemanusiaan secara kolektif.
Bila memperhatikan sejumlah contoh yang telah terjadi seperti tersebut di atas, maka baik pula bila kita membuka kembali sebuah tulisan yang ditulis oleh seorang begawan kajian hubungan internasional yang bernama Samuel P. Huntington. Dalam salah satu tesisnya, dikemukakan bahwa akan adanya benturan antar peradaban. Kuatnya arus yang kita alami belakangan ini menunjukkan bahwa gesekan yang juga di level identitas berlatar agama memang sudah waktunya terjadi. Gesekan antar identitas tersebut layak terjadi sebagai akibat menguatnya identitas-identitas di berbagai belahan dunia. Menguatnya identitas tersebut disinyalir sebagai lawan tanding yang otomatis muncul sebagai upaya menangkal sayap liberalisme yang identik sekali dengan negara Amerika Serikat dan tengah menguat.
Identitas-identitas tersebut cukup banyak yang berkalin-kelindan dengan agama. Beberapa menyebutnya sebagai sebuah proses intrumentalisasi yang dilakukan para aktor terhadap upaya merebut rezim kekuasaan. Perlu diketahui bahwa persoalan ini tidak hanya terjadi di level internasional an sich. Hingga di tataran lokal, persoalan ini telah hadir sebagai kekhawatiran tersendiri. Sebab nilai-nilai kemanusiaan akhirnya harus terpinggirkan bahkan terabaikan. Imbasnya, korban jiwa, harta benda, cidera hingga kepengungsiaan menjadi kisah pilu yang tak kunjung usai.
Bila sudah demikian tidak ada pilihan lain bagi kita, sebab penempatan agama yang berjarak dengan nilai-nilai kemanusiaan hanya menciptakan penderitaan yang tak berkesudahan bagi umat manusia sendiri. Manusia terdiskriminasi dan tercabut dari hak-haknya sebagai manusia. Manusia dipaksa untuk menempatkan semangat konflik identitas berselebungkan agama sebagai bagian dari perjuangannya. Pada gilirannya radikalisasi agama memaksa kita menganggap yang berbeda sebagai musuh.
Sangatlah penting bagi kita untuk mengeliminir bibit-bibit radikal yang belakangan muncul sebagai respon atas persoalan yang ada. Sebab bila dibiarkan, bukanlah kemenangan yang akan diperoleh melainkan kekalahan umat manusia sendiri. Menang jadi abu, kalah jadi arang. Sepertinya ungkapan tersebut tepat untuk menggambarkan hasil akhir dari semuanya.
Tuhan yang Membumi
Salah satu metode yang menarik untuk diulik terkait hal ini, yaitu dengan mengingat kembali bagaimana konstruksi pemikiran kita terhadap sang Khalik itu sendiri. Mungkin sekilas hal ini seolah bermaksud mengkerdilkan Tuhan dengan mengaturnya dalam konsepsi pemikiran manusia. Namun sejatinya hal yang sebenarnya ingin dibangun adalah dengan lebih mengedepankan konsepsi pemikiran bahwa Tuhan pun hadir di muka bumi, guna membuat kita melihat dunia ini sebagai satu kesatuan yang wajib kita jaga dan bukan untuk dimusuhi atau bahkan diperangi. Ragam budaya yang hadir bukan sebagai wujud dari perbedaan namun sebuah keniscayaan.
Cara menerapkannya pun bisa dimulai dengan mensarikan sejumlah ayat yang bersumber dari kitab suci masing-masing agama yang mengetengahkan pentingnya menjaga tatanan hidup dalam masyarakat yang beragam. Setelah itu, baik setiap pemuka agama, guru serta masing-masing orang tua wajib untuk mulai mengajarkan upaya menjaga keberagaman sebagai bagian penting dalam menjaga kehidupan ini. Bisa dengan cara mengajak untuk menganalisis secara sederhana beberapa persoalan kemanusiaan dan melihat balik bagaimana semestinya posisi agama.
Berikutnya adalah dengan cara selalu mengedepankan dialog masing-masing individu tanpa membawa identitas tertentu dalam proses penyelesaian masalah. Dengan mulai mengurangi pemunculan identitas kegamaan dalam setiap perdebatan, maka setiap individu akan semakin terdorong untuk menyelesaikan sumber persoalan tanpa harus memberikan “bumbu” tertentu.
Pola pentahapan sederhana di atas wajib untuk diketengahkan kembali, sebab bila hal ini tidak dilakukan maka anak cucu kita pun hanya akan mewarisi konflik. Mereka tidak akan bisa merasakan bahwa agama hadir di muka bumi ini untuk menghindarkan manusia dari kekacauan, atau dengan kata lain sebagai pembawa damai. Pada gilirannya, harmoni kehidupan dalam keberagaman hanya akan menjadi ilusi semata.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…