Categories: Narasi

Salam Pancasila, Persatuan dan Upaya Mewujudkan Perdamaian

Beberapa waktu lalu, kepala BPIP; Prof Yudian Wahyudi menyampaikan pernyataan kenegaraan tentang upaya pengusulan penggantian ucapan assalamualaikum dengan salam Pancasila, Sebagai jembatan penghormatan untuk agama-agama dan etnis yang lain. Upaya ini kemudian dikritisi publik sebagai upaya mereduksi realitas sosial-keagamaan yang sudah terbangun lama.

Melihat fenomena di atas, saya teringat dengan apa yang juga telah dilakukan Gus Dur sebagai bagian dari tokoh bangsa pada era tahun 80-an. Ia menganjurkan pengucapan selamat pagi daripada ucapan Assalamualaikum, hal ini sebagai jalan masuk ke wilayah keberagaman yang tidak banyak membutuhkan bias-bias keagamaan.

“Selama ini kan Islam di Indonesia terlalu melihat kepada Timur Tengah. Sebagai contoh kalau dulu kita membangun masjid harus memakai kubah. Padahal bangsa kita sudah memiliki bentuk arsitektur yang lebih sesuai dengan budayanya sendiri dan mengandung makna yang mendalam. Lalu tentang ucapan assalamu’alaikum,kenapa kita merasa bersalah kalau tidak mengucapkan assalamu’alaikum. Bukankah ucapan itu bisa saja kita ganti saja dengan selamat pagi atau apa kabar, misalnya…, ungkap mantan Presiden RI ke-4.

Dalam hal ini, kita harus akui bahwa Indonesia bukan negara islam apalagi negara agama. Indonesia adalah Negara yang menganut sistem demokrasi pancasila yang mempunyai khas dan perbedaan dengan Negara demokrasi lainnya di dunia. Demokrasi pancasila lahir dari penggalian historis nilai-nilai kebangsaan yang diusung oleh para founding fathers kita. Salam itu berfungsi sebagai tanda perdamaian, karena disitu termanifestasi doa untuk orang lain.

Apakah ada yang salah dengan pengucapan salam pancasila, sebagai wujud salam kebangsaan?. Saya rasa tidak ada masalah, selagi hal ini sebagai upaya konkrit untuk menginternalisasi dan menjiwai semangat pancasila. Akan tetapi, publik yang mayoritas beragama belum siap untuk menerima secara penuh salam pancasila sebagai salam pemersatu. Hingga saat ini, salam pembuka versi berbagai agama yang diakui negara, masih menjadi salam rutinitas formal yang disampaikan oleh pejabat negara.

Baca Juga :  Salam Keagamaan Yes, Salam Kebangsaan Oke!

Salam pancasila harus dimaknai secara kontekstual. Sebagai ideologi bangsa, kita harus menjunjung tinggi semangat nasionalisme yang mewujud dalam nilai-nilai pancasila. Pancasila sebagai rumah bersama bagi masyarakat Indonesia yang multikultural harus menjadi oase dalam menyemai persatuan kebangsaan. Dalam rumah bersama ini, sejatinya harus tercipta keharmonisan dan ketentraman tanpa ada diskriminasi satu sama lainnya. Dalam sejarahnya Pancasila mampu menaungi semua agama, etnis dan suku dalam satu wadah besar NKRI.

Salam Pancasila bisa menjadi simbol persatuan yang harus terus digalakkan oleh pejabat publik. Salam pancasila harus bisa diproyeksikan untuk meneguhkan persatuan. Beberapa peneliti mengungkapkan bahwa pemuda masih sedikit yang menjiwai semangat pancasila, karena faktor kuatnya basis nilai keagamaannya. Salam pancasila setidaknya menjadi terobosan yang baik untuk mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila di ruang publik.   

Karena sejatinya salam pancasila merupakan resep yang cukup manjur bagi bangsa Indonesia yang sejak kemunculannya selalu dihidangkan dengan realitas yang kompleks. Salam Pancasila harus dijadikan sebagai daya tangkal, filter dan perangkat yang ampuh dalam menghadapi nilai-nilai budaya global barat, serta menguatnya komodifikasi agama yang sudah merasuk dalam sendi-sendi dasar kehidupan masyarakat Indonesia.

Agus subagyo pernah menyatakan, “bahwa di era reformasi ini, pancasila kurang populer di masyarakat, pancasila enggan dipelajari para pelajar, pancasila danggap membosankan bagi mahasiswa. Pancasila dipersepsikan warisan orde baru oleh para aktivis LSM, dan pancasila dipandang ideologi yang kurang menarik dibandingkan dengan liberalisme-kapitalisme. Padahal, pancasila merupakan identitas bangsa, serta jati diri bangsa, pancasila adalah ideologi, falsafah, dan dasar Negara, hal ini harus menjadi kesadaran bersama setiap elemen bangsa.    

Melihat realitas tersebut, salam pancasila sebagai salam kebangsaan idealnya menjadi komitmen bersama. Dengan demikian, salam Pancasila bisa menjadi konstruksi sosial di tengah kuatnya narasi mayoritas dan minoritas agama. Karena dengan hal tersebut, kita bisa menghilangkan sekat-sekat primordial yang masih mengakar. Sudah saatnya para pejabat publik untuk berani berbeda, dan berani untuk menguatkan persatuan tanpa harus takut dibayang-bayangi oleh narasi agama. Wallahu A’lam

This post was last modified on 28 Februari 2020 1:41 PM

Ferdiansah

Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

11 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

11 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

11 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago