Sasaran empuk dari penyebarluasan berita hoax, ujaran kebencian, tawaran pornografi, dan berbagai provokasi melalui media sosial tak pelak adalah generasi milenial. Pernyataan ini bukan tanpa dasar.
Sebagai bagian dari net generation yang sehari-hari mempergunakan gadget dan mengakses internet untuk memantau dunia luar, risiko generasi milenial terpapar berbagai informasi hoax memang paling besar. Puluhan juta generasi milenial yang terhubung melalui internet dan media sosial.
Menurut lembaga riset pasar e-Marketer, populasi netter Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Angka yang berlaku untuk setiap orang yang mengakses internet setidaknya satu kali setiap bulan itu mendudukkan Indonesia di peringkat ke-6 terbesar di dunia dalam hal jumlah pengguna internet.
Pada 2017, eMarketer memperkirakan netter Indonesia bakal mencapai 112 juta orang, mengalahkan Jepang di peringkat ke-5 yang pertumbuhan jumlah pengguna internetnya lebih lamban. Secara keseluruhan, jumlah pengguna internet di seluruh dunia diproyeksikan bakal mencapai 3 miliar orang pada 2015. Tiga tahun setelahnya, pada 2018, diperkirakan sebanyak 3,6 miliar manusia di bumi bakal mengakses internet setidaknya sekali tiap satu bulan.
Kebebasan mendapatkan tidak lantas membuat seseorang terbuka apa yang cara berpikirnya. Menurut Farhad Manjoo dalam ulasannya berjudul ”How the Internet Is Loosening Our Grip on the Truth” (New York Times, 3/11/2016) menunjukkan tren yang sebaliknya. Merujuk pada beberapa penelitian, Manjoo mengingatkan media sosial juga berdampak distortif terhadap pemahaman masyarakat tentang kebenaran dan bagaimana kebenaran semestinya diperlakukan. Kebanyakan pengguna internet, terlebih-lebih ketika menghadapi hoaks dan fakenews, terjerembab dalam apa yang disebut sebagai echo chambers of information.
Keluasan data, informasi, dan perspektif yang tersaji di dunia maya tidak selalu membuat pikiran kita lebih terbuka terhadap perbedaan dan keragaman tafsir. Sering terjadi, banyak orang menggunakan internet hanya untuk memperoleh informasi atau pernyataan yang mengafirmasi pendapatnya sendiri, lalu kemudian menganggap informasi dan pernyataan yang sebaliknya sebagai bohong atau palsu.
Banyak orang menggunakan internet untuk menjumpai orang-orang seideologi serta untuk menempatkan orang-orang yang tidak seideologi sebagai musuh atau pesakitan. Lebih jauh lagi, mereka kemudian menyebarkan keyakinan ideologis tanpa merasa perlu untuk melakukan falsifikasi terlebih dahulu. Alih-alih memperluas cakrawala pemikiran, internet di sini lebih berfungi sebagai sarana untuk meneguhkan dan menyebarkan keyakinan ideologis tanpa peduli betapa problematisnya penyebaran keyakinan tersebut bagi khalayak luas.
Hal ini dibuktikan dalam penelitian The Laboratory of Computational Social Science di IMT School for Advanced Studies Lucca, Italia, tahun 2014. Penelitian ini menunjukkan ketidakpercayaan institusional (institutional distrust) dan bias kognitif merupakan fakta dominan dalam lalu lintas diskusi di media sosial. Para pengguna media sosial hanya tertarik pada informasi atau pernyataan yang sesuai dengan pandangannya sendiri meskipun mereka paham informasi dan pernyataan tersebut spekulatif atau palsu.
Berhadapan dengan pluralitas pendapat dan perspektif, pengguna internet justru cenderung irasional dan acuh tak acuh. Mereka selalu terdorong berbicara secara impulsif dan spontan berdasarkan pra-anggapan, bias, dan apriori yang telah terlebih dahulu ada dalam benak mereka.
Melihat apa yang terjadi dalam kehidupan berinternet ini, maka diperlukan sebuah tindakan bersama demi mewujudkan internet sehat. Di mana internet harus mengandung unsur-unsur positif dalam kehidupan bersama. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah melakukan “ronda online.”
Ronda yang dilakukan bersama-sama dengan memiliki tujuan suci, yakni menciptakan keamanan di dunia internet. Yang perlu dipertimbangkan dalam “ronda online” adalah membangun integrasi-interkoneksi. Maksudnya, adanya kesinambungan antara pemerintah dan pemerintah, masyarakat dan pemerintah serta masyarakat dan masyarakat.
Instansi antar pemerintahan harus kuat, di mana antar instansi pemerintahan tidak boleh egois untuk memperlihatkan bahwa instansi tersebut. Tetapi membangun korelasi antara instansi, seperti halnya antara Kominfo dan Kepolisian. Kominfo yang mendeteksi dini situs yang membahayakan. Tatkala ditemukan situs kemudian dilaporkan ke Kepolisian untuk di tindak secara hukum.
Tidak sampai di situ, tindakan suatu kejahatan tidak hanya berhenti pada hukuman. Tetapi pemerintah harus menciptakan masyarakat yang sadar atas suatu kejahatan. Kesadaran yang diciptakan pemerintah merupakan sebuah edukasi agar masyarakat tidak merasa terjebak dalam sebuah kasus.
Selanjutnya dilakukan oleh antar masyarakat. Di mana masyarakat saling mengingatkan satu sama lain. Tatkala teman di sosial medianya melakukan sebuah tindakan kesalahan bisa menegur dengan baik-baik. Atau menciptakan sebuah komunitas/grup sosial media untuk menyaring keluhan atas kesalahan, agar mereka yang melakukan kesalahan mendapatkan hukuman sosial serta orang yang melihat bisa mengambil hikmah-nya.
Ronda internet semacam ini bisa berjalan dengan baik, maka internet memiliki dampak yang positif dalam kehidupan sehari-hari.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…