Narasi

Revitalisasi Nilai Budi Luhur Ulama di Masyarakat Milenial

Tidak bisa dipungkiri berdirinya bangsa Indonesia tidak lepas dari peran kiai dan santri. Semenjak kedatangan kolonial Inggris dan Hindia Belanda ke Indonesia banyak para ulama yang melakukan pemberontakan atas kebijakan yang merugikan masyarakat pribumi. Salah satu tokoh ulama yang masyur dalam melawan kolonialisme adalalah Pangeran Diponegoro. Menurut Agus Sunyoto dalam bukunya Fatwa dan Resolusi Jihad (2017) ‘’perang Jawa yang disulut Pangeran Diponegoro, dapat dianggap sebagai refleksi kesadaran bagi bangkitnya Nasionalisme berskala luas yang pertama sepanjang sejarah kolonialisme di Indonesia sekalipun lingkup pertempuran fisiknya berlangsung di Jawa Tengah. Dikatakan kesadaran bagi bangkitnya Nasionalisme berskala luas yang pertama, karena pihak-pihak yang terlibat perang terutama yang berpihak kepada Pangeran Diponegoro bukan hanya orang Jawa melainkan juga orang-orang Bugis, Bali, Sunda, Peranakan Tionghoa, India bahkan para syarif, sayyid dan syekh berasal dari Arab dan keturunannya yang karena latar kesamaan agama dan kesamaan perasaan dalam membenci Belanda, mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro’’.

Perjuangan dalam mempertahankan keutuhan Bangsa Indonesia diperlihatkan para ulama tidak hanya pada masa penjajahan Belanda saja. Semenjak dicetuskanya fatwa jihad fii sabilillah oleh KH Hasyim Asy’ari salah satu tokoh pendiri organisasai islam Nahdlatul Ulama(N.U) pada 22 Oktober 1945 yang diserukan kepada umat islam dan dalam bentuk resolusi jihad fii sabilillah yang disampaikan kepada Republik Indonesia, terbukti pada 10 November 1945 ketika pasca kemerdekaan terjadi pertempuran antara Ulama, Santri, dan rakyat melawan Inggris di Surabaya. Dari dua kejadian besar yang disampaikan penulis di atas,  membuktikan bagaimana dahulu seorang kiai atau ulama memiliki nilai kharismatik yang tinggi, disegani, dan segala ucapannya sangat dipatuhi tidak hanya kalangan santri dalam lingkup pesantren tetapi juga oleh masyakarat luas.

Baca juga : Memuliakan Ulama, Menyayangi Sesama

Dalam hal tradisi misalnya, Abdurrahman Wahid dalam bukunya Kiai Nyentrik Pembela Pemerintah (1997) menjelaskan‘’di Jawa Tengah yang menjadi pusat kekuasaan yang menunjang budaya asli Jawa di garis pintas Solo-Kartasura-Yogya, terjadi proses interaksi yang bersifat seru, tetapi tidak terlalu lama-antara budaya asing Jawa itu dan budaya Islam yang baru datang. Segala tercapai keadaan status quo bak orang berperang mencapai gencatan senjata: diakui budaya asli Jawa untuk memanifestasikan aspirasi keagamaan Islam di banyak wilayah kehidupan di pedalaman Jawa Tengah itu. Wayang dinikmati bersama, kiai pura-pura tidak tahu kalau ada perempuan tampil dalam pagelaran kesenian setempat, bentuk masjid tradisional mengambil pola arsitektur ke-Jawa-an sejauh mungkin. Blangkon dan destar, bukunnya peci dan kopiah haji yang jadi pengenal kaum santri pedalaman Jawa Tengah dahulu’’. Dari situ bisa dilihat bagaimana ulama sangat toleran kepada masyarakat atas terjadinya Akulturasi budaya Islam dan Jawa. Demi menjaga persatuan, dalam mengenalkan  dan menyebarkan agama, ulama juga tidak melakukan pemaksaan dalam dakwahnya.

Propoganda Ulama dan Masyarakat

Semakin maju dan berkembangnya media sosial, malah tidak digunakan dengan baik oleh beberapa oknum. Contoh kongkret yang sudah tertangkap pihak Kepolisian adalah Muslim Cyber Army dan Saracen. Dua kelompok tersebut bergerak di media sosial dengan menyebarkan propoganda isu, sara dan agama serta berita hoaks.

Dari propoganda yang sengaja didesign telah membuat adab masyakarakat yang dibatasi oleh norma-norma saat ini mulai hilang. Di media sosial batas-batas moral tersebut seakan-akan hilang atau bahkan sengaja dihilangkan. Tidak jarang propoganda berupa cacian dan makian yang dilakukan oknum di media sosial itu ditujukan kepada seorang ulama atau kiai. Mereka menuduh dan menghina ulama sebagai kiai liberal, menganggap bid’ah terhadap tradisi islam nusantara karena menjalankan agama tidak sesuai dengan syariat islam seperti ziarah kubur, Maulid Nabi, tahlilan dsb.  Tentu ini sesuatu yang sangat berbahaya karena bisa meruntuhkan kredibilitas ulama dimata masyarakat.

Ketika kredibilatas dan otoritas pemuka agama runtuh, maka akan melemahkan ikatan sosial yang akan memunculkan perpecahan di wilayah horizontal(umat). Ulama tidak akan lagi dipatuhi dan sudah tidak berperan di masyarakat. Tidak  ada lagi tokoh yang akan dianggap sebagai guru di masyarakat. Dari dampak diatas tersebut kemudian akan menghilangkan nilai berbangsa yang berbasis kearifan lokal dan beradab dengan menghargai para tokoh ulama.

Generasi Milenial dan Ulama

Dari kondisi tersebut, sebagai manusia beradab yang hidup di era milenial kita harus mampu mengembalikan nilai-nilai berbudi luhur seorang ulama atau pemuka agama dari segala isu atau propoganda yang digencarkan di media sosial. Untuk menciptakan generasi yang waras, kita butuh konsumsi literasi sebelum kita menggunanakan media sosial. Dengan melihat kondisi minat baca generasi milenial saat ini yang cenderung berkurang, sehingga mudah melihat sesuatu hal secara positivisme. Maka generasi milenial harus bisa jeli dalam menggunakan media sosial, salah satu cara dengan belajar literasi berbasis media. Dan generasi milenial selain bijak di media juga harus bisa  menguatkan tradisi kultur sosial masyarakat di sekitarnya.

Generasi milenial juga tidak boleh melupakan jasa para kiai terdahulu yang telah berkorban demi kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tidak hanya itu, warisan kiai nusantara berupa akulturasi budaya antara tradisi agama dan tradisi lokal dalam suatu masyarakat harus kita jaga. Mematuhi dawuh seorang kiai adalah bentuk takzim kepada  ulama.

Tidak hanya dalam hidup bermasyarakat dalam konsep kenegaraan kita juga tidak bisa lepas dari ulama. Kuntowijoyo mengatakan dalam bukunya Identitas Politik Umat ISLAM(2018) ‘’Agama dan negara adalah dua sejarah yang berbeda hakikatnya. Agama adalah kabar gembira dan peringatan(basyiran wa nadzira, baca Q.S Al-Baqarah [2]: 119), sedangkan negara adalah kekuatan pemaksa(coercion). Agama punya khatib, juru dakwah, dan ulama, sedangkan negara punya birokrasi, pengadilan dan tentara. Agama dapat memengaruhi jalannya sejarah melalui kesadaran bersama (collective conscience), negara memengaruhi sejarah dengan keputusan, kekuasaan, dan perang. Agama adalah kekuataan dari dalam dan negara adalah kekuataan dari luar’’. Artinya Ulama dan Umara harus saling bersinergi untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

This post was last modified on 13 Desember 2018 4:00 PM

Moh Yajid Fauzi

Penulis adalah mahasiswa Universitas Islam Malang semester lima yang aktif di Himpunan Mahasiswa Progam Studi Ahwal Syakhshiyah sebagai ketua umum pada periode 2018/2019. Tergabung dalam Komunitas GUSDURian Malang dan Gubuk Tulis.

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

3 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

1 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

1 hari ago