Konflik dan manusia, keduanya tidak dapat dipisahkan. Oleh karena konflik merupakan bagian dari keniscayaan dalam kehidupan (min lawazim al-hayat) manusia. Maka tidak berlebihan jika sebagian pakar mengatakan bahwa sejarah manusia adalah sejarah konflik. Namun bukan berarti bahwa konflik dibiarkan begitu saja tanpa adanya upaya untuk mengelola dan meredamnya. Maka tulisan ini mencoba menggali spirit dalam mengelola dan meredam konflik tinjauan al-Quran.
Pandangan Ontologis al-Quran
Dalam al-Qur’an ada beberapa term yang mengarah pada pengertian konflik secara umum, misalnya kata al-khasm atau al-mukhassamah (bermusuhan) dalam Q.S. al-Zumar: 31; al-ikhtilaf (berselisih) dalam Q.S. Ali Imran: 103 dan 105, al-Syu’ara: 14; tanazu’ (pertentangan) dalam Q.S. al-Nisa: 59; al-qital dan al-harb (perang) dalam Q.S. al-Anfal: 57, Q.S. Muhammad: 4, al-Baqarah: 217 dan lain sebagainya. Beberapa term tersebut memang mengarah pada pengertian konflik, perselisihan, pertentangan, permusuhan, perang dan bahkan pembunuhan.
Sementara kata konflik sendiri berasal dari bahasa Latin, configere yang berarti saling memukul. Itulah mengapa ketika terjadi ketegangan dan konflik, galibnya memacu tindakan kekerasan, aksi saling pukul, dan bahkan aksi saling membunuh. Sementara secara sosiologis konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang (juga kelompok) atau lebih dimana salah satu pihak berusaha untuk menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau lainnya.
Secara historis, konflik manusia telah dimulai sejak anak cucu Adam, ketika Qabil dan Habil bertengkar memperebutkan calon istri. Sebagaimana diisyaratkan dalam sebuah ayat yang artinya, “maka nafsunya mendorong utuk membunuh saudaranya, maka ia membunuhnya, maka ia termasuk orang-orang yang merugi” (Q.S. al-Maidah: 30).
Faktor Terjadinya Konflik
Dewasa ini telah banyak terjadi kasus kekerasan atas nama agama. Berbagai ketegangan dan konflik sosial, baik yang terjadi di intern penganut agama maupun antar umat beragama, telah menyulut aksi kekerasan yang menelan banyak korban. Misalnya, aksi pengeboman di Bali, di hotel JW Marriot Jakarta, kekerasan terhadap jamaah Ahmadiyah di Cikeusik Pandeglang, perusakan gereja di Temanggung, teror bom buku terhadap beberapa tokoh, peledakan bom di masjid Polres Cirebon, Perusakan panggung Wihara di Temanggung, Kekerasan atas peserta diskusi Irshad Manji di Jakarta dan Yogyakarta, dan lain sebagainya. Fenomena tersebut merupakan fakta tak terbantahkan bahwa kekerasan terjadi di tengah masyarakat beragama. Agama ‘seolah’ menjadi license to kill (surat ijin untuk membunuh) oleh karena berbeda ideologi atau keyakinan.
Padahal dalam al-Quran sendiri—yang notabene sebagai sumber doktrin Islam—dikatakan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin (Q.S. al-Anbiya’: 107), dan memberikan jaminan kebebasan dalam beragama/berkeyakinan (Q.S. al-Baqarah: 256).
Resolusi; Sebuah Tawaran al-Quran
Ibarat sebuah pedang, agama sebagai doktrin memiliki dua mata. Di satu sisi, ia dapat menjadi pemicu konflik. Namun di sisi lain, ia juga dapat menjadi pemicu integritas dan resolusi konflik. Hal ini tergantung pada pemahaman orang mengenai agama.
Kendatipun demikian, sudah semestinya konflik teologis itu ‘dieliminasi’, jika enggan untuk berkata ‘diakhiri’. Mengutip pernyataan sosok Mahatma Gandhi, “Agama bukanlah untuk memisahkan seseorang dengan orang lain, namun agama bertujuan untuk menyatukan mereka. Adalah suatu malapetaka bahwa kini agama telah sedemikian didistorsi, sehingga menjadi penyebab terjadinya perselisihan dan pembantaian”.
Untuk itu al-Quran menawarkan spirit dalam menginspirasi dan memotivasi untuk mewujudkan resolusi konflik menuju perdamaian. Pertama, melakukan al-tabayun (klarifikasi). Dalam hal ini al-tabayun dijadikan sebagai upaya mencari kejelasan dan klarifikasi atas sebuah informasi, terlebih informasi yang masih simpang-siur kejelasannya, yang dapat menimbulkan fitnah dan konflik. Spirit al-tabayun dikatakan dalam al-Quran untuk menguji kebenaran informasi dari seorang fasiq (Q.S. al-Hujurat: 6).
Kedua, melakukan tahkim (upaya mediasi). Dalam hal ini upaya tahkim dilakukan sebagai salah satu cara mendamaikan dua belah pihak yang tengah berkonflik dengan mendatangkan mediator sebagai juru damai, sebagaimana dikatakan dalam Q.S. al-Nisa’: 35. Sebagai catatan bahwa seorang mediator harus ‘berdiri di tengah’. Artinya, tanpa memihak dan bersimpati kepada salah satu pihak yang tengah berkonflik. Ia seharusnya mendorong dan mengondisikan kedua pihak tersebut ke arah perdamaian.
Ketiga, melakukan al-syura (musyawarah). Upaya ini ditempuh guna memecahkan persoalan (baca: mencari solusi) dengan mengambil keputusan bersama. Hal ini dianggap penting dalam kasus terjadinya konflik. Pentingnya musyawarah ditegaskan dalam Q.S. Ali Imran: 158.
Keempat, sikap al-‘afwu (saling memafkan). Ketika terjadi konflik, maka masing-masing pihak cenderung mempertahankan ego sektoral mereka. Sehingga al-‘afwu merupakan indikator awal lahirnya kebaikan dan ketakwaan seseorang (Q.S. al-Baqarah: 237), yang mampu menciptakan kondisi perdamaian dalam kehidupan manusia.
Kelima, tekad al-ishlah (berdamai). Setelah upaya saling memaafkan, maka tekad untuk berdamai pun menjadi sebuah keharusan. Sebab al-Quran sendiri menegaskan untuk berdamai dalam berteologi/berkeyakinan (Q.S. al-Baqarah: 208). Bahkan ayat ini ditafsirkan sebagai ayat perdamaian. Sebagaimana penafsiran Ibnu ‘Asyur dalam karyanya, al-Tahrir wa al-Tanwir. Ia menafsirkan kata al-silmi dalam ayat tersebut dengan pengertian al-sulh (perdamaian), dan tark al-harb (meninggalkan peperangan).
Keenam, sikap al-‘adl (berlaku adil). Keadilan (al-‘adalah) merupakan suatu keniscayaan dalam menciptakan kondisi damai dan harmoni. Sebab kezaliman (lawan dari keadilan) pada dasarnya akan menyulut konflik bagi pihak yang dizalimi. Term yang digunakan dalam al-Quran untuk menyebut keadilan sangatlah beragam, seperti al-‘adl, al-qisth, dan al-mizan. Keadilan merupakan indikator ketakwaan seseorang (Q.S. al-Maidah: 8), sementara ketakwaan akan mengantarkan kepada keberkahan, kesejahteraan dan kedamaian (Q.S. al-A’raf: 96).
Ketujuh, adanya al-hurriyah (jaminan kebebasan). Al-Quran sangat menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan dalam menentukan keyakinan atau agama (al-Baqarah: 256). Bahkan Allah memberikan kebebasan apakah seseorang itu mau beriman atau kafir (al-Kahfi: 19). Oleh karena kebebasan merupakan hak setiap manusia yang diberikan oleh Tuhan, tidak ada pencabutan hak atas kebebasan kecuali di bawah dan setelah melalui proses hukum yang tepat nan benar.
Sebuah Catatan Penutup
Konflik mestinya tidak harus dinilai sebagai hal yang negatif dalam kehidupan sosial. Konflik mesti dipandang sebagai bagian dari komunikasi sosial, yang memuat pelajaran diri untuk menjadi masyarakat yang dewasa dengan kecenderungan inklusif, toleran dan lebih berkeadaban.
Maka sudah saatnya untuk membangun visi kehidupan dengan pergeseran prinsip: (a) min al-‘adawah ila al-ukhuwwah (dari permusuhan menjadi persaudaraan), (b) min al-ghuluww wa al-tatharruf ila al-i’tidal wa al-tawassut (dari sikap radikal-ekstrem menjadi moderat), (c) min al-la’nah ila al-rahmah wa al-samhah (dari pandangan yang cenderung melaknat menuju kasih sayang dan toleran), (d) min al-in-ghilaq ila al-infitah (dari sikap eksklusif ke arah inklusif).
This post was last modified on 3 Desember 2015 11:22 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…